JAKARTA, KOMPAS.com - Siapa yang tak kenal Friedrich Silaban?
Anak dari seorang pendeta desa di Bonandolok, Tapanuli, Sumatera Utara, ini tumbuh menjadi arsitek andalan dan kebanggaan Presiden Soekarno.
Ia berjasa dalam mewujudkan visi Soekarno akan arsitektur Indonesia yang tidak hanya modern tetapi juga monumental, seperti disampaikan dalam buku Rumah Silaban terbitan mAAN Indonesia Publishing.
"Monumentalitas tersebut menjadi sebuah karakter arsitektaral yang menyebabkan efek sublim," tulis buku yang terbit dari kegiatan lokakarya beberapa mahasiswa sekolah arsitektur ini.
Sementara efek sublim sendiri diartikan sebagai sesuatu yang membuat orang takjub dan tenggelam ke dalam pesona sublim tersebut.
Baca juga: Masjid Istiqlal, Harapan Umat Islam yang Terwujud Setelah Kemerdekaan
Silaban memiliki kecenderungan untuk menciptakan skema desain arsitektur modern dan monumental. Sehingga, tendensi inilah yang membuatnya menjadi arsitek pilihan Soekarno.
Salah satu di antara karya Silaban yakni Masjid Istiqlal yang diresmikan pada 22 Februari 1978, atau 43 tahun yang lalu.
Jika masjid-masjid pada masa itu berbentuk persegi dan memiliki bukaan-bukaan yang besar tanpa daun pintu dan jendela, Istiqlal didominasi dinding vertikal dan horizontal dalam ukuran masif.
"Sehingga bentuk masjid menjadi bentuk yang baru, berbeda dengan desain masjid sebelumnya," tulis Rahil Muhammad Hasbi dan Wibisono Bagus Nimpuno dalam jurnal Pengaruh Arsitektur Modern Pada Desain Masjid Istiqlal.
Baca juga: Terowongan Istiqlal-Katedral Mulai Dibangun 20 Januari Ini
Konsepsi desain arsitekturalnya telah membuat Silaban menjadi arsitek favorit Soekarno. Ini kemudian mengangkat hidupnya ke puncak karir pada tahun 1957-1964.
Silaban merancang banyak bangunan penting dan monumental di Indonesia, seperti Bank Indonesia, Hotel Banteng (kini Hotel Borobudur), dan Istiqlal.
Biografi singkat
Lahir pada 16 Desember 1912 di Bonandolok, Silaban tumbuh dalam jaman kolonial.
Ayahnya adalah seorang pendeta, yang menyebut 'Friedrich' sebagai 'Perderik'.
Bersekolah di H.I.S. Narumonda, Tapanuli, dia kemudian melanjutkan pendidikan di Koningin Wilhelmina School, sebuah sekolah teknik di Jakarta.
Baca juga: Tak Hanya Simbol Kerukunan, Ini Fungsi Terowongan Silaturahim Masjid Istiqlal-Gereja Katedral