Iya, dong. Kita selalu baca, misal di Minang, ada "alam takambang jadi guru". Aku dari dulu dengar itu dari Gusmiati Suid yang dulu memang tokoh di dunia tari, sampai dikenal internasional, beliau sudah almarhum.
Alam takambang jadi guru—alam ini guru kita. Alam, apa pun yang ada di dalam ini, dengan beragamnya bunga, daun, pohon, gunung, laut, semuanya adalah guru. Lihatlah, bermacam-macam, beragam, mana ada tanaman yang sama?
Kayak di Jawa, (ada pepatah) “ngelmu iku kalakone kanthi laku”. Ngelmu itu knowledge (pengetahuan), knowledge itu dapat kita peroleh kalau kita melakukan terus-menerus.
Kan, tidak ada pelajaran menjadi ibu yang baik seperti apa; atau menjadi anak, atau bapak, kan tidak ada pelajarannya, tapi dengan melakukanlah kita belajar. Lah, kok, itu semua hilang, ke mana itu semuanya?
Maksud Anda, selama satu tahun ini kita menjalani situasi pandemi, kita tidak kunjung belajar?
Ya, iya. Padahal, dalam agama apa pun, ketika kita dapat ujian—aku tuh enggak hafal, tapi paling enggak saat kita diuji, kita dapat mengatasinya. Bahwa Tuhan menguji karena kita mampu mengatasi, tapi kok semua pelajaran itu seperti hilang?
Dulu, saat Anda diumumkan positif Covid-19, orang-orang ekstrawaspada, berdiam di rumah dengan inisiatif pribadi, padahal saat itu yang positif kemungkinan hanya Anda dan keluarga. Saat ini, yang positif Covid-19 ribuan, tapi kita seakan abai?
Satu, masalah ekonomi. Dua, ada yang abai dan tetap enggak percaya.
Susah komentarnya. Tapi, yang masalah ekonomi, saya masih bisa lebih mengerti, dalam arti, mereka kan harus berdaya. Jadi tetap melakukan protokol kesehatan dan tetap berdaya-upaya agar bisa memberi makan keluarganya dan itu saya hargai sekali.
Tapi, kalau yang cuma abai saja dan tidak mau tahu, menurut saya sih jadi kurang bertanggung jawab terhadap diri dan sekitarnya.
Konspirasi atau enggak kan kita tidak tahu. Kita bisa melakukan apa sih? Yang penting kan kita, pertama, harus melindungi diri dan keluarga.
Protokol kesehatan itu harus dilaksanakan, enggak ada pilihan. Ini adalah transisi kehidupan yang luar biasa buat bumi kita.
Yang jelas, pandemi yang tak kunjung kelihatan ujungnya ini memang melelahkan. Bagaimana cara supaya kita dapat terus berpikiran positif dan tidak menyerah dengan pandemic fatigue?
Apa ya, mungkin kembali ke... Kita tuh kalau kembali ke inti kehidupan, kita masih dapat napas, lho, dari, kalau tidak percaya Tuhan, ya, dari alam semesta.
Napas itu kan yang satu-satunya membuat kita hidup. Jadi, peliharalah napas itu, perhatikan napas itu. Ha-ha-ha.
Sorry, maksudku begini. Saya belajar qigong, saya dari kecil belajar napas dari Bapak, belajar silat sedikit, kemudian belajar renang kan juga pakai napas. Saya menyadari, yang kita dapatkan dari kehidupan ini, yang bisa membuat kita tetap hidup adalah napas.
Bersyukurlah bahwa kita masih ada napas. Ketika kita masih bernapas, kita masih diberi kesempatan untuk hidup. Saat hidup, peliharalah.
Tarik napas dan buang napas itu kan memberikan kesehatan buat tubuh kita. Kalau kita masih diberikan napas, ya itulah yang paling sederhana yang bisa kita lakukan.
Rasa syukur itu memang kadang terpikir membosankan, bersyukur apa lagi? Ya napas itu saja. Syukuri napas itu. Kita berikan perhatian sehingga kita masih bisa hidup dan “menghidupi hidup” itu. Kita diberi semua itu dengan gratis oleh Tuhan, oleh Allah, oleh alam semesta itu.
Itu yang paling sederhana karena saya tidak bisa ngomong yang lain.
Langkah yang lain, saya selalu bertemu dengan tanah. Itu, memberikan sesuatu ke tanah, kemudian saya dapat berkah, itu kebahagiaan, Mas. Aku enggak bisa ngomong yang lebih dari itu.
Artinya, kita sebaiknya menyadari bahwa napas adalah kemewahan yang bisa kita akses gratis dan kemewahan luar biasa itu akan tercerabut saat kita terinfeksi Covid-19. Itu maksud Anda?
Ya! Banyak kan, yang tiba-tiba sesak, lalu panik, terus enggak ada lagi kehidupannya. Berarti yang bisa kita hargai, ya, napas kita ini.
Aku ingat banget, saat diisolasi, saya sempat pingsan, saya pikir karena saya darah rendah, ternyata ada oksigen yang turun, jadi saya sempat pingsan di kamar mandi, sendiri pula waktu itu.
Untung saya tenang banget, jadi saya sabar, terus diam lama di kamar mandi, lalu baru pelan-pelan. Kalau saya panik, bisa berhenti kali napasnya.
Itu satu, lalu kedua ….
Ini aku kadang alami long Covid seperti ini, nih, napasnya kayak terengah-engah, kamu dengar kan?
Ya...
Dulu aku enggak gini. Kalau jalan pagi sekarang, tuh, kadang-kadang merasa, lho, kok capek, ya.
Saya rasanya pulih ya, tapi kadang-kadang ada memori yang suka agak lama terpikir.
Misalnya, nama jalan. Saya sering dengar, kok, tapi lupa di mana? Aku harus diam dulu, aku tanya anakku, baru teringat.
Sekitar lima bulan yang lalu, misalnya, dengar ada Jalan Ampera, aku diam dulu. Ampera kayaknya aku tahu. Padahal, dulu setiap hari aku lewatin, kok sekarang tiba-tiba tanya di mana. Ha-ha-ha.
Itu ternyata, long Covid kayak begitu.
Ada temanku yang memori penciumannya hilang, kayak dia melihat durian tapi dia lupa rasanya.
Kita harus menghargai napas. Luar biasa.
Putri Anda gencar mengedukasi warganet soal Covid-19 dan belakangan ini soal vaksin. Namun, di saat yang sama, upaya itu seperti beradu dengan orang-orang yang sengaja menebar disinformasi dan isu-isu konspiratif. Bagaimana komentar Anda?
Menyedihkan sih. Aku prihatin banget dengan situasi ini. Masalahnya apa, sih? Pendidikan? Atau apa?
Sekarang, harapan baru muncul dengan vaksinasi. Apa yang ingin Anda sampaikan terhadap mereka yang masih meragukannya?