Sampai akhirnya pertunjukan Barongsai dianggap sebagai simbol persatuan dan akulturasi budaya.
"Jadi semua masyarakat mulai dari Bekasi, Kerawang, Depok, Tangerang itu tumpah ruah ke Glodok, Jakarta. Pada saat menjelang imlek, hari H Imlek, sampai Cap Go Meh. Bahkan kemeriahannya bisa berlanjut," ungkap Azmi.
"Nah ini yang kemudian menghidupkan perekonomian, budaya, dan hubungan solidaritas. Jadi kan ada interaksi antar masyarakat," sambungnya.
Jika ditelisik sejarahnya, larangan pertunjukan Barongsai sempat terjadi pada zaman pemerintahan orde baru selama kurang lebih 32 tahun.
Seluruh kegiatan yang berkaitan dengan etnis Tionghoa dilarang seiring dengan keluarnya titah Presiden Soeharto pada 1967 silam.
Kala itu, Pemerintahan Orde Baru meragukan nasionalisme masyarakat keturunan Tionghoa, sehingga melarang seluruh aktivitasnya.
"Imlek pada masa orde baru kan tidak boleh ya. Termasuk Barongsai itu juga enggak boleh," kata Azmi yang merupakan pendiri Museum Pustaka Peranakan Tionghoa.
Larangan pertunjukan tarian tradisional etnis Tionghoa tidak langsung membuat Barongsai menghilang begitu saja dari masyarakat.
Baca juga: Jakarta Mendadak Bandeng Jelang Imlek Terjadi sejak 1850-an
Berbagai cara dilakukan oleh masyarakat dan para pegiatnya agar Barongsai yang erat dengan perayaan Tahun Baru Imlek itu tidak lepas dari ingatan masyarakat.
Azmi menceritakan, sekira tahun 1978, para pegiat Barongsai di wilayah Sumatera Utara sempat menggelar pertunjukkan Tari Barong untuk melepas rindu terhadap Barongsai.
Alasannya, ada kemiripan antara Tari Barong asal Bali dengan seni tradisional etnis Tionghoa tersebut.
"Sekitar 1978 akhir, orang-orang di Medan itu untuk mengobati rindu akan hadirnya Barongsai mengunndang Tari Barong dari Bali," kata Azmi.
"Ketika itu dimainkan, pemerintah tidak bisa melarang. Karena ini kan tradisinya orang Bali," Sambungnya.
Tidak diketahui secara pasti berapa kali cara tersebut dilakukan. Namun, Azmi menduga gelaran Tari Barong untuk mengingat kembali keberadaan Barongsai itu dilakukan berulang.
"Kayaknya itu berulang. Setiap perayaan Imlek pasti mereka lakukan. Jadi tidak hilang begitu saja, mereka punya cara untuk menjaga eksistensinya," tuturnya.