JAKARTA, KOMPAS.com - Sebuah masjid kecil berdiri di tengah-tengah permukiman warga RT 01 RW 05, Kelurahan Angke, Kecamatan Tambora, Jakarta Barat. Namanya, Masjid Jami Al Anwar, yang juga dikenal sebagai Masjid Angke.
Jalan menuju masjid terbilang sempit. Kira-kira lebarnya hanya 1,5 meter, hanya motor yang bisa melintasi jalan ini. Namun, keunikan arsitektur masjid segera menangkap perhatian warga yang melintas.
Masjid ini dibangun di atas tanah seluas 400 meter. Namun, luas bangunan masjid hanya 15 meter x 15 meter. Di depan masjid terpasang sebuah spanduk yang menerangkan informasi umum masjid.
"Dalam arsip, pendiri dari masjid ini adalah seorang perempuan Tionghoa yang bersuamikan bangsawan dari Banten, bernama Ibu Tan Hio," kata Ketua Bidang Sarana dan Sejarah Kepengurusan Masjid Angke Mohammad Abyan Abdilah, saat ditemui Kompas.com, Jumat (30/4/2021).
Baca juga: Masjid Agung Sunda Kelapa dan Makna di Balik Atap Berbentuk Perahu
Namun, menurut Abyan, sejarah tak banyak mengupas tentang Tan Hio.
"Sementara, arsitek masjid juga seorang Muslim Tionghoa Sek Liong Tan. Beliau yang memadukan semua seni arsitektur yang kita lihat sekarang ini," ucap Abyan.
Menurut Abyan, ada perpaduan beragam seni arsitektur pada bangunan masjid yang didirikan pada tahun 1761 ini.
Jika masuk dari pintu utama, pengunjung akan disambut pintu yang kaya ragam hias. Daun pintu masjid dihiasi kusen berukir, sebuah ukiran juga bertengger di atas pintu.
Pintu ini khas arsitektur Jawa. Pintu yang sama juga dapat ditemukan di sebelah kiri dan kanan bangunan masjid.
Sementara, pintu itu disangga oleh beberapa anak tangga, bak bangunan bergaya arsitektur Belanda.
Baca juga: Masjid Al Mustofa, Masjid Tertua di Kota Bogor
Pintu tersebut akan mengantarkan pengunjung ke ruang sholat utama masjid. Tepat di luar pintu, terbentang ruang sholat tambahan, jika jemaat tak cukup ditampung di dalam.
Di samping kiri dan kanan pintu sebuah jendela berteralis terlihat menyambut. Bentuk teralis dan jendela masih khas gaya bangunan kolonial.
Di sisi kiri, kanan dan belakang bangunan masjid, jendela dan teralis yang sama juga terlihat.
Begitu masuk, pengunjung akan disambut empat buah pilar dari kayu jati kokoh menyangga bangunan masjid, lagi-lagi mengingatkan pengunjung akan bangunan tua peninggalan Belanda.
Gaya arsitektur ini mirip gaya punggel khas rumah-rumah Bali
"Kalau dilihat sekilas, memang karena atapnya begini jadi mirip seperti wihara, bukan masjid," gurau Abyan.
Menurut Abyan, ragam arsitektur ini dipengaruhi oleh beragamnya varietas etnis yang dulu menghuni permukiman di sekitar masjid.
Baca juga: Masjid Jogokariyan Sudah Kumpulkan Rp 1,2 M untuk Beli Pengganti KRI Nanggala-402
Abyan menjelaskan, meski dari etnis yang berbeda-beda, mereka hidup secara rukun dan damai.
"Masyarakat yang mendiami memang dari beberapa etnis yang hidup rukun damai sehingga itu mencerminkan kerukunan dan toleransi," kata Abyan.
"Jadi, masjid ini sebenarnya sedang bercerita tentang kerukunan dan toleransi di masa lalu," kata dia.
Meski masjid telah ratusan tahun berdiri, kemurnian bangunan masjid, menurut Abyan, masih terjaga.
Guna melestarikannya, masjid juga telah ditetapkan sebagai cagar budaya pada tahun 1993.
"Mudah-mudahan terus terjaga keutuhan dan keaslian dari bangunan masjid," ucap Abyan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.