"Sepertinya ada ketidakpedulian, bisa jadi kebebalan. Puluhan tahun memperjuangkan kebudayaan menjadi fondasi cara kita membangun negara, manusia dan bangsa di dalamnya, hasilnya hampir nihil bahkan negatif."
Begitu isi paragraf pembuka tulisan Radhar Panca berjudul "Sakratul Maut Seni-Budaya" yang dimuat di Harian Kompas edisi Selasa (21/1/2020).
Radhar Panca memang salah satu budayawan yang tak kenal lelah berjuang menjaga kelestarian budaya Indonesai.
Keprihatinan Radhar Panca terhadap budaya yang telah tergerus sudah ia cetuskan sejak awal 1990-an.
Dia menuliskan keluh kesahnya soal teater modern yang mengalami kemunduran dalam tulisan berjudul "Mencari Teater Modern Indonesia".
Tulisan itu dimuat di Kompas edisi 27 Februari 1994.
Dalam tulisannya kala itu, Radhar Panca berpendapat bahwa sudah 2 dekade teater modern tidak punya penerus.
"Sebuah kenyataan, bahwa mereka yang dianggap wakil paling kuat dari kesenian ini adalah nama-nama yang sudah bertengger sejak 1970, bahkan sebelumnya. Artinya, lebih dari dua dekade teater modern Indonesia tak melahirkan nama baru, kecuali kasus seperti Boedi S. Otong dan Dindon."
Baca juga: Dishub DKI: Penumpang Kendaraan Pribadi dan Bus Tak Wajib Tes Covid-19 pada Masa Pengetatan Mudik
"Semua seolah memperlihatkan kegagalan para pionir teater modern di negeri ini, menyampaikan tongkat estafetnya pada mereka yang berlari di lintasan berikut. Tongkat yang menyimpan sejarah, konsep, keyakinan estetik, kemampuan artistik dan sebagainya itu tersimpan baik di balik bantal, dan mungkin kini lapuk," tulisnya.
Sembari menyerukan keluh kesah terhadap mundurnya kebudayaan, Radhar Panca giat memperlihatkan kebudayaan terutama karyanya sendiri.
Cerpen, puisi, hingga panggung teater. Radhar Panca mengabdikan dirinya untuk seni dan budaya Indonesia.
Seperti pertunjukan teater-sastra "LaluKau" di mana Radhar Panca memanggungkan puisi-puisi karyanya pada 19 Februari 2020, aksi terakhirnya di pentas.
Perjuangan Radhar Panca tak hanya soal mempertahankan seni dan budaya itu sendiri.
Pada November 2019, ia dan rekan-rekannya sesama seniman di TIM menyatakan penolakan keterlibatan PT Jakarta Propertindo (Jakpro) untuk mengelola kawasan dan fasilitas di sana, termasuk wacana pembangunan hotel bintang lima.
Baca juga: Nurmaya, Perempuan Penderma Nasi Bungkus dan Cerita Kejutan-kejutan yang Mengiringinya
Kawasan di TIM, oleh Jakpro, akan dikomersialkan. Hal ini yang menyulut kecaman para seniman termasuk Radhar Panca.
”Jangan sampai pemerintah memaksakan kehendak dan kepentingannya atas kerja kesenian dan kebudayaan semata-mata untuk keuntungan politik atau keuntungan finansial,” kata Radhar Panca, Minggu (24/11/19).
Radhar Panca Dahana kini telah tiada. Pejuang kelestarian seni dan budaya Indonesia itu meninggalkan pertanyaan dalam tulisan "Sakratul Maut Seni-Budaya" yang entah kapan dapat menemukan jawaban.
"Saya tidak tahu sampai kapan kedegilan pemerintah ini terjadi? Apakah hingga kebudayaan dimakamkan, dan bangsa menjadi mayat, atau zombi yang hidup hanya untuk menciptakan keburukan dan kebobrokan? Sesuatu yang indikasinya terlihat saat ini, di sekitar, mungkin dalam diri kita?" ungkap Radhar Panca.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.