JAKARTA, KOMPAS.com - Tepat pada tanggal 22 Februari, 43 tahun yang lalu, Masjid Istiqlal diresmikan setelah pembangunan selama 23 tahun.
Dilansir dari laman Jakarta Tourism, Masjid Istiqlal terletak di Jalan Taman Wijaya Kusuma, Jakarta Pusat.
Dibangun di bekas Benteng Citadel milik Belanda dengan luas 9,5 hektar, Masjid Istiqlal menjadi masjid terbesar di Asia Tenggara yang dapat menampung 200.000 jemaah.
Baca juga: Masjid Istiqlal yang Mendobrak Desain Tradisional di Masanya. . .
Nama 'Istiqlal' diambil dari bahasa Arab yang berarti merdeka.
Berlokasi berseberangan dengan Gereja Katedral, Masjid Istiqlal pun menjadi simbol toleransi antaragama.
Masjid Istiqlal dibangun atas ide dari Presiden Soekarno pada 1950-an. Lalu, pada 1954, Yayasan Masjid Istiqlal pun terbentuk demi kelancaran pembangunan masjid itu.
Sejak awal, Soekarno ingin masjid itu dibangun di bekas Benteng Citadel yang pernah menjadi milik Belanda. Ada alasan politis dan artistik yang membelakanginya.
Dalam bukunya berjudul 'Masjid Istiqlal Sebuah Monumen Kemerdekaan', Soichim Salam membeberkan, Soekarno ingin Masjid Istiqlal menjadi sejarah baru bangsa Indonesia yang bisa menegakkan kemerdekaan dari penjajah.
Benteng Citadel adalah salah satu bukti penjajahan Belanda di Indonesia, sehingga harus dikubur dengan monumen kemerdekaan, yakni Masjid Istiqlal.
"Di atas bekas benteng penjajahan ini kita bangun Masjid Istiqlal yang berarti merdeka atau kemerdekaan, (itu) pertimbangan Bung Karno" tulis Solichin.
Pada 1955, Presiden Soekarno mengadakan sayembara untuk mencari arsitek dari masjid ini.
Dari 30 peserta, terjaringlah 22 kandidat yang kemudian mengerucut menjadi lima finalis.
Pada Juli 1955, dewan juri di mana Soekarno menjadi kepala juri kemudian menetapkan Friedrich Silaban sebagai arsitek dari Masjid Istiqlal.
Menariknya, Friedrich adalah seorang Kristen Protestan yang berayahkan seorang pendeta.
Friedrich diketahui berkeliling ke seluruh Indonesia dan melihat beberapa masjid di dunia untuk mempelajari desainnya.