JAKARTA, KOMPAS.com- Kombes Pol Dr. dr. Sumi Hastry Purwanti merupakan sosok yang sudah tidak asing lagi di dunia forensik Indonesia.
Sumi Hastry kerap terlibat dalam proses identifikasi korban dari peristiwa besar di Tanah Air.
Di antaranya bencana gempa bumi Yogyakarta (2006), bom Hotel JW Marriott, Jakarta (2009), identifikasi jenazah teroris Noordin M Top (2009), gempa bumi Padang, Sumatera Barat (2009), dan kecelakaan pesawat Sukhoi SSJ-100 di Gunung Salak, Bogor, Jawa Barat (2012).
Kompas edisi 26 Agustus 2015 memberitakan, Sumi Hastry Purwanti mulai fokus pada bidang forensik ketika terlibat dalam sebuah operasi di tempat kejadian pembunuhan pada 2000 silam.
Baca juga: Irene Iskandar: Olahraga Catur Bisa Jadi Karier Menjanjikan untuk Perempuan
Kala itu, Sumi mendapat saran dari Kepala Satuan Reserse Kriminal Poltabes Semarang Ajun Komisaris Purwo Lelono untuk menekuni forensik.
”Ketika mendapat saran itu, saya termotivasi karena keahlian forensik ketika itu belum dimiliki polwan lain. Saya adalah polwan pertama yang menjadi dokter forensik,” kata Sumi.
Sejak saat itu, Sumi bergabung dalam berbagai operasi tim Identifikasi Korban Bencana atau Disaster Victim Identification (DVI) Polri.
Sumi merupakan perempuan pertama dari anggota tim forensik asal Indonesia.
Tugas pertamanya ialah mengidentifikasi korban bom Bali I pada 2002.
Setelah itu, Sumi Hastry bertekad untuk mendalami bidang tersebut dengan melanjutkan studi kedokteran forensik di Universitas Diponegoro pada 2002-2005.
Di tengah proses studinya, Sumi mendapat tugas mengidentifikasi korban bom Kedutaan Besar Australia di Jakarta (2004), kecelakaan pesawat Mandala di Medan (2005), dan bom Bali II (2005).
Baca juga: Perjalanan Irene Sukandar Menjadi Grand Master Indonesia, Bermula dari Ambisi Kalahkan Sang Kakak
Tak sampai di situ, Sumi juga terus menjalani pendidikan spesialisnya seperti mengikuti kursus DVI di Singapura pada 2006, kursus DNA di Malaysia (2007) dan kursus identifikasi luka ledakan di Perth, Australia (2011).
Perempuan kelahiran 23 Agustus 1970 ini juga pernah mengikuti sejumlah pertemuan ahli forensik dunia.
Sumi mengatakan, diperlukan ketelitian yang tinggi dan kesabaran dalam menentukan akurasi identitas jenazah.
”Saya lebih memilih tidak mengidentifikasi jenazah dibandingkan melakukan identifikasi yang salah,” kata dia.
Baca juga: Cerita Irene Sukandar Tanding Catur dari Pasar ke Pasar untuk Latih Mental