Program normalisasi kemudian kembali ditegaskan dalam Perda Nomor 1 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah 2030 dan Perda Nomor 1 Tahun 2014 tentang Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi.
Normalisasi didefinisikan sebagai program pelebaran sungai dengan pemasangan turap beton yang bertujuan untuk mengatasi persoalan banjir Ibu Kota.
Pelebaran sungai dilakukan karena mengecilnya kapasitas sungai akibat pendangkalan dan penyempitan badan sungai, dinding yang rawan longsong, aliran air yang belum terbangun dengan baik, hingga penyalahgunaan untuk pemukiman warga.
Program normalisasi dikerjakan oleh Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane (BBWSCC) Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) dan Pemprov DKI Jakarta.
Dalam hal ini, Pemprov DKI Jakarta bertugas untuk pembebasan lahan. Sementara, BBWSCC membangun infrastrukturnya.
Baca juga: PSI Nilai Naturalisasi Sungai di Karet Tak Jelas, padahal Anggarannya Rp 12,7 Miliar
Panjang Sungai Ciliwung yang harus dinormalisasi adalah 33,69 kilometer. Jalur normalisasi itu terbentang dari Jembatan Jalan TB Simatupang hingga Pintu Air Manggarai.
Program normalisasi mulai dikerjakan pada era kepemimpinan Joko Widodo sebagai Gubernur DKI Jakarta pada tahun 2013.
Hingga tahun 2017, baru 45 persen atau 16 kilometer aliran Sungai Ciliwung yang dinormalisasi.
"Jadi dari 33,69 kilometer yang ingin kami kerjakan (normalisasi), dari 2013 sampai 2017, baru 16 kilometer yang sudah dikerjakan. Jadi baru 45 persen," kata Bambang pada 15 November 2019.
Normalisasi Ciliwung itu dibagi empat ruas. Pertama, pembangunan tanggul ruas Jembatan Tol TB Simatupang-Jembatan Condet sepanjang 7,58 kilometer. Namun, normalisasi baru terealisasi sepanjang 3,47 kilometer.
Baca juga: Saat Menteri Basuki dan Anies Sepakat soal Normalisasi dan Naturalisasi Sungai