JAKARTA, KOMPAS.com - Jika dulu ada sebuah kisah tentang kesabaran Siti Hajar, istri nabi Ibrahim yang berjuang mengurus anaknya Nabi Ismail di tengah padang pasing jazirah Arab, tahun ini ada kisah lain tentang Siti Hajar yang berjuang di tengah pandemi Covid-19.
Dia Siti Hajar, ahli Tekonologi Laboratorium Medik (ATLM) Laboratorium Kesehatan Daerah (Labkesda) DKI Jakarta.
Siti Hajar bercerita tentang lika-liku perjuangannya sebagai operator laboratorium Labkesda, orang yang berada di balik layar menghitung angka Covid-19 yang setiap hari semakin bertambah di Jakarta.
Baca juga: Rika Andiarti, Penerus Semangat Kartini yang Bergelut di Dunia Penerbangan dan Antariksa
Wanita asal Aceh mengatakan, kisahnya di masa pandemi Covid-19 bermula dari penugasan Kepala Labkesda DKI Jakarta Endra Muryanto pada Maret 2020 lalu.
Endra saat itu meminta pegawai laboratorium mikrobiologi dan epidemiologi untuk ikut dalam pelatihan pemeriksaan sampel tes PCR di Litbangkes Kementerian Kesehatan.
"Kepala Labkesda waktu itu pak Endra Muryanto minta ini ada pandemi, ayo Labkesda ikut pelatihan ke Litbang, kita ikut pelatihannya tiga hari," kata Siti saat diwawancarai Kompas.com melalui sambungan telepon, Kamis (22/4/2021).
Baca juga: Kenalan dengan Bintarti, Kartini Bidang Teknik di Blue Bird
Setelah tiga hari mengikuti pelatihan, Siti terkejut saat kembali ke kantor, lantaran di hari dia menyelesaikan pelatihan langsung diminta untuk memeriksa sampel yang dikirim dari Dinas Kesehatan DKI Jakarta.
Hari itu juga hasilnya ditunggu oleh Kepala Labkesda, dia bercerita pemeriksaan PCR pertama memakan waktu panjang hingga menjelang matahari terbenam. Padahal saat itu hanya ada 10 sampel yang diperiksa.
Sebenarnya untuk hitungan pemeriksaan, jumlah 10 sampel adalah jumlah yang kecil untuk saat ini. Namun ketika Covid-19 masuk ke Jakarta, jumlah tersebut membuat Siti dan satu rekannya di bagian ekstraksi harus gemetaran memegang tabung-tabung reaksi.
Rasa ngeri karena informasi virus Covid-19 yang berbahaya dan menular cepat membuat mereka harus ekstra hati-hati memeriksa sampel tersebut.
"Jadinya benar-benar hal yang baru, pekerjaan yang baru, jadi kaget kan. Kaget banget itu ngerjain langsung. Biasanya habis pelatihan ya ada lah persiapan dulu atau apa yang mau dipakai. Ini langsung reagen dikasih Litbang setelah dari pelatihan, di Labkesda langsung diminta kerjain sudah ada sampel dari Dinas, jadi kita langsung disuruh kerjain. Itu benar-benar deg-degan," kata dia.
Karena merasa canggung dan takut menghadapi virus Covid-19, ritme kerja Siti dan rekannya di Litbangkes sempat menjadi lambat.
Baca juga: Ruhana Kuddus, Wartawati Pertama yang Gencar Menentang Poligami, Nikah Dini dan Dominasi Laki-laki
Ditambah lagi, setelah pemeriksaan 10 sampel keluar, dinyatakan 10 sampel yang diperiksa positif secara keseluruhan. Hasil itu tentu membuat Siti merasa ngeri.
"Abis meriksa itu, saya langsung mandi karena takut tertular," ucap dia.
Siti mengatakan, Labkesda sendiri bukan kali pertama mengoperasikan alat pembaca PCR. Pada wabah flu burung 2008 lalu, Litbangkes pernah mengoperasikan PCR untuk menguji sampel orang-orang yang terpapar virus yang dikenal sebagai nama H5N1
Sebagai seorang yang sudah belasan tahun bergelut di Labkesda DKI Jakarta, Siti mengatakan bahwa pandemi Covid-19 merupakan wabah yang paling menyeramkan yang pernah dia tangani.
Pada saat wabah flu burung, wabah itu tidak memakan waktu banyak untuk menghilang dengan sendirinya.
Pandemi Covid-19 berbeda, sudah setahun sejak dia memeriksa sampel pertamanya, pandemi Covid-19 masih terus bertambah.
"Pemeriksaan makin nambah, setiap hari semakin bertambah banyak," kata dia.
Hingga Labkesda akhirnya memerlukan banyak relawan untuk membantu jalannya pemeriksaan PCR dari ribuan sampel yang dikirimkan setiap hari dari Dinas Kesehatan DKI Jakarta.
Baca juga: Kisah Ratu Tisha, Masuk di Pusaran Sepak Bola Tanah Air hingga Dobrak Tradisi
Di tengah-tengah menunggu hasil pembacaan PCR oleh mesin, Siti seringkali merenung bersama rekan-rekan kerjanya. Kapan pandemi ini berakhir?
Angka-angka di dalam monitor terus bertambah, sedangkan di balik kaca jendela tempat dia bekerja masih ada banyak masyarakat yang enggan menggunakan masker dan menjalankan protokol kesehatan.
"Kita waktu memeriksa di lab, seringkali berpikir ya Allah kenapa ini orang nggak mau dengar, kok orang-orang masih aja tetap bergerombol, ke mana-mana masih bikin acara, kumpul-kumpul di mana-mana. Suka sedih begitu aja ya Allah ini orang kok nggak sayang sama nyawa sendiri, apa mereka nggak berpikir makin bertambah begini, padahal kita sudah lelah," kata Siti.
Keluh kesah Siti bersama rekan kerjanya di Laboratorium tak hanya dirasakan saat dia memeriksa sampel Covid-19. Dia juga merasakan tingkat kepercayaan masyarakat sangat rendah terhadap pandemi ini dari orang-orang di sekitar.
Misalnya saja saat Siti melakukan pengajian rutin terbatas di tempat tinggalnya di Komplek Halim Perdanakusuma Jakarta Timur.
Dia mengatakan, masih banyak orang di sekitar rumahnya yang enggan menerapkan protokol kesehatan secara disiplin. Meskipun Siti sebagai seorang yang bergelut dengan sampel Covid-19 seringkali mengingatkan.
"Kalau soal masyarakat masih banyak membandel pun, sampai saat ini masyarakat masih banyak," kata dia.
Baca juga: Soal Orang yang Menolak Vaksin karena Tak Percaya Covid-19, MUI: Ini Penyakit, Kita Wajib Berobat
Dia pernah menyempatkan diri untuk pulang ke tanah kelahirannya di Aceh dan tetap mematuhi protokol kesehatan menggunakan masker.
Tapi Siti justru merasa menjadi "alien" di tengah kampungnya karena hanya dia yang mengenakan masker.
"Saya di daerah kelahiran saya saja di Aceh, saya pulang saja menjadi tontonan saat saya pakai masker," ucap Siti.
Belum lagi keluarga dekatnya yang meminta dia untuk bersalaman dan bersentuhan langsung karena sudah lama tidak berjumpa.
"Lah kamu ini sudah lama enggak pernah pulang masak enggak mau salaman, katanya gitu. saya minta maaf ya makcik ya saya enggak bisa salaman, takutnya saya bawa virus," ujar dia.
Dia merasa tak masalah dikatakan sebagai orang yang aneh yang menerapkan protokol kesehatan di tengah orang-orang yang tak percaya wabah Covid-19 itu ada.
"Itulah namanya masyarakat, nggak semua bisa mengikuti apa yang kita sampaikan, kecuali mereka sadar mereka sendiri. Kalau mereka belum kena, mereka bakal seperti itu," kata dia
Setelah setahun lebih mondar-mandir memeriksa sampel PCR mengisi angka-angka positif baru Covid-19 di Jakarta, Siti mengakui bahwa dia sebenarnya sudah lelah.
Terlebih setelah dia ditugaskan sebagai penanggungjawab Laboratorium Kontainer di Kecamatan Duren Sawit, Jakarta Timur.
Laboratorium yang kecil dan sempit itu menambah rasa lelahnya saat memeriksa ribuan sampel harian yang masuk ke Labkesda.
"Kalau dipikir capek emang capek ya, lelah sekali," kata dia.
Namun, dia memilih bertahan dan mulai berharap pandemi Covid-19 bisa segera selesai. Semangatnya muncul ketika setiap hari sampel yang dia periksa semakin banyak yang negatif, dan semakin sedikit yang hasilnya positif.
"Semangatnya waktu melihat ke sini sample sudah mulai berkurang, hasil positifnya sudah mulai berkurang, semoga bakal begini terus sampai akhirnya selesai covid-nya," kata dia.
Di akhir kata, dia kembali berharap agar masyarakat bisa sadar diri, memberikan bantuan kepada setiap tenaga kesehatan untuk memudahkan pekerjaan mereka.
Caranya hanya satu, yaitu disiplin terhadap protokol kesehatan sehingga pandemi Covid-19 semakin berkurang.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.