JAKARTA, KOMPAS.com - Friedrich Silaban, salah satu arsitek andalan Presiden Soekarno dalam merancang bangunan monumental Indonesia pasca kemerdekaan, harus hidup susah di masa tuanya.
Ini terjadi lantaran sosok yang dekat dengan presiden pertama Indonesia itu dipinggirkan oleh rezim Orde Baru.
Rezim di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto tersebut ingin menghapuskan semua hal terkait dengan rezim Soekarno, seperti tertuang dalam buku Rumah Silaban terbitan mAAN Indonesia Publishing.
"Kemungkinan hal ini (kedekatannya dengan Soekarno) yang menyebabkan posisi Silaban sebagai arsitek tersisihkan," tulis buku tersebut.
Baca juga: Putra Friedrich Silaban: Ayah Pakai Nama Samaran demi Terpilih Jadi Arsitek Masjid Istiqlal
Dijelaskan bahwa pria yang bekerja di Departemen Pekerjaan Umum pada 1957-1965 ini mengalami kesulitan finansial di masa pensiunnya karena tak kunjung mendapatkan penghasilan tambahan.
Upah pensiunannya tidak cukup untuk menghidupi keluarganya yang besar.
Pria dengan 10 anak ini kemudian mencoba melamar ke PBB, terlihat dari isi suratnya yang ditujukan pada Alvaro Ortega, Kepala Penasihan Bangunan Inter-regional PBB.
Namun, diketahui bahwa lamaran kerja Silaban tidak diterima karena tidak ada lowongan yang tersedia pada saat itu.
Baca juga: Pergolakan Batin Friedrich Silaban Saat Ikut Sayembara Masjid Istiqlal
Ironisnya, Silaban yang mampu menerjemahkan visi Soekarno akan bangunan modern yang monumental, menjadi arsitek favorit presiden tersebut.
Di masa keemasannya, pada tahun 1957- 1964, Silaban merancang bangunan-bangunan monumental Indonesia, termasuk Masjid Istiqlal dan Bank Indonesia.
Setelah tahun 1965, karirnya meredup seiring lengsernya Soekarno dari jabatan presiden.
Krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada tahun 1960-an juga memperparah masa paceklik yang dialami Silaban.
Baru pada tahun 1978 seiring dengan membaiknya perekonomian Indonesia, Silaban kembali menerima berbagai penugasan meskipun tidak dengan intesitas yang sama seperti sebelum tahun 1965.
Baca juga: Para Ulama Siapkan Dana Rp 500.000 untuk Bangun Istiqlal, Soekarno: Tidak Cukup!
Ia merancang berbagai rumah tinggal pribadi di Bogor dan Jakarta, seperti dijelaskan dalam jurnal "Biografi Friedrich Silaban Perancang Arsitektur Masjid Istiqlal" karya Ojak Pasu P Simamora, Bedriati Ibrahim, dan Bunari dari Universitas Riau.
"Pekerjaan yang paling besar yang Friedrich Silaban terima pada masa ini adalah perancangan gedung Universitas HKBP Nommensen di Medan pada tahun 1981-1982," tulis jurnal tersebut.
Lahir pada 16 Desember 1912 di Bonandolok, Silaban tumbuh dalam jaman kolonial.
Ia bersekolah di H.I.S. Narumonda, Tapanuli, dan kemudian melanjutkan pendidikan di Koningin Wilhelmina School, sebuah sekolah teknik di Jakarta.
Di sekolah ini, ia mempelajari ilmu bangunan (bouwkunde) dan lulus pada tahun 1931.
Baca juga: Masjid Istiqlal yang Mendobrak Desain Tradisional di Masanya. . .
Sayangnya, Silaban tidak dapat melanjutkan pendidikannya ke tingkat universitas karena masalah finansial.
"Tapi di luar itu semua, beliau telah mendedikasikan dan mengabdikan hidupnya hingga mencapai kemampuan menghasilkan berbagai desain arsitektur Indonesia, melalui pembelajaran pribadi yang tiada henti," tulis buku Rumah Silaban.
Segera setelah kelulusannya pada 1931, Silaban menjadi pegawai di Departemen Umum di bawah pemerintah kolonial.
Setelah kemerdekaan, ia diangkat menjadi direktur Pekerjaan Umum di Bogor, sebuah jabatan yang dipegangnya hingga 1965 setelah jatuhnya Soekarno.
Baca juga: Pidato Soekarno saat Pembangunan Istiqlal: Membuat Masjid, Buatlah! Jangan Kecil-kecilan!
Jurnal "Biografi Friedrich Silaban Perancang Arsitektur Masjid Istiqlal" mengungkapkan bahwa Silaban mulai mengalami kemunduran kesehatan pada 1983.
Di antara penyakit yang dideritanya adalah gangguang fungsi kandung kemih, maag, dan kelainan darah.
Pada kurun waktu Juni hingga Juli 1983, Silaban secara rutin memeriksakan diri di laboratorium klinis dan memonitor komposisi kandungan hemoglobin pada darahnya yang kian berkurang.
Silaban sempat menjalani pengobatan di Singapura, namun kondisinya tetap melemah.
Baca juga: Awal Mula Masjid Istiqlal, Soekarno dan Hatta Berdebat Saat Tentukan Lokasi
Di akhir 1983, ia dirawat di RSPAD Gatot Soebroto, Jakarta Pusat, karena terjatuh. Kondisinya semakin memburuk di tahun-tahun berikutnya.
Pada hari Minggu, 13 Mei 1984, Silaban terpaksa dilarikan kembali ke RSPAD karena mengalami sakit perut disertai dengan muntah-muntah. Setelah itu kondisinya memburuk selama beberapa jam.
"Friedrich Silaban akhirnya menghembuskan nafas terakhir pada hari Senin, 14 Mei 1984, pada pukul 2 dini hari," tulis jurnal tersebut.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.