Ada tiga sungai di Jakarta yang kemudian menjadi fokus program Prokasih era Bang Wi, yakni Sungai Ciliwung, Cipinang, dan Mookervart.
"Di DKI Prokasih melibatkan tiga sungai: Ciliwung, Cipinang, Mookervart," ujar Bang Wi.
Proyek tersebut menemui sejumlah permasalahan, seperti di Sungai Ciliwung.
Menurut Bang Wi, kondisi sungai tersebut sangat memprihatinkan, dipenuhi sedimentasi, dan tampak kumuh karena warga yang tinggal di bantaran kali.
"Mengatasi masalah Ciliwung saja belum bisa dilaksanakan. Sebab, polusi ini hasil perbuatan manusia, berarti harus memindahkan warga yang ada di bantaran sungai tadi," ujar Wiyogo.
Wiyogo menjelaskan, merelokasi warga di bantaran kali jauh lebih sulit dibanding mewajibkan pabrik-pabrik untuk menyaring limbahnya agar tidak jadi polusi.
Baca juga: Wagub DKI: Banjir di Daerah Lain Berhari-hari Belum Selesai, di Jakarta Satu Hari Surut
Ia menambahkan, untuk mewujudkan proyek nasional, perlu ada dukungan besar dari semua elemen termasuk pemerintah dan masyarakat.
"Untuk proses evolusi urban ini, kita perlu membuat perencanaan yang baik. Dan untuk itu, segenap warga diharapkan menaati peraturan-peraturan yang ada," tutur Bang Wi.
Di era Bang Wi, ada proyek pembangunan Kanal Banjir Timur dan Barat yang pengerjaannya kemudian berlanjut ke pemerintahan gubernur selanjutnya seperti Sutiyoso.
Sementara itu, Gubernur DKI periode 1997-2007, Letnan Jenderal (Purn) TNI Sutiyoso mengaku telah memikirkan konsep giant sea wall atau tembok raksasa guna mengantisipasi banjir karena air pasang laut atau rob.
Di era Bang Yos, setidaknya ada 30 persen daerah di Jakarta yang permukaannya sejajar dengan permukaan air laut.
Hal itu menyebabkan beberapa kawasan seperti di Jakarta Utara terkena banjir rob setiap kali terjadinya air pasang.
"Jakarta ini kota pantai atau dekat pantai, dan 30 persen daerahnya itu flat atau sama dengan daratan di pantai," kata Bang Yos saat wawancara khusus dengan Kompas.com, Senin (3/2/2020) lalu.
Bang Yos kemudian, melihat dan belajar dari negara-negara maju di Eropa. Konsep giant sea wall dari Belanda dipilihnya.
"Nanti tembok ini berfungsi juga sebagai jalan tol juga dari barat ke selatan jadi dibuat multifungsi, sehingga air akan balik lagi karena ada tembok raksasa nya seperti itu Belanda juga bikin seperti itu," paparnya.
Konsep giant sea wall itu kemudian menjadi megaproyek tanggul laut raksasa atau proyek Pembangunan Pesisir Terpadu Ibu Kota Negara atau National Capital Integrated Coastal Development (NCICD).
Tanggul laut itu dibangun di utara Jakarta, bertujuan untuk menyelamatkan daratan Jakarta dari ancaman banjir rob.
NCICD tipe A merupakan bagian dari proyek NCICD yang mencakup peninggian dan penguatan tanggul laut di pantai utara sepanjang 32 kilometer dan pemasangan stasiun pompa.
Ide untuk membangun NCICD disebut digaungkan pada era pemerintahan Presiden Soeharto. Saat itu, muncul ide agar pembangunan tanggul tidak membebani anggaran negara.
Baca juga: Fraksi PSI Kembali Pertanyakan Terjadinya Banjir Jakarta Saat Katulampa Berstatus Normal
Ide itu kemudian dituangkan dalam Keputusan Presiden Nomor 52 tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta dan perjanjian dengan PT Manggala Krida Yudha, pengembang yang mengantongi izin prinsip reklamasi Pulau M.
Namun, izin prinsip reklamasi Pulau M dicabut oleh Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan pada September 2018.
Buntut dari pencabutan izin reklamasi itu, pengembang mengundurkan diri.
Sejumlah permasalahan penuntasan tanggul masih terjadi sampai saat ini, meski pengerjaannya kini dibagi ke Dinas Sumber Daya Air DKI Jakarta dan Kementerian PUPR.
Gubernur DKI periode 2007-2012, Fauzi Bowo, mencetuskan proyek Jakarta Emergency Dredging Initiative (JEDI).