JAKARTA, KOMPAS.com - Banjir di Jakarta sudah terjadi sejak lama, bahkan sejak masa penjajahan kolonial Belanda ketika Ibu Kota masih bernama Batavia.
Penyebab utama banjir adalah tingginya debit air kiriman dari daerah hulu di Jawa Barat saat musim hujan datang. Air tersebut mengalir sepanjang Sungai Ciliwung dan bermuara di Teluk Jakarta.
Pemerintah Belanda kemudian menugaskan ahli tata air Belanda, Herman van Breen, untuk mengendalikan air dari hulu sekaligus membatasi volume air yang masuk ke kota, seperti dilansir dari Kompas.
Saat itu, pusat pemerintahan dan perekonomian Batavia masih berkutat di sekitar Kota Tua hingga ke Weltevreden (kini wilayah Sawah Besar).
Van Breen pun mencetuskan ide pembangunan Pintu Air Manggarai di selatan Jakarta untuk menampung air yang masuk dari hulu.
Baca juga: Cerita Pemerintah Hindia Belanda Habiskan Jutaan Gulden, tetapi Tak Bisa Atasi Banjir Jakarta
Air tersebut kemudian disalurkan menuju laut melalui Kanal Barat yang juga perlu dibangun.
Menurut arkeolog Candrian Attahiyyat, proposal proyek pengendalian banjir itu diajukan oleh Van Breen pada 1903.
Namun, pembangunannya sendiri baru berjalan tahun 1914-1918 karena minimnya dana, mengingat saat itu krisis ekonomi sedang mendera dunia.
Atas jasanya, Van Breen diberi penghargaan oleh Departement van Burgerlijke Openbare Werken (BOW) atau departemen urusan perairan pada tahun 1919.
Monumen penghargaan yang ditulis dengan bahasa Belanda itu masih terpasang di tembok terowongan Pintu Air Manggarai.
Baca juga: Muncul Rencana PSI Interpelasi Anies soal Banjir, Apa Maknanya?
Dalam pemberitaan harian Kompas (5/2/2007) sejarawan Restu Gunawan menyebutkan, pada 19 Februari 1918, banjir besar merendam pusat perekonomian dan pemerintahan Jakarta.
Wilayah yang terendam adalah Straat Belandongan, Kali Besar Oost, Pinangsia, Prinsenlaan, Tanah Tinggi, Pejambon, Grogol, Kebon Jeruk, Kampung Tambora, Suteng, Kampung Klenteng Kapuran, dan Kampung Tangki.
Banjir tak luput menggenangi Kampung Jacatra atau Kampung Pecah Kulit di samping Kali Gunung Sari, Angke, Pekojan, dan sekitarnya.
Di Jakarta waktu itu juga dilanda wabah kolera. Setiap hari, 6-8 orang masuk rumah sakit.
Melihat kondisi seperti itu, Gemeenteraad (DPRD) Batavia mengadakan sidang paripurna. Sidang tersebut dihadiri 14 anggota DPRD, Wali Kota Batavia G.J Bisschop, dan Herman van Breen sebagai arsitek Pintu Air Manggarai.
Baca juga: Saat Rencana PSI Interpelasi Anies soal Banjir Disambut Gelak Tawa Pimpinan DPRD DKI
Schotman, anggota DPRD, mencecar Bisschop dengan pertanyaan tentang penanganan banjir. Breen juga ditanya, apakah Kanal Barat dapat mengatasi banjir?
Van Breen tidak menjamin Jakarta akan bebas banjir. Sebab, sesungguhnya kanal dan Pintu Air Manggarai hanya memindahkan wilayah banjir.
Banjir yang tadinya melanda pusat pemerintahan Hindia Belanda di Weltevreden (Monas, Lapangan Banteng, dan sekitarnya) dan permukiman elite Menteng dipindah ke Manggarai dan Jatinegara.
Manggarai yang ketika itu terletak di luar kota diprioritaskan untuk menanggulangi banjir Jakarta yang luasnya hanya 162 kilometer persegi.
Baca juga: Saat Rencana PSI Interpelasi Anies soal Banjir Tidak Didukung Fraksi Lain di DPRD DKI
Sementara itu Candrian mengatakan, Pintu Air Manggarai serta Kanal Barat dibuat untuk membantu meringankan beban Pintu Air Istiqlal, yang sudah terbangun lebih dulu.
Pintu Air Istiqlal, dulu dikenal juga sebagai Sluisburg (jembatan pintu air) serta Pintu Air Kapitol, dibuat untuk mengendalikan air di saluran agar tidak menyebabkan banjir bagi Weltevreden.
”Namun, pintu air ini jebol karena banjir pada akhir abad ke-19,” ucapnya. (Kompas/ Dian Dewi Purnamasari, J Galuh Bimantara)
Artikel di atas telah tayang di Kompas.id dengan judul "Tak Cukup Pintu Air Manggarai".
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.