Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

[EKSKLUSIF] Refleksi Setahun Covid-19 ala Pasien 02 Maria Darmaningsih: Antara Berkebun dan Merosotnya Kemanusiaan Kita

Kompas.com - 02/03/2021, 05:54 WIB
Vitorio Mantalean,
Nursita Sari

Tim Redaksi

DEPOK, KOMPAS.com – Seperti kebanyakan kita dulu, Maria Darmaningsih (64) juga tak pernah menyangka pandemi Covid-19 akan mengganas hingga saat ini.

Setahun lalu, ia dan putrinya, Sita Tyasutami, menjadi dua WNI pertama di Indonesia yang diumumkan terinfeksi Covid-19.

Sita disebut pasien 01, sedangkan Maria pasien 02. Beberapa bulan usai kesembuhannya, Maria mengira pandemi ini akan berlangsung singkat saja.

“Saya ingat banget, waktu itu bulan Mei, saya dapat WhatsApp bahwa ada perkiraan Agustus 2020 kemungkinan baru ditemukan vaksin. Aku bilang, masak sih sampai Agustus,” kata Maria melalui sambungan telepon, kemarin malam, Senin (1/3/2021).

“Tahu-tahu, Agustus lewat begitu saja. September juga kok terus saja. Enggak terbayang aku bahwa akan begini lama, sungguh,” lanjutnya.

Baca juga: Situasi Kontras Jakarta dan Wuhan 1 Tahun Setelah Kasus Covid-19 Pertama Dilaporkan

Kini Maria banyak berurusan dengan tanaman-tanaman di halamannya, suatu hobi yang sudah ia tekuni sejak tiga tahun silam, dan kian ia geluti di masa pandemi.

Berkebun yang menurutnya bukan sekadar menanam dan memetik hasilnya, melainkan juga sebentuk kasih sayang terhadap tanah, terhadap ibu bumi.

“Ibu bumi, mother earth itu, kan selalu caring (perhatian), memberi kasih sayang, dan itu mencerminkan Gusti Allah juga yang selalu memberi. Jadi saat kita memberikan ke tanah, kita mendapat berkah, dan lalu selalu berbagi sesama tetangga. Itu kebahagiaannya luar biasa,” ungkapnya.

Ketika berbincang dengan Kompas.com semalam, ia bicara banyak soal pandemi secara reflektif dari sudut pandang yang tak terduga: kebudayaan.

Latar belakang Maria sebagai penari kawakan barangkali dapat membantu kita memahami alasannya mengaitkan pandemi dengan kebudayaan kita.

Baca juga: Kilas Balik Kronologi Munculnya Kasus Pertama Covid-19 di Indonesia

Pandemi, dalam beberapa aspek, rupanya menelanjangi merosotnya kemanusiaan kita.

Wabah ini seakan memberi kesempatan untuk kita becermin bahwa sebagian dari kita mungkin sudah lupa, atau tercerabut, dari ajaran-ajaran arif leluhur soal kemanusiaan dan kepedulian yang semestinya kita gugu.

Di sela-sela obrolan, sesekali napasnya terengah. Ia mengakuinya sebagai efek kesehatan jangka panjang akibat Covid-19 (long Covid) yang dideritanya tepat setahun lalu.

Simak perbincangan Kompas.com dengan Maria Darmaningsih:

Bagaimana Anda mengingat pengalaman bersejarah itu—Anda dan putri jadi dua WNI pertama yang diumumkan positif Covid-19 di Indonesia?

Beda banget, dong, ya. Dulu kan heboh banget, kita semua enggak mengerti itu apa, dan itu luar biasa hebohnya.

Kami kan awalnya karena ngotot melapor, tapi saat melapor semuanya masih bingung menghadapi. Kami sebagai pasien tidak diberi tahu atau apa, tiba-tiba ada pengumuman.

Itu kan bikin heboh seluruh Indonesia. Jadi orang-orang yang satu kompleks dengan saya saat itu juga disuruh pulang, yang kerja dan sekolah dengan saya disuruh pulang dan enggak boleh kerja atau sekolah lagi.

Pengaruhnya terhadap yang satu kompleks itu luar biasa stigmanya.

Tahun lalu, apakah Anda pernah mengira bahwa setahun kemudian situasi pandemi akan sekompleks sekarang?

Enggak. Saya ingat banget, waktu itu bulan Mei, saya dapat WhatsApp bahwa ada perkiraan Agustus 2020 kemungkinan baru ditemukan. Aku bilang, masak sih sampai Agustus?

Jadi, dulu Anda membayangkan bahwa Agustus sudah tidak pandemi?

Iya, ha-ha-ha. Ah, enggak mungkin sampai Agustus, jangan gitu dong. Tahu-tahu, Agustus lewat begitu saja. September juga kok terus aja. Enggak terbayang aku bahwa akan begini lama, sungguh. Ya, luar biasa juga, sih.

Soal stigma, dulu Anda jadi korban. Sekarang, Anda merasa bahwa kita sudah bisa menerima bahwa Covid-19 bukan aib?

Saya masih baca di koran bahwa sekarang yang sakit (Covid-19) masih suka diam-diam karena banyak yang tidak membantu.

Itu menyedihkan buat saya karena seharusnya orang sudah belajar bahwa kita tuh bisa menangani dengan bersama-sama, kalau bisa saling bantu.

Saya tidak bisa mengerti bahwa kemanusiaan kita malah hilang dengan Covid-19.

Harusnya kan malah semakin tinggi tingkat kemanusiaannya. Saya pikir, apa ini pendidikan kita yang kurang atau apa? Belum lagi yang di-bully.

Saya kan belajar tradisi kita karena saya penari, saya belajar filosofinya. Sepertinya kan banyak hal-hal yang tinggi dalam filosofi kita, tapi kok ketika kena Covid-19... Apa, sih, yang salah, kok kita (pengidap Covid-19) jadi di-bully habis-habisan?

Memang apa, sih, yang bikin kita sakit? Memang kita yang minta? Saya enggak paham. Orang-orang yang sakit dan sampai tidak mau bilang ke tetangga karena nanti distigma, tidak dibantu, yang begitu-begitu enggak masuk di hati saya. Saya enggak ngerti sampai sekarang.

Kadang, aku pikir, aku konsentrasi saja dengan kehidupanku dan keluarga. Masih banyak, kok, yang sayang. Kalau enggak begitu, bisa gila, kalau ngikutin bully-bully-an.

Bagaimana seharusnya masing-masing kita menyikapi pandemi ini, menurut Anda?

Semuanya kan wallahu a’lam, ya, kita tidak bisa … Kita semua berusaha, tapi kan seharusnya, menurut saya, merefleksikan lagi kehidupan kita.

Mungkin bumi ini terlalu tercemar, kita selalu menggerogoti dan mengeksploitasi, yuk, kita berbuat baik untuk bumi.

Tanah juga merintih, yuk, kita berterima kasih kepada tanah dengan cara … Saya selalu ajari ART (asisten rumah tangga) saya, jika kita ambil pisang, pisangnya dimakan, kulitnya dibuang dan kembalikan ke tanah dengan cara, kalau kita enggak punya lahan, kita pisahkan, kita bikin kompos. Itu kan berbuat baik untuk bumi.

Itu refleksiku, sih, ya. Bukan menge-judge (menghakimi) semua orang. Ini kan kesempatan kita merefleksikan kehidupan kita sendiri, tidak perlu repot dengan di luar sana.

Saya enggak ngerti sih, dan saya memang tidak paham. Enggak ngerti. Aku benar-benar enggak ngerti, kenapa kita benar-benar menurun secara kemanusiaan.

Jadi, menurut Anda, Covid-19 ini menunjukkan kemunduran kita dalam berbudaya?

Iya, dong. Kita selalu baca, misal di Minang, ada "alam takambang jadi guru". Aku dari dulu dengar itu dari Gusmiati Suid yang dulu memang tokoh di dunia tari, sampai dikenal internasional, beliau sudah almarhum.

Alam takambang jadi guru—alam ini guru kita. Alam, apa pun yang ada di dalam ini, dengan beragamnya bunga, daun, pohon, gunung, laut, semuanya adalah guru. Lihatlah, bermacam-macam, beragam, mana ada tanaman yang sama?

Kayak di Jawa, (ada pepatah) “ngelmu iku kalakone kanthi laku”. Ngelmu itu knowledge (pengetahuan), knowledge itu dapat kita peroleh kalau kita melakukan terus-menerus.

Kan, tidak ada pelajaran menjadi ibu yang baik seperti apa; atau menjadi anak, atau bapak, kan tidak ada pelajarannya, tapi dengan melakukanlah kita belajar. Lah, kok, itu semua hilang, ke mana itu semuanya?

Maksud Anda, selama satu tahun ini kita menjalani situasi pandemi, kita tidak kunjung belajar?

Ya, iya. Padahal, dalam agama apa pun, ketika kita dapat ujian—aku tuh enggak hafal, tapi paling enggak saat kita diuji, kita dapat mengatasinya. Bahwa Tuhan menguji karena kita mampu mengatasi, tapi kok semua pelajaran itu seperti hilang?

Dulu, saat Anda diumumkan positif Covid-19, orang-orang ekstrawaspada, berdiam di rumah dengan inisiatif pribadi, padahal saat itu yang positif kemungkinan hanya Anda dan keluarga. Saat ini, yang positif Covid-19 ribuan, tapi kita seakan abai?

Satu, masalah ekonomi. Dua, ada yang abai dan tetap enggak percaya.

Susah komentarnya. Tapi, yang masalah ekonomi, saya masih bisa lebih mengerti, dalam arti, mereka kan harus berdaya. Jadi tetap melakukan protokol kesehatan dan tetap berdaya-upaya agar bisa memberi makan keluarganya dan itu saya hargai sekali.

Tapi, kalau yang cuma abai saja dan tidak mau tahu, menurut saya sih jadi kurang bertanggung jawab terhadap diri dan sekitarnya.

Konspirasi atau enggak kan kita tidak tahu. Kita bisa melakukan apa sih? Yang penting kan kita, pertama, harus melindungi diri dan keluarga.

Protokol kesehatan itu harus dilaksanakan, enggak ada pilihan. Ini adalah transisi kehidupan yang luar biasa buat bumi kita.

Yang jelas, pandemi yang tak kunjung kelihatan ujungnya ini memang melelahkan. Bagaimana cara supaya kita dapat terus berpikiran positif dan tidak menyerah dengan pandemic fatigue?

Apa ya, mungkin kembali ke... Kita tuh kalau kembali ke inti kehidupan, kita masih dapat napas, lho, dari, kalau tidak percaya Tuhan, ya, dari alam semesta.

Napas itu kan yang satu-satunya membuat kita hidup. Jadi, peliharalah napas itu, perhatikan napas itu. Ha-ha-ha.

Sorry, maksudku begini. Saya belajar qigong, saya dari kecil belajar napas dari Bapak, belajar silat sedikit, kemudian belajar renang kan juga pakai napas. Saya menyadari, yang kita dapatkan dari kehidupan ini, yang bisa membuat kita tetap hidup adalah napas.

Bersyukurlah bahwa kita masih ada napas. Ketika kita masih bernapas, kita masih diberi kesempatan untuk hidup. Saat hidup, peliharalah.

Tarik napas dan buang napas itu kan memberikan kesehatan buat tubuh kita. Kalau kita masih diberikan napas, ya itulah yang paling sederhana yang bisa kita lakukan.

Rasa syukur itu memang kadang terpikir membosankan, bersyukur apa lagi? Ya napas itu saja. Syukuri napas itu. Kita berikan perhatian sehingga kita masih bisa hidup dan “menghidupi hidup” itu. Kita diberi semua itu dengan gratis oleh Tuhan, oleh Allah, oleh alam semesta itu.

Itu yang paling sederhana karena saya tidak bisa ngomong yang lain.

Langkah yang lain, saya selalu bertemu dengan tanah. Itu, memberikan sesuatu ke tanah, kemudian saya dapat berkah, itu kebahagiaan, Mas. Aku enggak bisa ngomong yang lebih dari itu.

Artinya, kita sebaiknya menyadari bahwa napas adalah kemewahan yang bisa kita akses gratis dan kemewahan luar biasa itu akan tercerabut saat kita terinfeksi Covid-19. Itu maksud Anda?

Ya! Banyak kan, yang tiba-tiba sesak, lalu panik, terus enggak ada lagi kehidupannya. Berarti yang bisa kita hargai, ya, napas kita ini.

Aku ingat banget, saat diisolasi, saya sempat pingsan, saya pikir karena saya darah rendah, ternyata ada oksigen yang turun, jadi saya sempat pingsan di kamar mandi, sendiri pula waktu itu.

Untung saya tenang banget, jadi saya sabar, terus diam lama di kamar mandi, lalu baru pelan-pelan. Kalau saya panik, bisa berhenti kali napasnya.

Itu satu, lalu kedua ….

Ini aku kadang alami long Covid seperti ini, nih, napasnya kayak terengah-engah, kamu dengar kan?

Ya...

Dulu aku enggak gini. Kalau jalan pagi sekarang, tuh, kadang-kadang merasa, lho, kok capek, ya.

Saya rasanya pulih ya, tapi kadang-kadang ada memori yang suka agak lama terpikir.

Misalnya, nama jalan. Saya sering dengar, kok, tapi lupa di mana? Aku harus diam dulu, aku tanya anakku, baru teringat.

Sekitar lima bulan yang lalu, misalnya, dengar ada Jalan Ampera, aku diam dulu. Ampera kayaknya aku tahu. Padahal, dulu setiap hari aku lewatin, kok sekarang tiba-tiba tanya di mana. Ha-ha-ha.

Itu ternyata, long Covid kayak begitu.

Ada temanku yang memori penciumannya hilang, kayak dia melihat durian tapi dia lupa rasanya.

Kita harus menghargai napas. Luar biasa.

Putri Anda gencar mengedukasi warganet soal Covid-19 dan belakangan ini soal vaksin. Namun, di saat yang sama, upaya itu seperti beradu dengan orang-orang yang sengaja menebar disinformasi dan isu-isu konspiratif. Bagaimana komentar Anda?

Menyedihkan sih. Aku prihatin banget dengan situasi ini. Masalahnya apa, sih? Pendidikan? Atau apa?

Sekarang, harapan baru muncul dengan vaksinasi. Apa yang ingin Anda sampaikan terhadap mereka yang masih meragukannya?

Dengan situasi sekarang pun, saya melihat ada vaksin dan itu gratis dari pemerintah, itu luar biasa Indonesia. Saya angkat topi.

Berarti memang pemerintah berupaya terus. Memang, selalu ada kendala, tapi saya melihat keinginan pemerintah dengan bekerja sebaik-baiknya itu kelihatan sekali.

Saya bandingkan dengan teman-teman saya yang di Amerika dan di Eropa itu pada menghargai yang dilakukan pemerintah kita, itu kalau dari luar ya. Tapi, kalau di sini, seakan-akan masih salah terus, salah melulu.

Menurut saya, itu lagi. Mungkin pendidikan atau apa, yang tidak bisa melihat sesuatu yang positif. Menyedihkan juga, karena artinya melihat kehidupannya sendiri juga selalu negatif.

Itu kan berat. Seseorang yang selalu melihat negativity itu kan berarti, sorry, aku bukan judgement, tapi kemungkinan melihat hidupnya sendiri juga negatif. Nah, itu kan tidak menaikkan imun.

Padahal, kita sedang butuh positivity untuk kehidupan kita sendiri.

Berkebun nyatanya membuat Anda berhasil menjaga pikiran positif. Bagaimana Anda mendapatkan kebahagiaan dari bercocok tanam itu?

Gini. Saya sebetulnya bertanamnya sudah mulai dari tiga tahun lalu, tapi saya berkeinginan makan sayur organik sudah lama, tapi kan mahal atau kita harus mencari ke mana dan tidak gampang.

Tiga tahun lalu, saya mulai bertanam. Saya mulai merasakan kesehatan saya dan kebahagiaan yang saya dapat dari menanam bayam, kemudian bayamnya dipetik, saya kukus sebentar, lalu dimakan pakai sambal. Itu nikmatnya….

Dan saya tahu bahwa saya tidak pernah kasih kimia di bayam saya. Sekarang, karena saya sudah mulai pintar bertanam, saya mulai bertanam bawang merah. Bawang merah kan setiap hari kita makan. Saya sudah mulai tanam bawang merah yang 3,5 bulan itu, dan ketika saya masak dengan bawang merah itu, itu kebahagiaannya luar biasa, Mas.

Karena ada perhatian yang kita curahkan juga di sana?

Iya, dan kita tahu apa yang kita makan, tidak ada kimianya. Dengan tanaman organik, saya tahu apa yang saya makan dan itu membahagiakan hati saya.

Dan saya memisahkan sampah di rumah tangga untuk bikin kompos, dan saya bikin kompos untuk tanaman saya, itu juga bahagianya sudah luar biasa. Benar, deh.

Barangkali, rasanya seperti membesarkan anak, ya?

Ya, benar! Diajak ngomong, dikasih sayang, berterima kasih, gitu. Sehat dan bikin bahagia. Benar, kok.

Kalau saya berbuat untuk tanah itu, mungkin ini ya, ibu bumi, mother earth itu, kan selalu caring, memberi kasih sayang, dan itu mencerminkan Gusti Allah juga yang selalu memberi.

Jadi, saat kita memberikan ke tanah, kita mendapat berkah, dan lalu selalu berbagi sesama tetangga, itu kebahagiaannya luar biasa.

Saya tanam sawi, bayam, dan kangkung sih standar, lalu bawang merah, arugula, kemangi, basil, selada, tomat. Basil enak banget. Walaupun saya kurang pintar masak, tapi sayuran itu selalu saya petik ketika saya makan apa saja.

Tidak dikomersialkan?

Belum. Nantinya, mungkin. Sekarang masih untuk konsumsi pribadi. Dulu, saat (mengisi kelas tari) ke IKJ (Institut Kesenian Jakarta) sebelum pandemi, saya suka bawa sayuran macam-macam, itu saya senang bagi-bagi.

Sekarang, setelah pandemi, suka banyak teman yang panggil meminta dibawakan, katanya, “Nanti aku ganti, deh”. Aku kirim, terus nanti dia gantikan, ya sudahlah sekadar begitu.

Mereka selalu bilang kalau sayur organik itu manis dan kriuk-kriuk, nyesss.

Sawinya, kalau dimasak, beda dan cenderung ada manisnya. Terong ada manisnya, lengkuas juga ada manisnya. Saya pernah bagi-bagi lengkuas ke teman-teman, mereka bilang, kok enak banget kalau yang organik, ada manis-manisnya.

Sekarang saya juga sering jadi pembicara bertanam organik, gitu-gitu, ya sharing saja, bukan ahli. Aku enggak belajar, karena pengalaman ngelakoni itu tadi.

Terakhir, apa harapan seorang Maria Darmaningsih untuk bangsa kita yang masih harus berperang melawan pandemi?

Menurutku, protokol kesehatan itu yang kita harus mematuhi terus, dan memang kita harus menerima bahwa ini perubahan kehidupan yang luar biasa, tapi kita harus menyesuaikan.

Jadi protokol kesehatan harus tetap dipegang, kemudian saya juga melihat, dari sisi pemerintah, pergantian menteri kesehatan yang memang lebih menguasai secara manajemen itu juga baik.

Itu penting karena harus ada satu pintu, jadi pengumuman harus satu pintu walau kita sering diganggu oleh hoaks dan segala macam. Saya tidak mau membicarakan itu.

Bahwa pemerintah itu, sekarang dengan manajemen yang bagus—lebih bagus daripada yang dulu—memberikan informasinya juga akan lebih baik.

Ada pintu yang benar untuk informasi. Kalaupun ada kelemahan dan kekurangan, ya, itu bisa dipahami karena kita negara besar dan kepulauan yang kayak gini, luar biasa untuk menangani pandemi, tapi saya tahu banget bahwa Indonesia termasuk yang bagus dalam menangani pandemi, walaupun belum sempurna. Ini termasuk negara yang luar biasa dengan 260 juta penduduk.

Mungkin akan lebih baik kalau tidak terlalu banyak diganggu. Kadang-kadang, gangguan itu, menurut saya begini, semua orang pengin jadi pemerintah. Padahal, mbok diserahkan pemerintah saja yang urus, kita jadi rakyat saja gitu, kok susah amat. Pertanyaannya apa tadi?

Harapan Anda. Jika tahun lalu berharap selesai Agustus 2020, tahun ini?

Hmmm… Mungkin dengan vaksin ini, harapannya, ya, berakhir tahun ini. Dulu kan belum tahu, belum paham bahwa vaksin ini sedemikian luar biasanya, tapi sekarang. Ya, harapannya sampai akhir tahun ini, deh.

Semoga semuanya cepat teratasi karena yang saya paling ikut memperhatikan kepedihannya adalah anak-anak yang tidak bisa sekolah.

Menurut saya, itu sangat berat buat mereka, perkembangan psikologisnya, terus harus selalu di rumah itu. Saya membayangkan sebagai orangtua, itu pasti berat sekali.

Itu yang harus kita pikirkan juga, nanti secara kejiwaan bagaimana pengaruhnya terhadap anak-anak yang selama satu tahun lebih tidak bersekolah dan tidak bersosialisasi, tidak berkegiatan. Kan luar biasa. Itu yang menurut saya harus diperhatikan nantinya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Pembunuh Wanita di Bogor Ternyata Suaminya Sendiri

Pembunuh Wanita di Bogor Ternyata Suaminya Sendiri

Megapolitan
Diduga Korban Pembunuhan, Wanita di Bogor Ditemukan Tewas Bersimbah Darah

Diduga Korban Pembunuhan, Wanita di Bogor Ditemukan Tewas Bersimbah Darah

Megapolitan
[POPULER JABODETABEK] Polisi Hentikan Kasus Aiman Witjaksono | Pengakuan Sopir Truk yang Tabrakan di GT Halim Utama

[POPULER JABODETABEK] Polisi Hentikan Kasus Aiman Witjaksono | Pengakuan Sopir Truk yang Tabrakan di GT Halim Utama

Megapolitan
Prakiraan Cuaca Jakarta Hari Ini Jumat 29 Maret 2024, dan Besok: Tengah Malam ini Cerah Berawan

Prakiraan Cuaca Jakarta Hari Ini Jumat 29 Maret 2024, dan Besok: Tengah Malam ini Cerah Berawan

Megapolitan
Tarif Tol Jakarta-Pekalongan untuk Mudik 2024

Tarif Tol Jakarta-Pekalongan untuk Mudik 2024

Megapolitan
Jadwal Imsak di Tangerang 29 Maret 2024

Jadwal Imsak di Tangerang 29 Maret 2024

Megapolitan
Jadwal Imsak di Wilayah Bekasi, 29 Maret 2024

Jadwal Imsak di Wilayah Bekasi, 29 Maret 2024

Megapolitan
Jadwal Imsakiyah di Jakarta, 29 Maret 2024

Jadwal Imsakiyah di Jakarta, 29 Maret 2024

Megapolitan
Jadwal Imsak di Depok, 29 Maret 2024

Jadwal Imsak di Depok, 29 Maret 2024

Megapolitan
Kebakaran Hanguskan Beberapa Rumah di Jalan KS Tubun Slipi

Kebakaran Hanguskan Beberapa Rumah di Jalan KS Tubun Slipi

Megapolitan
Polda Metro Kerahkan 197 Personel Amankan Paskah di Gereja Katedral Jakarta dan GPIB Imanuel

Polda Metro Kerahkan 197 Personel Amankan Paskah di Gereja Katedral Jakarta dan GPIB Imanuel

Megapolitan
Polisi Bakal Periksa Pemilik Truk dan Orangtua Sopir yang Sebabkan Kecelakaan di GT Halim

Polisi Bakal Periksa Pemilik Truk dan Orangtua Sopir yang Sebabkan Kecelakaan di GT Halim

Megapolitan
Jadwal Imsak dan Buka Puasa di Tangerang Selatan, 29 Maret 2024

Jadwal Imsak dan Buka Puasa di Tangerang Selatan, 29 Maret 2024

Megapolitan
Baznas RI Gelar Pesantren Kilat di Kapal Perang, 102 Sekolah Ambil Bagian

Baznas RI Gelar Pesantren Kilat di Kapal Perang, 102 Sekolah Ambil Bagian

Megapolitan
Jadwal Imsak dan Buka Puasa di Kota Tangerang, 29 Maret 2024

Jadwal Imsak dan Buka Puasa di Kota Tangerang, 29 Maret 2024

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com