Apabila melanggar aturan, mereka menerima hukuman berupa sabetan rotan dari Radsomo.
Radhar Panca ternyata tumbuh sebagai anak yang kerap membangkang sehingga paling sering dihukum ayahnya.
Salah satu yang menjadi perselisihan cukup panjang adalah ketika orangtuanya mengharapkan Radhar Panca menjadi pelukis.
Padahal, Radhar Panca sangat menyukai teater dan karya tulisan.
Sejak duduk di bangku sekolah dasar, Radhar Panca rutin mengirimkan tulisan ke berbagai media.
Dia pernah mengirim cerita pendek (cerpen) berjudul "Tamu Tak Diundang" ke Kompas ketika masih kelas 5 SD. Cerpen itu dimuat.
Bakat menulisnya membawa Radhar Panca menjadi redaktur tamu di majalah Kawanku saat duduk di bangku kelas 2 SMP.
Pada akhir 1970-an hingga 1980-an, Reza pun menjadi reporter di sejumlah media massa.
Namun, pekerjaannya sebagai jurnalis sempat harus berhenti karena orangtuanya melarangnya bekerja dan memintanya kembali ke bangku sekolah.
Baca juga: Saat Mako Brimob Kelapa Dua Diserbu Tahanan Teroris: 5 Polisi dan 1 Napi Tewas
Setelah butuh enam tahun dan tiga sekolah untuk menamatkan pendidikannya di SMA, Radhar Panca menyelesaikan studi di jurusan sosiologi Universitas Indonesia.
Lalu, pada 1997, Radhar Panca melanjutkan studi di Ecole des Hautes Etudes en Science Sociales, Prancis.
Baru setahun, Radhar Panca memutuskan pulang ke Indonesia dan tidak menuntaskan studinya yang seharusnya mencapai tingkat doktoral.
Alasannya, ia terlalu sedih melihat kondisi Indonesia yang sedang dalam kekacauan politik dan ketidakstabilan keamanan tahun 1998.
Sepulangnya dari Prancis, Radhar Panca justru divonis mengalami gagal ginjal kronis dan pembunuhan sel ginjal secara perlahan.
Dokter menyatakan dua buah ginjalnya sudah mati.
Baca juga: 32 Orang Positif Corona Setelah Pemakaman Tanpa Prokes, 1 Desa di Kerinci Diisolasi