JAKARTA, KOMPAS.com - Dua kubah Masjid Jami Tangkubanperahu di Setiabudi, Jakarta Selatan, yang kuning keemasan terlihat kontras dengan warna langit yang biru. Ukuran dua kuba itu berbeda. Satu besar, satu lagi kecil.
Bangunan masjid terlihat modern dengan warna hijau muda. Arsitektur simetris banyak muncul di bangunan masjid yang bertingkat itu. Ornamen bintang bersegi delapan hampir mendominasi bagian masjid.
Di bagian bangunan, tepat dekat Kantor Kelurahan Guntur, ada tiga ornamen bintang segi delapan. Satu bintang segi delapan berukuran besar di bagian teras masjid.
Baca juga: Sejarah Masjid Jami Kebon Jeruk, Saksi Bisu Penyebaran Islam dari Tiongkok
Pada ornamen bintang segi delapan terpasang kaca patri. Bintang segi delapan beraneka ukuran lainnya ditemui di seluruh bagian tembok masjid.
Masuk ke dalam masjid, ada tulisan kaligrafi berlafaz Allah dan Muhammad. Ada sebuah mimbar di bagian tengah masjid, tepat di kaligrafi.
Di bagian dalam masjid, kemegahan kubah terlihat. Diameternya berukuran sekitar lima meter dan memiliki rangka seperti sarang laba-laba.
Pancaran sinar matahari yang turun di ufuk barat menerobos masuk lewat kaca patri. Kemegahan modern bernafas Islam tampak berpadu di Masjid Jami Tangkubanperahu itu.
Keberadaan Masjid Jami Tangkubanperahu berawal di tahun 1908. Namun, jejak-jejak sejarah sudah tak bisa dilihat oleh mata tetapi hanya dituturkan lewat cerita.
Haji Bahtiar Amin, selaku Koordinator Kegiatan Masjid Jami Tangkubanperahu mengatakan, Masjid Jami Tangkubanperahu didirikan seorang saudagar berkebangsaan Arab bernama Sayid Ahmad bin Muhammad bin Shahab.
Awalnya, masjid berada di kawasan tangsi kavaleri atau dikenal dengan cavaleri kampemen yang dimiliki Pemerintah Belanda.
Namun, dalam perjalanannya masjid harus pindah karena kemauan Pemerintah Belanda pada saat itu.
“Dari jaman kompeni Belanda minta dipindahkan. Makanya, Pemerintah Belanda memberikan letak tempatnya di sini (Jalan Tangkubanperahu),” kata Bahtiar di Masjid Jami Tangkubanperahu, Selasa (20/4/2021) sore.
Masjid pun berpindah dari kawasan Menteng di sekitar Jalan Mangunsarkoro dengan Jalan Latuharhari ke Jalan Tangkubanperahu.
Lokasi berdirinya Masjid Jami Tangkubanperahu, lanjut Bahtiar, merupakan tanah wakaf dari Ali bin Ahmad bin Shahab.
“Pemindahan masjid itu karena Menteng akan dijadikan kawasan elite oleh petinggi-petinggi kompeni Belanda,” kata Bahtiar.
Baca juga: Masjid Istiqlal, Ekspresi Rasa Syukur Kemerdekaan hingga Toleransi
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.