JAKARTA, KOMPAS.com - Belakangan ini perhatian masyarakat tertuju pada aksi pembunuhan berantai yang dilakukan oleh Rian (21) di daerah Puncak, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
Usai mengajak beberapa perempuan untuk berkencan di penginapan, ia kemudian membunuh dan membuang mayat korban di pinggir jalan.
Rian berhasil diringkus oleh polisi pada tanggal 10 Maret 2021 di persembunyiannya di Depok, Jawa Barat.
Polisi menduga Rian akan kembali melancarkan aksinya jika tidak segera ditangkap. Ini terlihat dari polanya membunuh dua perempuan hanya dalam rentang waktu dua minggu.
Peristiwa pembunuhan berantai ini membuka kembali memori tentang tindakan yang dilakukan oleh Babeh alias Baekuni.
Baca juga: Babeh, Pelaku Pembunuhan dan Mutilasi Belasan Anak yang Berkedok Jadi Ayah bagi Para Korbannya
Pria kelahiran tahun 1961 ini mengaku sudah membunuh 14 anak jalanan, semua berjenis kelamin laki-laki. Sebagian dari mereka dimutilasi.
Sebelum dibunuh, korbannya disodomi terlebih dahulu.
Babeh telah memulai "perburuannya" sejak 1993. Sejak itu, ia melecehkan belasan anak lalu kemudian membunuh mereka.
Aksi keji babeh baru terungkap pada tahun 2010 ketika potongan mayat seorang anak yang menjadi korbannya ditemukan di dekat jembatan Banjir Kanal Timur di Jalan Raya Bekasi, Ujung Menteng, Cakung, Jakarta Timur.
Mayat terpotong lima tanpa kepala itu kemudian teridentifikasi sebagai Ardiansyah (9), pengamen jalanan.
Babeh dibekuk Sabtu (9/1/2010) pukul 03.00 WIB di rumah kontrakannya di Gang H Dalim RT 6 RW 2, Pulogadung, Jakarta Timur.
Baca juga: Fakta Pembunuhan Berantai di Bogor, Berkenalan di Medsos, Rian Tidak Jera dan Nikmati Bunuh Korban
Catatan Kompas.com, hidup Baekuni kecil dikepung cercaan sebagai ”si bodoh” karena sering tidak naik kelas.
Tak tahan menanggung hinaan tersebut, anak petani miskin di Magelang, Jawa Tengah, itu meninggalkan bangku kelas III SD-nya dan kabur ke Jakarta.
Baekuni hidup menggelandang di Lapangan Banteng, Jakarta Pusat, sampai suatu hari ia disodomi paksa oleh seorang preman.
Kenangan pahit tersebut membuat Baekuni mengidap paedofilia, atau gangguan kejiwaan berupa kecenderungan seksual terhadap anak-anak.
Di samping itu, dia juga didiagnosis mengidap nekrofilia situasional.
Nekrofilia merupakan gangguan kejiwaan yang ditandai dengan kepuasan seksual yang dirasakan bila berhubungan intim dengan mayat.
Ditulis Achmad M Akung di Harian Kompas edisi 20 Januari 2010, seseorang bisa menjadi homoseksual paedofil karena dipengaruhi berbagai faktor, seperti genetika, pengalaman, dan lingkungan.
"Dalam kasus Babeh, tampaknya pengalaman traumatis diperkosa laki-laki di Lapangan Banteng sedemikian membekas dalam jiwanya, merusak struktur kepribadiannya, hingga membunuh naluri kelelakiannya," tulis Dosen Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro itu.
Awalnya Babeh adalah korban, tetapi selanjutnya, bisa jadi karena menikmati atau faktor balas dendam, ia aktif mencari korban.
Anak, terutama anak jalanan, dipilih sebagai korban pengidap kelainan seksual, selain karena faktor selera ketertarikan, juga karena mudah didapat, dimanipulasi, dan paling lemah dalam pertahanan diri, lanjut Achmad.
"Babeh sesungguhnya bukan sekadar seorang pelaku. Babeh adalah korban dari cacat peradaban yang kita bangun dalam masyarakat kita yang cenderung bergerak patologis," tegasnya.
Achmad di dalam tulisannya mengatakan bahwa apa yang dilakukan Babeh tidak akan terjadi jika pemerintah mampu menjamin kesejahteraan dan hak warga negara.
"Dalam konteks ini, negara jelas telah berlaku lalai. Sekian lama kita bernegara, realitasnya, komunitas marginal yang harus menyabung nyawa di deru kehidupan jalanan, terus membengkak. Sebuah aksioma atas abai dan gagalnya pemerintah menjaga hak warga negara," pungkasnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.