Banyak tema prangko dipajang, mulai seri serangga, pakaian wanita, arsitektur, dan teknologi pesawat terbang.
Bersamaan dengan pameran itu juga diadakan lomba menyusun prangko di atas selembar kertas.
Lomba itu diikuti banyak kalangan. Pemenang lomba ini diberi medali yang dikalungkan langsung oleh Presiden Soeharto.
Kompas edisi 2 Oktober 2005 mengabarkan, pada awal 1950-an, di kota-kota besar Indonesia sering tampak anak-anak usia sekolah dasar mendatangi tempat sampah kantor-kantor besar.
Mereka mengais, mencari sesuatu dari tong-tong sampah. Mereka mencari amplop-amplop bekas yang masih ada prangkonya.
Jika prangko yang menempel adalah prangko luar negeri, itu berarti harta karun.
Baca juga: Prangko-kan Cita-citamu di Hari Filateli....
Mereka adalah kolektor cilik yang memburu barang koleksi prangko, dari tong sampah satu ke tong sampah lain, dari kantor perbankan sampai kantor perdagangan.
Selain mengandalkan tong sampah, anak-anak tempo dulu juga berusaha mendapatkan prangko dengan surat-menyurat.
Nama dan alamat teman korespondensi mereka dapat dari majalah-majalah yang saat itu memuat rubrik sahabat pena atau "pen pal".
Lewat surat-menyurat, mereka saling tukar koleksi, seperti prangko, kartu pos bergambar bintang film, dan sebagainya.
Seperti dicatat sejarah bahwa penggemar prangko adalah orang-orang dari berbagai lapisan, dari presiden, raja, menteri, sampai penjaga pompa bensin.
Perkembangan zaman yang diiringi kemajuan teknologi tak menyurutkan orang untuk mengumpulkan prangko.
Filateli masih masih menjadi hobi masyarakat di Indonesia.
Seperti Kusmana (60), warga Klari, Karawang, yang mengungkapkan kegemarannya mengumpulkan prangko sejak sekolah menengah pertama (SMP).
"Dulu memang ada pelajaran administrasi dan guru mewajibkan murid-murid mengumpulkan benda pos. Kami sampai mencari-cari prangko di tumpukan sampah," tutur Kusmana, dikutip Kompas dengan judul 'Filateli, Raja yang Turun Takhta' terbitan 30 Mei 2009.