"Apa yang layak, karena kasus-kasus kekerasan (terhadap anak-anak) yang dilakukan oleh masyarakat di Depok sendiri cukup tinggi," jelas Arist kepada wartawan, 18 Maret 2020.
Arist yang juga warga Depok itu mendorong Pemerintah Kota Depok agar mengundang berbagai pihak terkait di luar pemerintah, seperti penegak hukum, aktivis perlindungan anak, dan para pakar dari universitas.
Hal itu supaya evaluasi status kota layak anak dapat dilakukan secara terbuka, bukan hanya dilakukan di internal Dinas Perlindungan Anak, Pemberdayaan Masyarakat, dan Keluarga (DPAPMK).
"Jadi duduk bersama membicarakan soal meningkatnya angka kekerasan terhadap anak, dihubungkan dengan program di mana Kota Depok itu statusnya kota layak anak," lanjut Arist.
Baca juga: Berbagai Cerita Asal-usul Nama Depok, dari Padepokan hingga Akronim Komunitas Belanda-Depok
Anak-anak di Depok juga rentan terpapar Covid-19. Pada Januari 2021, Satgas Penanganan Covid-19 Kota Depok merilis data bahwa sekira 15 persen kasus infeksi virus corona di wilayah itu disumbang oleh kelompok usia anak.
Temuan ini sempat memancing keprihatinan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI).
"Jumlah ini melampaui angka (kasus Covid-19 pada anak-anak) nasional yang hanya sekitar 8 persenan," Komisioner KPAI Bidang Pendidikan, Retno Listyarti, melalui keterangan tertulis kepada Kompas.com, Senin (25/1/2021).
Keadaan ini dinilai ironis karena pembelajaran tatap muka di sekolah masih belum diizinkan demi melindungi anak-anak.
Namun, kenyataannya, anak-anak justru banyak terpapar Covid-19 ketika berada di rumah.
Kabar "baik"-nya, Depok masih belum mengizinkan rencana sekolah tatap muka, setidaknya hingga Juli 2021.
Di Depok, anak-anak sudah tertular Covid-19 dari beberapa sumber, mulai dari orangtua yang bekerja, klaster panti asuhan, juga klaster pondok pesantren.
Teranyar, Satgas Penanganan Covid-19 Kota Depok menyebut bahwa sudah 485 kasus Covid-19 terjadi di 21 pondok pesantren di Depok.
Selebihnya, ada sejumlah santri asal Depok yang tersebar di hampir 25 pesantren di luar Depok juga terinfeksi Covid-19.
Mengacu Peraturan Menteri PPPA Nomor 12 Tahun 2011, penentuan status "layak anak" bagi kabupaten atau kota melibatkan sejumlah parameter.
Secara umum, parameter itu dibagi dalam 2 indikator, yakni penguatan kelembagaan dan klaster hak anak.
Penguatan kelembagaan meliputi perundang-undangan atau kebijakan, persentase anggaran, jumlah program yang mendapatkan masukan dari Forum Anak, ketersediaan SDM yang mampu menerapkan hak anak dalam kebijakan, ketersediaan data anak terpilah, hingga keterlibatan lembaga masyarakat dan dunia usaha dalam memenuhi hak anak.
Sementara itu, klaster hak anak meliputi hak sipil dan kebebasan, lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif, kesehatan dasar dan kesejahteraan, pendidikan, pemanfaatan waktu luang, kegiatan budaya, sampai perlindungan khusus.
Indikator-indikator tersebut kemudian diturunkan dalam beberapa penilaian konkret, ambil contoh: pemenuhan akta kelahiran, perpustakaan, partisipasi pendidikan dasar, penyediaan panti, layanan imunisasi, prevalensi gizi balita angka kematian bayi, jumlah kasus anak berhadapan dengan hukum, sampai persentase perkawinan di bawah 18 tahun dan ASI eksklusif.
Kompas.com menghubungi Kepala Dinas Perlindungan Anak, Pemberdayaan Masyarakat dan Keluarga (DPAPMK) Kota Depok, Nessi Annisa Handari, untuk meminta tanggapan seputar status kota layak anak, namun belum direspons hingga artikel ini disusun.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.