JAKARTA, KOMPAS.com - Remaja perempuan berinisial PU (15) diduga menjadi korban pemerkosaan oleh anak anggota DPRD Bekasi, AT (21).
Tak hanya itu, PU diduga juga disekap, dijual, dan dipaksa melayani lelaki hidung belang oleh terduga pelaku.
Baca juga: Koja Berdarah, Ketika 3 Tewas dan Ratusan Luka-Luka dalam Konflik Makam Mbah Priok
Hal itu diungkapkan Kepala Komisi Perlindungan Anak Daerah (KPAD) Kota Bekasi Novrian setelah mewawancarai korban lebih lanjut.
Dijelaskan Novrian, korban yang masih duduk di bangku kelas IX SMP itu disekap di indekost di kawasan Kelurahan Sepanjang Jaya, Bekasi Timur.
Korban, Novrian menambahkan, disekap oleh AT di kamar indekost yang terletak di lantai 2.
Kamar indekost itu disewa pelaku selama sebulan, dari Februari hingga Maret 2021. Di lokasi itu pula PU diduga diperkosa oleh AT.
Terduga pelaku juga memaksa korban untuk melayani pria hidung belang.
Baca juga: Cara Buat E-KTP Baru Pengganti yang Hilang atau Rusak via Online, Berlaku Luar Domisili
"Juga kita menemukan temuan baru. Hasil wawancara kita sama korban, ternyata si anak merupakan korban trafficking," ujar Novrian, Senin (19/4/2021).
"Selama beberapa lama, anak (PU) disekap di dalam kos-kosan dan dia dijual pelaku," sambungnya.
Menurut Novrian, AT memaksa PU melayani hingga 5 pria hidung belang per hari dengan menarik biaya sebesar Rp 400.000 per orang.
AT sendiri telah dilaporkan ke Polres Metro Bekasi Kota oleh keluarga korban, Senin (12/4/2021).
Adapun laporan korban terdaftar dengan Nomor LP/971/K/IV/2021/SPKT/Restro Bekasi Kota.
Praktisi hukum dari Gultom Anwar Gunardi & Partners, Bima Anwar, S.H., M.kn berpendapat bahwa berdasarkan fakta yang diberitakan, terduga pelaku bisa dikenakan sejumlah pidana.
Pertama, dijelaskan Bima, adalah tindak pidana pemerkosaan anak di bawah umur yang termaktub pada Pasal 76D Undang-undang (UU) 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.
Baca juga: Hari Terakhir Airin Bekerja, Mantu Presiden Joko Widodo Lakukan Kunjungan Kerja
"Kenapa bukan aturan pidana pemerkosaan yang diatur dalam Pasal 285 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana? Karena korbannya masih di bawah umur. Maka dari itu, berlaku UU Perlindungan Anak," kata Bima kepada Kompas.com, Selasa (20/4/2021).
Pasal itu berbunyi: "Setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain".
Tindak Pidana ini, Bima menambahkan, diatur dalam UU Nomor 23 Tahun 2002 yang kemudian diubah menjadi UU 35 Tahun 2014 yang diubah terakhir kali menjadi Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak.
Adapun ancaman hukumannya diatur dalam Pasal 81 ayat (1) PERPU nomor 1 Tahun 2016 yang berbunyi: "Setiap orang yang melanggar ketentuan Pasal 76D dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun dan denda paling banyak 5 miliar.
Sementara ayat (1) di atas juga dikenakan pidana tambahan yaitu hukuman berupa pengumuman identitas pelaku sebagaimana dinyatakan di ayat (6) pasal yang sama.
Baca juga: Kontrak MRT Fase 2A Senilai Rp 4,6 Triliun Diteken, Anies: Terima Kasih Presiden Jokowi
Apabila diciduk polisi, AT juga bisa dijerat tindak pidana perdagangan orang (TPPO).
"Tindak Pidana yang dilakukan AT dengan cara menyekap, menjual dan memaksa PU layani pria hidung belang via aplikasi MiChat seharga Rp 400.000 merupakan tindak pidana yang masuk dalam kategori dan diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007," papar Bima.
Pasal itu tentang Perdagangan Orang yang berbunyi: "Setiap orang yang melakukan perekrutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan, kekuasaan, atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut di wilayah negara Republik Indonesia".
Adapun ancaman hukuman yang bisa dijatuhkan adalah pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 15 tahun dan denda paling sedikit Rp 120 juta dan paling banyak Rp 600 juta.
Menurut Bima, terduga pelaku AT tidak dikenakan pidana prostitusi melainkan perdagangan orang.
"Tidak dapat dikategorikan prostitusi karena di kasus ini terdapat paksaan dan penyekapan kepada korban PU, sehingga kasus ini bisa dikategorikan sebagai eksploitasi seksual anak," urainya.
Baca juga: Pengeroyokan Anggota TNI dan Polri di Kebayoran Baru, KSAD: Prajurit Kita Ngapain di Situ?
Ibu korban, LF (47), mengatakan, keluarga AT sempat menawarkan bantuan biaya pengobatan untuk PU yang terkena penyakit kelamin.
"Saya pernah berkoordinasi dengan keluarga bahwa dari keluarga pelaku menawarkan pengobatan," kata LF, Minggu (18/4/2021).
Keluarga terduga pelaku, LF melanjutkan, juga berupaya berdamai dengan keluarga PU.
Mereka juga berharap keluarga PU mencabut laporan ke polisi. Akan tetapi, LF menolaknya.
"Dari pihak saya tidak mau ada perdamaian karena sudah sering sekali terjadi. Pihak pelaku WA (kirim pesan melalui aplikasi WhatsApp) ke anak saya agar dicabut laporannya," imbuhnya.
Terkait hal tersebut, Bima menguraikan bahwa perdamaian bisa saja ditempuh oleh korban dengan terduga pelaku.
Akan tetapi, hal tersebut tidak bisa menghentikan proses hukum.
"Tindak pidana pemerkosaan di bawah umur merupakan delik biasa, yang mana berarti perkara ini tidak memerlukan persetujuan dari PU sebagai korban yang dirugikan," ucap Bima.
"Sehingga, walaupun terjadi perdamaian, penyidik tetap berkewajiban untuk memproses perkara tersebut," lanjutnya.
Baca juga: BLT UMKM Wilayah Jakarta Dibuka, Ini Syarat dan Link Pendaftarannya
Karena itu, Bima menyarankan agar keluarga korban melanjutkan proses tersebut dalam pendampingan dari ahli.
"Sebagai praktisi hukum, saya sangat menganjurkan agar korban PU membuat laporan dan mengikuti semua proses hukum yang berlaku," ujar Bima.
"Selain pendampingan dari KPAD, ada baiknya mencari pendampingan dari Lembaga Bantuan Hukum atau Kantor Hukum agar proses penyelidikan dan penyidikan di Kepolisian terkawal dengan baik sampai ke pengadilan," imbuhnya.
Mengingat kasus ini telah menyita perhatian publik dan media, Bima menilai langkah proses hukum yang PU ambil juga dikawal oleh masyarakat.
"Mengingat kasus ini sudah muncul di media pun sudah merupakan langkah positif karena itu akan menciptakan sistem pengawasan tidak resmi dari masyarakat terhadap proses penyelesaian kasus ini," pungkasnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.