“Itu aku merasa sangat malu. Jadi sebenarnya apa yang aku lakukan di sini?”
Peristiwa demi peristiwa di Rimba menyadarkan Butet satu hal penting: pendidikan harus sejalan dengan tantangan hidup.
Bagi anak-anak Rimba, tahapan usia mereka diisi dengan mengenali daun-daun obat, belajar memanen madu, sebelum melatih kemahiran berburu.
Di kampung-kampung tepi laut, tahapannya mungkin lain lagi, karena tantangan hidupnya pun beda.
Ini sebabnya, masyarakat adat kerap tak berjodoh dengan sekolah formal.
Bagi Orang Rimba, misalnya. Sekolah formal lebih terasa seperti “sekolah pergi”.
Anak-anak tercabut dari akar identitasnya, rontok kemampuannya bertahan hidup di belantara, sebelum akhirnya terbuai dengan panji-panji kemewahan ala perkotaan—karier cemerlang, menimbun banyak harta—dan tak lagi kembali ke hutan.
Baca juga: Nurmaya, Perempuan Penderma Nasi Bungkus dan Cerita Kejutan-kejutan yang Mengiringinya
Butet memutuskan pamit dari kantor usai empat tahun bekerja. Ia merasa perlu berbuat lebih dari sebatas menyusun rekomendasi kebijakan kepada pemerintah mengenai Orang Rimba.
Bila pemerintah tak mampu membuat sekolah yang sesuai kebutuhan Orang Rimba, bukankah kita bisa menciptakannya sendiri?
Kalau tak ada yang bisa melindungi Orang Rimba dari perambah hutan, mengapa tidak kita mampukan saja mereka melawan dan melindungi diri sendiri?
Sokola Rimba kemudian lahir pada 2003, dibidani oleh Butet dan empat koleganya. Kisah jatuh-bangunnya belakangan difilmkan Riri Riza dan Mira Lesmana lewat Sokola Rimba (2013).
Di Sokola Rimba, ilmu baca-tulis-hitung bukan bertujuan mengganti ilmu-ilmu adat yang sudah ada, melainkan sebagai ilmu tambahan dari “luar” untuk menanggapi situasi dari “luar” Rimba pula.
Baca juga: Sosok Sylviana Murni, Wali Kota Perempuan Pertama di Jakarta hingga Lolos Jadi Anggota DPD RI
Baca-tulis-hitung adalah gerbang awal bagi pengetahuan-pengetahuan lain yang kelak memungkinkan Orang Rimba menjawab masalah di luar hutan, semisal, membeli sesuatu di pasar atau bahkan mengusir pencuri kayu.
“Banyak orang (perambah hutan) tidak main-main kalau berhadapan dengan Orang Rimba. Mereka mengerti, mereka akan bilang, ‘Aku panggil nih Sawit Watch, Corruption Watch, atau Walhi’,” ujar Butet yang menghabiskan 9-10 tahun di Makekal Hulu, Bukit Duabelas itu.
Kini, Sokola bukan hadir di pedalaman Jambi saja.
Sokola, kata Butet, berupaya hadir di komunitas adat yang: 1) dirugikan akibat buta huruf; 2) terancam pranata sosial dan sumber daya alamnya oleh dunia luar; dan 3) masyarakatnya masih menyayangi adatnya.
Hingga sekarang, Sokola hidup di 17 komunitas adat, dari pegunungan sampai pesisir, dari wilayah yang kering sampai berlimpah air.
Apa yang jadi pokok ajar otomatis berlainan di masing-masing tempat. Tidak ada urgensi untuk menyeragamkan keberagaman itu.
Butet menyebutnya "kurikulum hadap masalah”.
Jika di Jambi, Sokola Rimba memampukan masyarakat adat melawan pencuri kayu, maka di Sokola Pesisir masyarakatnya dibuat melek kiat menghadapi pengebom ikan.
"Aku hanya memberi prinsipnya saja bahwa, 'Kamu punya hak atas tanah ini',” kata Butet.
Baca juga: Mengenal Sumi Hastry Purwanti, Polwan Pertama yang Jadi Dokter Forensik
Pendidikan yang memerdekakan semacam inilah yang mustahil diakomodasi oleh program seperti kurikulum nasional yang terobsesi dengan skor dan keseragaman.
Melawan perambah hutan, atau memaksimalkan hasil panen rumput laut, tentu tak bisa ditolong dengan ingatan rumus fisika atau hafalan tabel periodik.
Indonesia jelas terlalu luas dan berwarna untuk dipaksa mengikuti standar Jakarta dan kota-kota besar.
“Kita menghargai Bhinneka Tunggal Ika, tapi kurikulumnya seragam. Itu tidak mungkin,” ungkap Butet.
"Kalau model pendidikan kita seragam, wajar orang di Papua jadi kayak orang di Jakarta, inginnya cari duit, identitas tidak penting lagi. Murid-murid aku di Rimba, tidak ada yang meninggalkan Rimba,” tukasnya.
Baca juga: Kisah Ratu Tisha, Masuk di Pusaran Sepak Bola Tanah Air hingga Dobrak Tradisi
Begawan pemikir pendidikan dunia asal Brasil, Paulo Freire, jauh-jauh hari telah mewanti-wanti bahayanya pendidikan yang tidak peka terhadap konteks lokal.
Menurutnya, "seseorang tidak bisa berharap dampak baik dari pendidikan yang gagal menghargai sudut pandang masyarakat tertentu."
“Pendidikan seperti itu adalah invasi kebudayaan, meski mulanya dimaksudkan sebagai niat baik," tulis Freire dalam magnum opus-nya, Pedagogy of The Oppresed (1970).
Sejak awal, lewat pendidikannya, Sokola bukan bermaksud memodernkan masyarakat adat.
Anak-anak dapat belajar di mana saja, dalam kondisi mana-suka, dengan maupun tanpa seragam atau alas kaki.
Namun, Sokola juga bukan berniat memuseumkan masyarakat adat dalam jampi-jampi eksotisme kehidupan tradisional.
Sekolah yang sudah bisa bergerak sendiri bahkan tak perlu lagi bergantung pada Sokola.
Sokola Kaki Gunung di lereng Gunung Argopuro, Jember, Jawa Timur, misalnya, pada 2020 lalu sudah diambil-alih oleh masyarakat setempat.
Baca juga: Perjalanan Irene Sukandar Menjadi Grand Master Indonesia, Bermula dari Ambisi Kalahkan Sang Kakak
Sokola cuma berniat membuka mata masyarakat adat yang mungkin buta cara menghadapi tantangan dari luar, gara-gara mereka buta huruf.
Selepas itu, biarkan, kata Butet, masyarakat adat merdeka memilih nasibnya sendiri dengan mata terbuka.
Toh, pendidikan, atau education dalam bahasa Inggris, berakar dari kata Latin educat atau educere yang berarti "dipimpin/memimpin keluar".