JAKARTA, KOMPAS.com - Provinsi DKI Jakarta telah menjadi magnet urbanisasi masyarakat Indonesia sehingga banyak orang yang nekat mengadu nasib di Ibu Kota.
Berdasarkan sensus penduduk pada tahun 2014, tercatat 10 juta orang tingal di DKI Jakarta.
Jumlah tersebut belum termasuk para pekerja dari kota-kota penyangga seperti Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. DKI Jakarta bahkan masuk dalam sepuluh besar kota terpadat di dunia.
Jika menilik kembali ke masa lalu, kepadatan di Ibu Kota sudah terjasi sejak tahun 1950-an.
Menurut Sejarawan Susan Blackburn dalam Jakarta Sejarah 400 Tahun, jumlah penduduk di Jakarta pada tahun 1952 adalah 1,782 juta jiwa. Angka tersebut mengalami lonjakan sebesar 823.000 jiwa dibanding tahun 1948.
Jumlah penduduk di Ibu Kota pun terus bertambah seiring berjalannya waktu. Pada tahun 1965, tercatat sebanyak 3,813 juta orang tinggal di DKI Jakarta.
Susan mengatakan, penambahan jumlah penduduk Ibu Kota bukan disebabkan oleh angka kelahiran yang tinggi, melainkan para pendatang dari berbagai daerah.
Baca juga: Jumlah Tempat Tidur Perawatan Pasien Covid-19 di Tangsel Belum Ideal Dibandingkan Total Penduduk
“Pada 1961, sensus pertama setelah 1930 menunjukan bahwa hanya 51 persen populasi kota yang benar-benar dilahirkan di sana, sedangkan sebagian besar penduduk lainnya berasal dari Jawa Barat dan Jawa tengah,” tulis Susan dilansir dari Historia.
Apabila dilihat dari kelompok etnis yang tinggal di DKI Jakarta, Betawi sebagai suku asli Jakarta justru menduduki posisi ketiga setelah Sunda dan Jawa.
Menurut Sejarawan Lance Castles dalam Profil Etnik Jakarta, jumlah kelompok etnis Betawi di Jakarta diperkirakan berjumlah 665.400 jiwa pada tahun 1961.
Sementara kelompok etnis Sunda berjumlah 952.500 jiwa, Jawa dan Madura sebanyak 735.700 jiwa, dan Tionghoa sebanyak 294.000 jiwa.
Susan pun membeberkan alasan masyarakat berbondong-bondong bermigrasi ke Jakarta. Pertama, Jakarta kembali menjadi pusat pemerintahan Republik Indonesia.
Migrasi masyarakat dalam jumlah besar mulai terlihat setelah kembalinya pemerintah Republik Indonesia dari Yogyakarta ke Jakarta pada akhir 1949.
Alasan kedua adalah sebagian masyarakat datang ke Jakarta untuk menghindari kerusuhan di daerah asal mereka.
Untuk diketahui, masih terjadi pemberontakan melawan pemerintah Republik Indonesia di sejumlah daerah pada tahun 1950-an, seperti Darul Islam dan laskar-laskar sisa masa revolusi yang belum ditertibkan.
"Di Jawa Barat, Darul Islam merupakan ancaman terbesar terhadap keteraturan dan ketertiban,” tulis Susan.
Alasan lainnya adalah faktor ekonomi. Berdasarkan survei tahun 1953, mayoritas masyarakat memilih pindah ke Jakarta karena ingin mendapatkan kehidupan lebih baik dibanding di pedesaan.
Baca juga: Menaker: 29,12 Juta Penduduk Usia Kerja Terdampak Pandemi
“Sebagai tempat kedudukan pemerintah nasionalis yang baru yang telah menjanjikan bahwa kemerdekaan akan membawa kemakmuran, Jakarta tampaknya menawarkan harapan baru bagi para penduduk pedesaan,” tulis Susan.
Meski begitu, ada pula pendatang yang hanya menetap sementara di Jakarta. Mereka umumnya akan tinggal beberapa bulan di Jakarta dan kembali ke kampung halaman untuk bercocok tanam.
Faktanya kini, kepadatan penduduk di Jakarta berdampak pada segala bidang, terutama perumahan. Banyak masyarakat yang akhirnya memilih mendirikan rumah semi-permanen di pinggir jalan atau bawah jembatan.
Permasalahan pertambahan penduduk di Jakarta masih belum terpecahkan hingga saat ini.
“Walaupun para pemimpin seperti Sukarno memiliki ambisi untuk membuat Jakarta menjadi kota yang indah,” tulis Susan,
“Kenyataannya tugas utama pemerintah kota Jakarta adalah mengatasi pertambahan penduduk yang sangat besar dan kemiskinan warga," tambahnya.
Artikel ini telah tayang di Historia.id dengan judul Dari Darul Islam Sampai Ekonomi, Penyebab Orang Datang ke Jakarta
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.