JAKARTA, KOMPAS.com - Sebelum pandemi Covid-19, makam Mbah Priok di kawasan Koja, Tanjung Priok, Jakarta Utara, selalu ramai didatangi pengunjung yang ingin berziarah.
Tidak hanya dari dalam kota Jakarta, pengunjung bahkan datang dari luar kota menggunakan mobil pribadi atau armada bus yang sengaja disewa untuk sampai di lokasi yang terletak di Jalan Jampea No. 6, Koja.
Catatan Kompas.com, Mbah Priok memiliki nama asli Al Imam Al Arif Billah Sayyidina Al Habib Hasan bin Muhammad Al Haddad. Ia lahir di Palembang tahun 1727.
Pada tahun 1756, Mbah Priok atau Habib Hassan bersama dengan Al Arif Billah Al Habib Ali Al Haddad pergi ke pulau Jawa untuk menyebarkan agama Islam.
Mereka berlayar menuju Batavia selama dua bulan dan menghadapi berbagai rintangan.
Baca juga: Masjid Raya KH Hasyim Asyari, Masjid Bernuansa Betawi yang Tak Sekadar Rumah Ibadah
Konon, berdasarkan legenda yang tersebar dari mulut ke mulut, salah satu rintangan yang menghadang di jalan adalah armada Belanda dengan persenjataan lengkap.
Tanpa peringatan, perahu Habib Hassan dihujani meriam. Namun, tak satu pun meriam mengenai kapal.
Lolos dari serangan armada Belanda, kapal Habib Hassan digulung ombak besar.
Semua perlengkapan di dalam kapal hanyut dibawa gelombang. Yang tersisa hanya alat penanak nasi dan beberapa liter beras yang berserakan.
Baca juga: Masjid Cut Meutia, dari Gedung Belanda Jadi Rumah Tuhan
Selanjutnya, ombak lebih besar datang menghantam kapal mereka hingga terbalik.
Dengan kondisi yang lemah dan kepayahan, kedua ulama itu terseret hingga ke semenanjung yang saat itu belum bernama.
Ketika ditemukan warga, Habib Hassan sudah tewas, sedangkan Habib Ali Al Haddad masih hidup. Di samping keduanya, terdapat periuk dan sebuah dayung.
Warga memakamkan jenazah Habib Hassan tak jauh dari tempatnya ditemukan.
Sebagai tanda, makam Habib diberi nisan berupa dayung yang menyertainya, sedangkan periuk diletakkan di sisi makam.
Baca juga: Sejarah Masjid Cut Meutia, Pernah Jadi Kantor MPRS Sebelum Dijadikan Tempat Ibadah
Konon, dayung yang dijadikan nisan tumbuh menjadi pohon tanjung.
Sementara periuk yang semula diletakkan di sisi makam terseret arus ombak hingga ke tengah laut.