JAKARTA, KOMPAS.com - Tidak lama lagi masyarakat etnis Tionghoa di Indonesia, termasuk Ibu Kota Jakarta, akan merayakan Tahun Baru Imlek 2572.
Hari besar ini biasanya ditandai dengan kemunculan ornamen-ornamen berwarna merah khas Imlek di sejumlah tempat perbelanjaan dan tempat wisata.
Tak hanya itu, beberapa titik keramaian, seperti Bundaran Hotel Indonesia dan Jalan Sudirman di Jakarta Pusat, biasanya menampilkan Parade Imlek dan pertunjukan budaya khas Tionghoa, seperti liang liong atau Tari Naga.
Perayaan ini ternyata sempat dilarang pada masa Orde Baru, di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto.
Seperti apa perjalanan Imlek dari masa ke masa di Indonesia? Simak rangkuman di bawah ini:
Baca juga: Perayaan Imlek di Klenteng Tertua Tangerang, Imbauan Ibadah di Rumah hingga Tanpa Barongsai
Berdasarkan catatan Harian Kompas, Imlek dijadikan sebagai hari libur resmi pada tahun 1943 di zaman kependudukan Jepang di Indonesia.
Langkah ini diambil sebagai bagian dari upaya "resinifikasi" (pencinaan kembali) peranakan Tionghoa yang dianggap sudah terlalu banyak dipengaruhi oleh kebudayaan Barat (Belanda).
Upaya lain dari resinifikasi adalah mendorong kaum peranakan Tionghoa untuk belajar bahasa Tionghoa dan menghidupkan kembali berbagai bentuk budaya Tionghoa.
Pada era kemerdekaan, pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno menetapkan empat hari raya bagi masyarakat Tionghoa.
Baca juga: Nuansa Merah yang Lekat dengan Imlek, Simbol Pengharapan Kebahagiaan
Hari-hari besar tersebut adalah:
Dengan Instruksi Presiden (Inpres) No 14/1967, rezim Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto melarang perayaan Imlek di depan publik.
Barongsai dan liang liong tidak boleh dipertunjukkan, dan lagu Mandarin tidak boleh diputar di radio.
Oleh karenanya, tidak pernah ada Imlek yang meriah selama 32 tahun di Indonesia.
Baca juga: 5 Sajian Utama Saat Imlek, dari Samseng hingga Pisang Raja
Lebih dari itu, rezim Orde Baru juga mengeluarkan 21 peraturan perundangan yang represif terhadap keturunan Tionghoa.
Di antara peraturan tersebut adalah ditutupnya sekolah-sekolah berbahasa pengantar China pada tahun 1966.
Pada 17 Januari 2000, Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur mengeluarkan Inpres No 6 Tahun 2000, yang isinya mencabut Inpres No 14/1967.
Setelah keluarnya Inpres tersebut, masyarakat Tionghoa kembali dapat merayakan Tahun Baru Imlek di ruang publik.
Baca juga: Anies Imbau Warga Berada di Rumah Saat Libur Panjang Imlek
Megawati Soekarnoputri, Presiden kelima Republik Indonesia, kemudian menyempurnakan keputusan Gus Dur dengan menetapkan Imlek sebagai hari libur nasional.
Keputusan itu tertuang dalam Keputusan Presiden (Keppres) No 19 tahun 2002.
Keppres tersebut menegaskan bahwa Tahun Baru Imlek merupakan tradisi masyarakat Tionghoa yang telah dirayakan secara turun-temurun di sejumlah wilayah di Indonesia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.