Proyek tersebut secara umum mencakup perbaikan sungai, waduk dan situ, serta merehabilitasi sejumlah jalan air utama di Jakarta.
JEDI, yang dicetuskan pada 2009, baru bisa dijalankan pada Maret 2012 karena persoalan dana.
Proyek itu lama teronggok karena terganjal peraturan pemerintahan (PP) untuk mengajukan pinjaman dari Bank Dunia.
Bank Dunia, disebut Foke, siap menyediakan pinjaman untuk proyek JEDI sebesar Rp 1,5 triliun atau setara dengan 150,5 juta dollar AS. Pinjaman ini dibagi dua, yaitu pinjaman Pemerintah Pusat Rp 631 miliar (46,6 persen), dan pinjaman Pemprov DKI Rp 724 miliar (53,4 persen).
"Saya kan ingin dari awal 2009. Apapun yang diputus silakan saja yang penting cepat kerja," kata Foke di Balai Kota, Jakarta, Rabu (23/11/2011).
Proyek JEDI pun mulai dijalankan setelah Bank Dunia memberikan pinjaman.
Gubernur DKI berikutnya, Joko Widodo, kemudian melanjutkan proyek JEDI. Akan tetapi, perjanjian peminjaman dana dari Bank Dunia dipersingkat dari lima tahun ke dua tahun agar bunga utang tidak membengkak.
Baca juga: Manuver Anies Atasi Banjir: Ganti Kadis Sumber Daya Air
Gubernur DKI periode 2014-2017, Basuki Tjahaja Purnama, dikenal publik sebagai sosok yang keras dan tegas, termasuk dalam penanganan banjir.
Tak tanggung-tanggung, Ahok gencar menertibkan bangunan liar di sekitar waduk dan sungai.
Ia bahkan merelokasi warga yang sempat tinggal di bantaran kali ke sejumlah rumah susun (rusun).
Menurutnya, hal tersebut diperlukan agar penerapan normalisasi sungai dan waduk dapat maksimal.
"Prinsipnya begini, jika hujan turun terus menerus air di sungai maupun waduk dapat meluap, karena ada titik maksimal menampung air. Terlebih kurangnya daya tampung juga dikarenakan banyaknya bangunan yang berdiri di atasnya atau di pinggirannya," kata Ahok seperti dikutip Kompas.com dalam buku "Kebijakan Ahok" oleh Basuki Tjahaja Purnama.
Ahok pun tidak gusar dengan pendapat bahwa ia tidak manusiawi saat merelokasi warga di bantaran sungai.
"Kebijakan penertiban inilah yang selalu dikaitkan dengan cara kepemimpinan saya yang disebut tidak manusiawi. Justru kalau saya membiarkan warga terendam banjir di setiap musim hujan lah yang tidak manusiawi," ujar Ahok.
"Toh, saya menggusur tidak asal gusur. Di sekitar area normalisasi saya relokasi ke rusun-rusun milik Pemprov DKI Jakarta, mulai dari Rusunawa Marina hingga Rusun Pulo Gebang di Jakarta Timur," tambahnya.
Ahok menegaskan, ia tidak serta merta menggusur warga, melainkan bersosialisasi terlebih dahulu.
"Apakah saya serta merta main gusur saja? Tanpa sosialisasi? Sosialisasi soal normalisasi sungai dan waduk kepada warga ini membutuhkan waktu cukup lama," ucap Ahok.
Saya membutuhkan setidaknya tiga tahun agar sebagian besar warga mengerti dan memahami soal program pengentasan masalah banjir ini," katanya lagi.
Di masa kepemimpinan Ahok, proyek normalisasi Sungai Ciliwung yang dicanangkan pendahulunya, Joko Widodo, pada 2013 masih berjalan.
Akan tetapi, normalisasi tersebut tidak bisa dituntaskan karena adanya pergantian gubernur di DKI saat normalisasi baru selesai sepanjang 16 kilometer dari total 33,69 kilometer.
Proyek tersebut bahkan dihapus dalam draf perubahan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Jakarta 2017-2022.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.