JAKARTA, KOMPAS.com - Sejak awal abad ke-15, Sungai Cisadene yang membelah Kota Tangerang telah menjadi saksi bisu dari berbaurnya masyarakat Tionghoa daratan dengan warga setempat.
Mereka para peranakan Tionghoa yang tinggal di Tangerang punya sebutan populer yaitu Cina benteng.
Istilah Benteng merujuk pada bangunan yang dibangun Belanda di pinggir Cisadane untuk melindungi diri dari serangan pasukan kesultanan Banten.
Masyarakat Cina Benteng unik dan menarik. Mereka secara turun-temurun berbaur dan menyatu dengan kehidupan dan budaya lokal, tanpa melupakan tradisi leluhur.
Baca juga: 5 Tradisi Unik Selama Tahun Baru Imlek dan Maknanya
Dalam arsip berita harian Kompas, Budayawan Cina di Tangerang, Oey Tjin Eng, menjelaskan, sebagian peranakan China di Tangerang menyebut diri mereka Cina Benteng.
Tetapi sebagian lainnya, terutama yang tinggal di pedesaan dan perkampungan, menyebut diri mereka Cina Udik.
Kedua kelompok tersebut berbaur dengan kehidupan masyarakat lokal. Meski begitu, mereka tidak melupakan tradisi leluhur dalam menjalani keseharian.
Di setiap rumah, misalnya, masih banyak ditemukan tempat persembahyangan dan meja abu atau altar nenek moyang.
“Mereka masih mengusung tata cara upacara perkawinan dan kematian, serta juga tetap mempertahankan tradisi leluhur seperti merayakan Cap Go Meh (perayaan Tahun Baru Imlek) dengan membuat tiong ciu pia (kue bulan),” ujarnya.
Baca juga: Pemkot Tangerang Tinjau Kesiapan Tiga Kelenteng Menjelang Tahun Baru Imlek 2572
Adapun bentuk akulturasi budaya yang paling khas antara komunitas Cina Benteng dan warga asli Tangerang adalah seni musik gambang keromong.
Kesenian ini sering ditampilkan di setiap pesta perkawinan adat dan juga jamak dipertontonkan di klenteng-klenteng.
Dilansir dari situs jakarta-tourism.go.id, gambang keromong pada mulanya merupakan ekspresi kesenian masyarakat Cina peranakan saja.
Hingga awal abad ke-19, lagu-lagu gambang keromong masih dinyanyikan dalam bahasa Cina.
Baru pada dasawarsa pertama abad ke 20, lagu gambang keromong diciptakan dalam bahasa Betawi.
Baca juga: Kue Keranjang Simbol Harapan dan Bekal Memasuki Tahun Baru Imlek
Sejarah kaum Cina Benteng sendiri bisa ditelusuri dari pelayaran Laksamana Cheng Ho, seorang penjelajah dari China.
Cheng Ho dalam penjelajahannya melewati dan meninggali tanah Jawa.
Salah satu pemandu tur wisata di Museum Benteng Heritage, Martin, menuturkan Cheng Ho mengutus anak buahnya Tjen Tjie Lung untuk mendarat di Teluk Naga.
Teluk Naga saat ini menjadi salah satu kecamatan di Kota Tangerang.
Rombongan Tjen Tjie Lung lalu bermukin di sana dan berbaur dengan masyarakat setempat. Tidak sedikit dari mereka akhirnya menetap dan menikah dengan masyarakat setempat.
Baca juga: Sempat Dilarang pada Masa Orde Baru, Beginilah Perayaan Imlek dari Masa ke Masa
“Mereka inilah yang menjadi nenek moyang Cina Benteng. Mereka semua datang sekitar tahun 1407,” kata Martin kepada Kompas.com.
Kelompok masyarakat Cina Benteng pun semakin berkembang.
Mereka mendirikan lebih banyak perkampungan di beberapa kawasan sekitar Tangerang.
Selain di Teluk Naga mereka juga mendirikan perkampungan di Pasar Baru dan Pasar Lama.
Dahulu, kawasan Pasar Lama lebih mirip perkampungan biasa yang masyarakatnya memang sudah melakukan aktivitas perdagangan.
“Di Pasar Lama mereka membuka lahan. Mereka bertani karena dekat dengan sungai Cisadane. Salah satu buktinya adalah Klenteng Boen Tek Bio yang sudah ada sejak 1684,” ujar Martin.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.