TANGERANG, KOMPAS.com - Kantor Imigrasi Kelas I Khusus Tempat Pemeriksaan Imigrasi (TPI) Bandara Soekarno-Hatta menangkap tiga warga negara asing (WNA) yang menggunakan visa elektronik palsu saat memasuki Indonesia.
Ketiga WNA asal negara India itu berinisial MK, MJB, dan SKV.
Mereka ditangkap di Bandara Soekarno-Hatta, Kota Tangerang, pada 22 Februari 2021 dan 12 Maret 2021.
Pengungkapan kasus tersebut dilakukan oleh Kepala Kantor Imigrasi Bandara Soekarno-Hatta Romi Yudianto dan Kepala Bidang Intelejen dan dan Penindakan Keimigrasian (Inteldakim) Kantor Imigrasi Bandara Soekarno-Hatta Andhika Pandu Kurniawan saat konferensi pers di kantor mereka, Kamis (25/3/2021).
Berikut beberapa fakta pengungkapan kasus tersebut:
Penangkapan oleh Imigrasi Bandara Soekarno-Hatta
Romi menjelaskan, MK datang terlebih dahulu pada 22 Februari 2021 di Bandara Soekarno-Hatta, sedangkan MJB dan SKV pada 12 Maret 2021.
Ketiganya tiba di bandara tersebut dengan membawa visa elektronik palsu Republik Indonesia.
"Saat mereka tiba di Bandara Soekarno-Hatta, diungkap oleh petugas kami bahwa mereka menggunakan visa elektronik palsu," kata Romi, Kamis.
Baca juga: Gunakan Visa Elektronik Palsu, 3 WN India Ditangkap Imigrasi Bandara Soekarno-Hatta
Berdasarkan pemeriksaan, MK membeli paket perjalanan ke Indonesia sebesar Rp 97 juta.
"Paket itu meliputi penerbitan visa elektronik Republik Indonesia palsu, pengurusan visa Kanada, serta tiket perjalanan dari New Delhi (menuju) Jakarta. Lalu, tiket dari Jakarta ke Kanada," kata Romi.
MJB dan SKV juga membeli paket serupa.
Namun, MJB dan SKV membeli paket perjalanan dengan harga yang lebih murah, yakni Rp 40 juta.
"MJB dan SKV masing-masing membayar Rp 40 juta untuk paket perjalanan mereka," ucap Romi.
Romi berujar, MJB dan SKV membeli paket perjalanan yang terdiri dari visa elektronik palsu Republik Indonesia dan tiket pesawat dari Dubai, Uni Emirat Arab, menuju Indonesia.
Saat ini, lanjut Romi, ketiganya sedang diperiksa lebih lanjut di Kantor Imigrasi Bandara Soekarno-Hatta hingga waktu yang belum ditentukan.
"Berdasar temuan tersebut, MK, MJB, dan SKV melanggar Pasal 121 huruf B Undang-undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian," tutur Romi.
Pengejaran pembuat visa elektronik palsu
Pandu Kurniawan menyebut pihaknya telah mengantongi satu nama pembuat visa elektronik palsu Republik Indonesia tersebut.
"Namun, posisinya saat ini, berdasarkan keterangan serta informasi yang kami kumpulkan, yang bersangkutan tidak berada di Indonesia," kata Pandu.
"Sedang kami lakukan pendalaman dan kami berkoordinasi untuk mengungkap identitas dia," imbuh dia.
Baca juga: Imigrasi Buru Pembuat Visa Elektronik Palsu yang Digunakan 3 WN India
Pandu menuturkan, pembuat visa elektronik palsu itu sempat menetap di Indonesia.
Oleh karena itu, pihaknya sedang mencari informasi terkait keberadaan orang tersebut.
"Kami juga melakukan koordinsi terkait dengan pihak-pihak di Indonesia yang mungkin membantu yang bersangkutan untuk tinggal sementara waktu di Indonesia," papar dia.
Kasus visa elektronik palsu perdana
Pandu menyebutkan, pihaknya sempat menemukan visa palsu Republik Indonesia sebelum-sebelumnya.
Namun, baru kali ini pihaknya menemukan pengguna visa elektronik palsu.
"Kalo visa biasa yang dipalsukan, pernah, tapi kalo visa elektronik, ini baru pertama kalinya," ungkap Pandu.
"Program visa elektronik sendiri itu baru dicanangkan tanggal 26 September (2020), tapi baru dimulai bulan 10 (Oktober 2020)," lanjut Pandu.
Baca juga: Pemalsuan Visa Elektronik Baru Pertama Kali Ditemukan di Indonesia, Pelaku WN India
Dia menyatakan, pembuat visa elektronik palsu itu merupakan WNA. Berdasarkan penyelidikan, kata Pandu, pembuatnya merupakan WN India.
"Iya, itu (pembuatnya) WNA dari India. Kalau sindikat (pembuat visa elektronik palsu) yang warga negara Indonesia, belum muncul namanya," papar Pandu.
Pandu menambahkan, sindikat yang bergerak dalam pembuatan visa elektronik palsu tersebut muncul lantaran pemerintah Indonesia menerapkan kebijakan yang membatasi keluar masuknya WNA.
Hal tersebut lantas membuat permohonan visa Republik Indonesia lebih sulit disetujui bila tujuan si pemohon tidak jelas atau tidak memiliki kepentingan.
"Artinya, permohonan visa sulit disetujui kalau memang tujuannya tidak urgent," ucap Pandu.
"Yang kemudian, mungkin, (sulitnya permohonan visa) menjadi subjek kejahatan sehingga memberikan kemudahan dengan cara tidak sah, tidak legal," imbuhnya.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.