Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Nursyahbani Katjasungkana, Perempuan dalam Perjuangan Reformasi 1998

Kompas.com - 23/04/2021, 14:13 WIB
Sonya Teresa Debora,
Irfan Maullana

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Nama Nursyahbani Katjasungkana tak asing di dunia aktivis Hak Asasi Manusia (HAM), terutama menyoal hak perempuan.

Nur, begitu ia disapa, sempat menjabat sebagai Direktur Lembaga Bantuan Hukum APIK, sebuah lembaga yang menyediakan asistensi hukum bagi perempuan yang mengalami ketidakadilan, kekerasan dan berbagai bentuk diskriminasi.

Perempuan kelahiran 7 April 1955 ini aktif di berbagai organisasi yang mengadvokasi HAM dan hak perempuan.

Pada 1998, Nur merupakan salah satu perempuan aktivis reformasi.

Baca juga: Nursyahbani Katjasungkana Ditunjuk Jadi Pengacara Abraham Samad

Kepada Kompas.com, Nur menceritakan pengalamannya 23 tahun silam, termasuk kesulitan yang harus ia hadapi sebagai perempuan ketika berjuang.

Konsolidasi di tengah kerusuhan

Menurut Nur, perjuangan perempuan di tahun 1998 dimulai dari gerakan Suara Ibu Peduli di 23 Februari 1998. Nur dan LBH APIK terlibat dalam gerakan yang memprotes kenaikan harga bahan pokok di Indonesia kala itu.

"Itu demo di depan Bundaran HI, kita mau bilang Soeharto sebagai Bapak Pembangunan kok gagal memberikan susu bagi anak-anaknya, metaforanya begitu, makanya memakai kata Ibu," ungkap Nur saat dihubungi Kamis (22/4/2021).

Tak hanya perempuan, demonstrasi mahasiswa juga marak terjadi di saat itu. Terutama setelah Sidang MPR pada Maret yang kembali menetapkan Soeharto sebagai presiden Indonesia.

Baca juga: Bela Dua Pimpinan Nonaktif KPK, Nursyahbani Katjasungkana Diteror Bom

Pada Mei 1998, Nur mengaku hanya bisa mengikuti isu dan demonstrasi mahasiswa dari jauh karena harus memberikan pelatihan tentang HAM di beberapa kota.

"Tanggal 9 (Mei) sudah ada demo besar, saya saat itu di Makassar, demo besar juga, bahkan saat mau ke tempat pelatihan harus jalan kaki," ungkap Nur.

Sekitar tanggal 13 Mei 1998, Nur harus memberi pelatihan di Kupang. Demonstrasi mahasiswa juga terjadi di sana.

"Tapi sebetulnya saya sudah janjian sama teman-teman bagaimana kita bisa join demo-demo itu, tapi mulai 12, 13, 14 (Mei 1998) pecah kerusuhan di Jakarta," kata Nur.

"Tapi saya tetap mau ikut rapat itu, tanggal 15 saya paksa pulang, cari tiket harus transit dulu," imbuhnya.

Tanggal 15 Mei pagi Nur berangkat pulang ke Jakarta untuk memenuhi janji rapat di sore harinya.

Baca juga: Kapten Fierda Panggabean dan Tragedi Merpati CN-235 di Gunung Puntang

"Dari bandara mau ke rumah juga susah, nggak bisa lewat karena sudah kerusuhan itu," ungkar Nur.

Karena kerusuhan pecah, suasana pun tidak kondusif untuk melakukan rapat. Rapat pun ditunda ke tanggal 17 Mei.

"Itu kita di Metropole, kantornya Jurnal Perempuan, akhirnya bisa rapat di situ untuk konsolidasi. Di situ pertama-tama kita mengeluarkan pernyataan bahwa kita mendukung mahasiswa, reformasi, juga meminta Soeharto turun," kata Nur.

Di samping itu, Nur dan kawan-kawannya menghubungi sejumlah jaringannya. Sebanyak 75 perempuan berhasil dikumpulkan untuk membentuk Koalisi Perempuan Indonesia untuk Demokrasi dan Keadilan. Rencananya, koalisi ini akan ikut turun ke jalan pada demonstrasi 18 Mei 1998.

Siaga satu, kelompok perempuan dilarang turun ke jalan

Nursyahbani KatjasungkanaDokumentasi Pribadi Nursyahbani Katjasungkana/FACEBOOK Nursyahbani Katjasungkana

Meski koalisi telah terbentuk, jalan mulus tak ditemui Nur dan kawan-kawan.

"Salah satu teman bilang, besok siaga satu, jadi sebaiknya kelompok perempuan enggak turun, waktu itu ketua BEM UI juga melarang kelompok perempuan untuk ikut," kata Nur.

Perdebatan pun terjadi, Nur dan perempuan lainnya bersikeras ingin ikut demonstrasi.

"Kita merasa insulted (terhina) ke teman-teman yang mengatakan perempuan enggak boleh turun," ungkap Nur.

Baca juga: Nurmaya, Perempuan Penderma Nasi Bungkus dan Cerita Kejutan-kejutan yang Mengiringinya

Tekad Nur dan kawan-kawan yang bulat berbuah hasil. Mereka pun mengikuti demonstrasi pada 18 Mei 1998 bersama mahasiswa dan elemen-elemen lainnya.

"Kesepakatannya kalau situasi enggak kondusif, kita tunggu di Pintu Senayan saja dengan membacakan statement kita dan konferensi pers," kata Nur.

Namun, kendala lain harus dihadapi Nur.

"Teman-teman yang biasa jadi korlap (koordinator lapangan) tiba-tiba 'saya mundur' karena situasi begitu, takut akan rusuh siaga satu," jelas Nur.

"Lalu saya bilang, oke kalau enggak ada yang jadi korlap, saya yang jadi korlap," tegas Nur.

Nur menginstruksikan koalisinya untuk membeli bunga berwarna putih dan ungu. Warna ungu sengaja dipilih karena melambangkan perjuangan perempuan.

Namun, menjelang malam, seorang rekannya yang biasa menjadi koordinator lapangan tiba-tiba mengubah keputusannya.

"Dia bilang mau jadi korlap, ya sudah dia yang jadi korlap untuk demonstrasi besok," kata Nur.

Perempuan yang melawan

Nursyahbani KatjasungkanaDokumentasi Pribadi Nursyahbani Katjasungkana/FACEBOOK Nursyahbani Katjasungkana

Tanggal 18 Mei 1997, tepat pukul 10.00 WIB, dengan pakaian serba hitam dan bunga putih dan ungu yang sudah dipersiapkan sejak malam, Nur dan koalisi berkumpul di Kantor Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jakarta.

"Itu panas banget, lagi terik-teriknya. Kami di situ bawa bunga dan bawa poster 'Turunkan Soeharto!" kata Nur.

Nur dan kawan-kawan berjalan kaki hingga ke lokasi demonstrasi di Gedung DPR MPR, Senayan.

"Kita masuk ke Senayan, wah, tepuk tangan membahana kedatangan kelompok perempuan di Senayan," ungkapnya.

Baca juga: Kenalan dengan Bintarti, Kartini Bidang Teknik di Blue Bird

Nur langsung diberikan panggung untuk berpidato.

"Saat itu jargonnya 'Tungto', artinya gantung Soeharto. Saya bilang ada HAM, terhadap diktator kita enggak boleh kejam langsung gantung, harusnya turunkan Soeharto, adili Soeharto, jadi jargonnya diubah jadi turunkan Soeharto, adili Soeharto!"

Demonstrasi terus dilakukan Nur dan kawan-kawan hingga 22 Mei 1998.

"Tanggal 21 itu Soeharto sudah mengumumkan mundur. Tapi kita demo tanggal 22 karena tidak setuju Habibie yang naik menggantikan Soeharto," kata Nur.

Pasca-1998, Nur masih aktif terlibat dalam berbagai gerakan perempuan yang memperjuangkan HAM dan hak-hak perempuan.

"Sejarah pergerakan perempuan di Indonesia juga panjang, sudah dari dahulu kala. Saya harap perempuan Indonesia juga tidak melupakan sejarah. Karena sejarah pergerakan perempuan, kita bisa ada pada kondisi sekarang," tutupnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Polisi Tangkap Sopir Grab yang Culik dan Peras Penumpangnya Rp 100 Juta

Polisi Tangkap Sopir Grab yang Culik dan Peras Penumpangnya Rp 100 Juta

Megapolitan
Wanita Tewas Bersimbah Darah di Bogor, Korban Terkapar dan Ditutup Selimut

Wanita Tewas Bersimbah Darah di Bogor, Korban Terkapar dan Ditutup Selimut

Megapolitan
Ada Obeng di TKP, Diduga Jadi Alat Suami Bunuh Istri di Bogor

Ada Obeng di TKP, Diduga Jadi Alat Suami Bunuh Istri di Bogor

Megapolitan
Jadwal Buka Puasa di Kota Bekasi Hari Ini, Jumat, 29 Maret 2024

Jadwal Buka Puasa di Kota Bekasi Hari Ini, Jumat, 29 Maret 2024

Megapolitan
Diduga Korban Pelecehan Seksual oleh Eks Ketua DPD PSI Jakbar Mengaku Diintimidasi agar Tak Lapor Polisi

Diduga Korban Pelecehan Seksual oleh Eks Ketua DPD PSI Jakbar Mengaku Diintimidasi agar Tak Lapor Polisi

Megapolitan
Wanita Tewas Dibunuh Suaminya di Bogor, Pelaku Dilaporkan Ayah Kandung ke Polisi

Wanita Tewas Dibunuh Suaminya di Bogor, Pelaku Dilaporkan Ayah Kandung ke Polisi

Megapolitan
Latihan Selama 3 Bulan, OMK Katedral Jakarta Sukses Gelar Visualisasi Jalan Salib pada Perayaan Jumat Agung

Latihan Selama 3 Bulan, OMK Katedral Jakarta Sukses Gelar Visualisasi Jalan Salib pada Perayaan Jumat Agung

Megapolitan
Gelar Pesantren Kilat di Kapal Perang, Baznas RI Ajak Siswa SMA Punya Hobi Berzakat

Gelar Pesantren Kilat di Kapal Perang, Baznas RI Ajak Siswa SMA Punya Hobi Berzakat

Megapolitan
Cerita Ridwan 'Menyulap' Pelepah Pisang Kering Menjadi Kerajinan Tangan Bernilai Ekonomi

Cerita Ridwan "Menyulap" Pelepah Pisang Kering Menjadi Kerajinan Tangan Bernilai Ekonomi

Megapolitan
Peringati Jumat Agung, Gereja Katedral Gelar Visualisasi Jalan Salib yang Menyayat Hati

Peringati Jumat Agung, Gereja Katedral Gelar Visualisasi Jalan Salib yang Menyayat Hati

Megapolitan
Wujudkan Solidaritas Bersama Jadi Tema Paskah Gereja Katedral Jakarta 2024

Wujudkan Solidaritas Bersama Jadi Tema Paskah Gereja Katedral Jakarta 2024

Megapolitan
Diparkir di Depan Gang, Motor Milik Warga Pademangan Raib Digondol Maling

Diparkir di Depan Gang, Motor Milik Warga Pademangan Raib Digondol Maling

Megapolitan
Polisi Selidiki Kasus Kekerasan Seksual yang Diduga Dilakukan Eks Ketua DPD PSI Jakbar

Polisi Selidiki Kasus Kekerasan Seksual yang Diduga Dilakukan Eks Ketua DPD PSI Jakbar

Megapolitan
Ingar-bingar Tradisi Membangunkan Sahur yang Berujung Cekcok di Depok

Ingar-bingar Tradisi Membangunkan Sahur yang Berujung Cekcok di Depok

Megapolitan
KSAL: Setelah Jakarta, Program Pesantren Kilat di Kapal Perang Bakal Digelar di Surabaya dan Makasar

KSAL: Setelah Jakarta, Program Pesantren Kilat di Kapal Perang Bakal Digelar di Surabaya dan Makasar

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com