BEKASI, KOMPAS.com - Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi menyinggung pemanfaatan ruang di wilayahnya yang tidak sebanding dengan daya dukung lingkungan sebagai penyebab banjir yang rutin melanda di musim hujan.
"Yang menjadi persoalan adalah akibat pemanfaatan ruang, pemanfaatan ruang tentunya lebih besar daripada ketersediaan ruang yang ada," kata pria yang akrab disapa Pepen kepada wartawan usai meninjau tanggul Kali Cakung di Perumahan Bumi Nasio Indah, Jatiasih, Senin (22/2/2021).
"Sehingga yang dulu wilayah water catchment (tangkapan air), air yang biasa bisa ditampung pada saat hujan deras, tidak bisa lagi (ditampung)," imbuhnya.
Persoalannya, wilayah-wilayah di Kota Bekasi merupakan dataran rendah dengan ketinggian hanya 29 meter di atas permukaan laut, termasuk perumahan-perumahan di sekitar Kali Cakung seperti Bumi Nasio Indah atau Kompleks IKIP yang dibangun pada dekade 1980-an.
Baca juga: Banjir Bekasi: Ironi Rawa yang Jadi Kota Penuh Beton
Rendahnya dataran Kota Bekasi membuatnya secara alamiah merupakan tempat parkir air, dibuktikan dengan sejarah lanskap Kota Bekasi yang dulunya didominasi rawa.
Namun, wilayah-wilayah yang mestinya rawa-rawa ini kini sudah jadi lahan terbangun, mayoritas perumahan.
"Perencanaan lahan terpakai buat rumah tinggal dan lainnya. Elevasi rumah-rumah lama yang rendah tidak mungkin lagi sesuai dengan peil banjir yang ada sekarang, maka dia menjadi tujuan air, di samping memang air tidak tertampung di saluran air yang ada, sehingga air cari jalan dengan membobol tanggul, masuk ke perumahan," ujar Pepen.
Sejarawan Bekasi Ali Anwar mengisahkan, jejak banjir di Bekasi dapat ditelusuri pada abad 5 Masehi, waktu Raja Tarumanagara, Purnawarman, membangun sodetan Kali Candrabhaga dan Kali Gomati untuk mencegah banjir ke arah keraton dan pertanian.
Dampak banjir pun tak pernah begitu hebat. Masyarakat waktu itu punya cara hidup yang selaras dengan ketentuan semesta. Mereka beradaptasi, bukan membangun secara sembrono.
"Selama berabad-abad masyarakat Bekasi hidup dengan mengandalkan Kali Bekasi menggunakan perahu. Jalan dan rumah yang berjejer dari Bogor sampai muara Bekasi menghadap ke sungai. Rumah dibangun di lokasi tinggi yang tak terjamah banjir. Kalau kena banjir, mereka membangun rumah panggung," tutur Ali.
Pada zaman kolonial, rezim Hindia Belanda mulai membangun rel kereta api yang diikuti dengan pembangunan rumah serta mengganggu jalur air.
Baca juga: Banjir di Bumi Nasio Bekasi Surut, Warga Mulai Bersih-bersih Rumah
Banjir besar di Bekasi akhirnya terjadi beberapa kali dalam kurun 1920-1945, sebelum kembali terjadi pada 1961 hingga menyebabkan epidemi malaria di Rawalumbu.
Di rezim Orde Baru Soeharto, pembangunan terjadi besar-besaran di Jawa, terutama Jakarta.
Hal itu lantas menular ke Bekasi sebagai tetangga Ibu Kota, pada dekade 1980-1990.
Eksesnya, ekspansi penduduk dari Ibu Kota ke Kota Bekasi tak terelakkan.
"Ada kerja sama pembangunan Jabodetabek untuk mengurangi beban Jakarta, sehingga dibangunlah perumahan, seperti Perumnas 1, 2 ,3," ujar Ali.
Para taipan properti juga sudah ambil ancang-ancang. Dekade 1980-an, menyongsong migrasi yang bakal terjadi, rawa-rawa yang mayoritas berada di tepi Kali Bekasi ramai-ramai disulap jadi kawasan perumahan.
Bahkan, di antara perumahan itu bercokol nama-nama kompleks semielite, sebut saja Pondok Gede Permai, Kemang IFI Graha, Pondok Mitra Lestari, sampai Kemang Pratama.
Baca juga: Banjir di Bumi Nasio Indah Bekasi: 100 KK Bertahan di Rumah, Pasien Covid-19 Dijemput Petugas
Selain menjual eksotisme sungai yang titik nolnya berada di wilayah Jatiasih dan berbatasan dengan Kabupaten Bogor, banyak lokasi perumahan dipilih karena berdampingan dengan Jalan Tol Jakarta-Cikampek yang diresmikan pada 1988.
Tanah rawa di pinggir Kali Bekasi mayoritas tak bertuan sehingga dikuasai negara. Para pengusaha properti dan pemerintah tak perlu keluar duit banyak, baik buat pembebasan lahan maupun pemindahan warga.
Riset yang dikerjakan Trihono Kadri dkk dari Universitas Trisakti dan dipublikasikan pada 2008 memperlihatkan perubahan fungsi lahan di DAS Kali Bekasi itu dalam rupa peta, dari semula hijau menjadi dominan kelabu.
Kurun 1998-2008, luas lahan untuk permukiman bertambah dari 1.715,2 hektar pada 1998 menjadi 7.142,9 pada 2003 dan 9.232,8 hektar pada 2008. Tren ini dibarengi dengan merosotnya area lahan basah.
Pada 2007, alih fungsi lahan bantaran Kali Bekasi telah mencapai 31 persen, berdasarkan riset Poniman dkk dari Universitas Islam 45.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.