KOMPAS.com - Tahun Baru Imlek identik dengan lampion. Alat penerangan itu sudah eksis di Indonesia sejak datangnya orang-orang Tionghoa ke Tanah Air. Namun lampion mulai lebih dikenal pada abad 17 atau tahun 1600-an.
"Masuknya (lampion di Indonesia) pasti bersamaan dengan migran Tionghoa, tapi lampion mulai tampak ketika dipakai sebagai bagian tradisi kelenteng," ujar peneliti di Pusat Penelitian Masyarakat dan Budaya Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (PMB-LIPI), Thung Ju Lan.
"Kelenteng ada yang didirikan abad 17 dan ada yang abad 18," imbuh Ju Lan.
Menurut Ju Lan, lampion di Indonesia mulai berkembang seiring perkembangan komunitas Tionghoa di berbagai perkotaan tahun 1700-an.
Baca juga: Tradisi Angpau Saat Imlek, dari Sejarah hingga Perluasan Makna di Indonesia
Ju Lan menyebutkan, lampion awalnya digunakan oleh masyarakat etnis Tionghoa untuk penerangan ketika mereka berpergian. Namun karena lampion dianggap menarik dan meriah saat malam hari, penerangan tersebut digunakan untuk parade ritual.
Selain itu, lampion digunakan di kelenteng untuk menerangi masyarakat etnis Tionghoa saat beribadah ketika pergantian Tahun Baru Imlek.
"Di Tahun (Baru) Imlek, lampion menghiasi kelenteng yang menjadi terang untuk menyambut mereka yang mau bersembahyang di malam tahun baru," urai Ju Lan.
Ju Lan menjelaskan, caha lampion bersumber dari lilin. Kertas merah kemudian menutupi lampion untuk mencegah padamnya api lilin di dalamnya. Kertas penututp lampion harus kuat dan tahan panas.
Baca juga: Lika-liku Barongsai di Indonesia, Tradisi Tionghoa yang Tetap Eksis Setelah Dilarang Orba
"Kertas di lampion itu juga berbeda dengan kertas tulis. (Kertas lampion) seperti kertas minyak yang kualitasnya bagus," ucap dia.
Kertas pembungkus lampion dapat diberi gambar apa saja tergantung kreativitas. Begitu pula dengan ukuran setiap lampion, tak ada standar baku.
"Tidak ada standarnya. Biasanya besarnya tidak beda jauh. Orang Tionghoa seperti suka yang bulat. Orang Jepang suka dengan yang agak lonjong. Jika ada yang mau buat besar sekali boleh saja, tapi itu mungkin ide perorangan saja," urai Ju Lan.
Mengapa warna lampion merah? Menurut Ju Lan, bagi masyarakat Tionghoa warna merah melambangkan perasaan gembira atau kebahagiaan. Warna merah biasa digunakan untuk berbagai acara yang menggembirakan.
"Seperti perkawinan, kelahiran, dan tahun baru. Memang kelenteng cenderung berwarna merah, karena untuk memohon kebahagiaan," ujar dia.
"Warna sendiri sudah sejak awal merupakan simbolisasi dalam budaya Tionghoa. Warna emas biasanya untuk kemuliaan raja atau kaisar. (Warna) hitam dan putih untuk kedukaan, tetapi juga bisa untuk baik dan buruk, dan lainnya," tamba dia.
Baca juga: Kue Keranjang Simbol Harapan dan Bekal Memasuki Tahun Baru Imlek
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.