Pemerintah Hindia Belanda kemudian mulai membangun saluran air dari Pintu Air Manggarai menuju Muara Angke pada tahun 1922. Saluran air tersebut dikenal dengan sebutan Banjir Kanal Barat.
Meskipun begitu, sistem kanal dan saluran air yang dibangun pemerintah Hindia Belanda tidak sepenuhnya menjamin Jakarta terbebas dari banjir.
Faktanya, banjir kembali merendam Jakarta pada tahun 1932 setelah saluran air tersebut. Banjir bahkan sempat menghanyutkan sejumlah rumah warga di sepanjang Jalan Sabang dan Jalan MH Thamrin.
Oleh karena itu, Banjir Kanal Barat dan Pintu Air Manggarai hanya dianggap mampu mengalihkan wilayah yang terdampak banjir.
Baca juga: Banjir di Pejaten Timur, Damkar Evakuasi Puluhan Orang
Ahli geologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Jan Sopaheluwakan mengatakan banjir Jakarta tak akan bisa diselesaikan dengan sistem kanal. Alasannya, geologis Jakarta berbentuk cekungan.
Selain itu, kata Sopeheluwakan, kawasan utara Jakarta yakni Ancol dan Teluk Jakarta juga mengalami pengangkatan karena proses tektonik. Sehingga, air dari 13 sungai yang bermuara di Teluk Jakarta tidak bisa mengalir lancar ke laut.
Air tersebut akhirnya terperangkap di cekungan besar Jakarta yang menyebabkan banjir.
Ketiga belas sungai itu adalah Kali Mookervart, Kali Angke, Kali Grogol, Kali Pesanggrahan, Kali Krukut, Kali Baru/Pasar Minggu, Kali Ciliwung, Kali Baru Timur, Kali Cipinang, Kali Sunter, Kali Buaran, Kali Jatikramat, dan Kali Cakung.
”Itu sebabnya, Teluk Jakarta tidak bisa membentuk delta, seperti Delta Mahakam di Kalimantan. Endapan kasar yang dibawa sungai-sungai mengendap di cekungan Jakarta sehingga tidak sampai ke laut dan membentuk delta,” katanya, seperti dikutip Harian Kompas tanggal 18 Januari 2013.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.