BEKASI, KOMPAS.com - Hujan yang mengguyur Kota Bekasi, Jawa Barat, sejak Jumat (19/2/2021) dini hari menyebabkan sejumlah titik dilanda banjir.
Salah satunya ada di Jalan Bintara Raya di Kecamatan Bekasi Barat yang menjadi penghubung antara Kota Bekasi dan Pondok Kopi, Jakarta Timur.
Tak butuh waktu lama bagi air di Kali Cakung, yang ada di dekat jalan raya tersebut, untuk meluap dan menutup akses jalan.
"(Air) mulai tumpah ke jalan itu subuh tadi, tapi baru sampai pom bensin. Nah sekarang (genangan) makin tinggi, sudah hampir sampai ke depan kantor kecamatan," ujar salah seorang warga, Abdul (54), seperti dilansir Wartakotalive.com.
Baca juga: Akses Penghubung Bekasi-Jakarta Timur Lumpuh karena Banjir Jumat Pagi
Genangan yang menutupi ruas jalan hingga permukiman saat musim hujan tiba merupakan pemandangan biasa bagi warga Kota Bekasi, yang ternyata memang merupakan "tempat parkir air".
Riset A Damayanti dan NA Dwiputra yang dipublikasikan dalam International Conference of SMART CITY 2018 memaparkan, wilayah Bekasi rata-rata berketinggian 12,5-25 meter di atas permukaan laut (mdpl).
Kota itu juga tak memiliki banyak variasi ketinggian muka tanah.
Kemiringan medan di Bekasi sangat landai, yaitu 0-2 persen, membuatnya secara alamiah menjelma sebagai tempat parkir air.
Baca juga: Antisipasi Banjir, Bekasi Siapkan 7 Tenda Pengungsian dan Pompa Mobile
Sementara itu, sejarawan Bekasi Ali Anwar mengatakan bahwa banjir sudah melanda kota tersebut sejak berabad-abad lampau.
Jejak banjir di Bekasi dapat ditelusuri sejak abad 5 Masehi, sewaktu Raja Tarumanagara, Purnawarman membangun sodetan Kali Candrabhaga dan Kali Gomati.
"Sodetan ini untuk mencegah banjir ke arah keraton dan pertanian," tutur Ali.
Banjir sesekali terjadi, namun tidak pernah benar-benar berdampak terhadap kehidupan masyarakat yang waktu itu memang punya cara hidup yang selaras dengan alam.
Warga sengaja membangun rumah panggung agar air tidak sampai masuk ke dalam rumah mereka.
Baca juga: Pemerintah Diminta Lakukan 4 Cara Ini agar Banjir Bekasi Tak Berulang
Memasuki era Kolonial, lanjut Ali, peradaban modern mulai menjamah Bekasi.
Gubernur Jenderal Hindia Belanda, HW Daendels, membabat lahan guna membentangkan jalan raya Pantura Bekasi-Cirebon di awal 1800.
Akhir abad 19, dibangun rel kereta api dari Manggarai, Jakarta Selatan, ke Kedunggedeh, Bekasi.
"Moda transportasi mulai bergeser dari air ke jalan raya dan rel. Rumah mulai berpindah ke pinggir jalan. Jalan raya dan rel membuat jalan air terganggu, sehingga mulai banjir di sisi selatannya," Ali menguraikan.
Sejak pembangunan modern mengacak-acak Bekasi, Kali Bekasi dan Sungai Citarum mulai kerap meluap.
Baca juga: Tanggul Kali Bekasi di Pondok Gede Permai Rebah, Ketinggiannya Berkurang 2 Meter
Pada zaman pemerintahan Presiden Soeharto, pembangunan terjadi besar-besaran di Jawa, terutama Jakarta. Hal itu lantas menular ke Bekasi sebagai tetangga Ibu Kota.
Ali mengatakan, dekade 1980-1990 adalah klimaks pembangunan besar-besaran ini. Eksesnya, ekspansi penduduk dari Ibu Kota ke Kota Bekasi tak terelakkan.
Menyongsong migrasi yang bakal terjadi, rawa-rawa yang mayoritas berada di tepi Kali Bekasi ramai-ramai disulap jadi kawasan perumahan.
Di antara perumahan itu adalah Pondok Gede Permai, Kemang IFI Graha, Pondok Mitra Lestari, dan Kemang Pratama.
Baca juga: 5 Fakta Tanggul Kali Bekasi di Pondok Gede Permai Rebah
Banjir terparah melanda Kota Bekasi pada awal tahun 2020, di mana lebih dari 70 persen wilayahnya terendam banjir.
"Banjir paling besar terakhir (di Kota Bekasi) tahun 2002, berbarengan dengan Jakarta yang saat itu kena banjir parah juga. Tapi, tahun (2020) ini paling parah," ungkap Ali.
Hujan yang terjadi 14,5 jam nonstop sejak sebelum malam pergantian tahun itu membuat debit Kali Bekasi tembus 927 m3/detik, atau naik 30 kali lipat dari biasanya.
Torehan debit Kali Bekasi ini melampaui prediksi para ilmuwan.
Peneliti Universitas Trisakti, T Kadri, memprediksi bahwa pada tahun 2020, debit air yang mengalir di Kali Bekasi bisa mencapai 789,6 m3/detik bila tak ada intervensi yang tepat atas persoalan di DAS-nya.
Baca juga: Pemerintah Pusat Siapkan Rp 4,7 Triliun untuk Normalisasi Tanggul Kali Bekasi
Dalam risetnya bertajuk “Flood Defense in Bekasi City, Indonesia” yang terbit 2008 itu, prakiraan tadi muncul dari hasil kalkulasi Kadri terhadap peningkatan debit Sungai Cileungsi dan Cikeas dalam kurun 1998-2003.
Lantas, mengapa petaka di luar perhitungan sains ini terjadi?
Ketua Komunitas Peduli Sungai Cileungsi-Cikeas (KP2C), Puarman menaksir, akselerasi alih fungsi wilayah tangkapan air di hulu Kali Bekasi kelewat cepat.
“Saya melihat lima tahun belakangan, alih fungsi di hulu Sungai Cikeas dan Cileungsi makin masif,” ujar Puarman.
Banyak kawasan yang tadinya merupakan daerah resapan, ungkap dia, berubah menjadi perumahan dan kawasan industri.
"Semuanya mengambil jarak tidak jauh dari sempadan sungai," kata dia.
(Penulis: Vitorio Mantalean, Walda Marison | Editor: Sabrina Asril)
Artikel di atas telah tayang di Jeo.kompas.com dengan judul "Banjir Bekasi: Ironi Rawa yang Jadi Kota Penuh Beton".
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.