JAKARTA, KOMPAS.com - Ada aturan tak tertulis yang telah menjadi kebiasaan di tempat Natalia (26) bekerja sebagai jurnalis di Jakarta. Ketika datang hari raya umat islam, maka sudah jadi "kewajiban" bagi para reporter yang non-muslim untuk masuk kerja.
Sebaliknya, ketika datang momen Natal atau hari-hari raya lain bagi umat kristen misalnya, para jurnalis yang kristen diberi keleluasaan untuk libur.
Di tempatnya bekerja, sedang nihil reporter beragama selain Islam dan Kristen. Karena itu, pada hari-hari raya umat Buddha, Hindu, Konghucu, atau hari libur yang tak terkait perayaan keagamaan, kantornya menerapkan piket berdasarkan inisiatif masing-masing jurnalis atau giliran piket yang sudah disepakati sebelumnya.
Baca juga: Merawat Toleransi di Hari Raya Kenaikan Isa Almasih dan Idul Fitri
Namun, Idul Fitri yang jatuh kemarin, Kamis (13/5/2021), membuat keadaan yang dialami Natalia agak unik, karena bertepatan dengan Hari Raya Kenaikan Yesus Kristus .
Secara kultural, skala perayaan Idul Fitri mungkin dapat disejajarkan dengan perayaan Natal.
Tenggang rasa terhadap rekan sejawat yang beragama Islam membuat Natalia lapang dada untuk tetap masuk kerja pada Hari Idul Fitri kemarin, kendati ia pun berhak untuk libur, sebetulnya.
"Sebenarnya, sempat berharap supaya (Idul Fitri dan Kenaikan Yesus Kristus) enggak bareng harinya, supaya ibadahnya bisa lebih khusyuk karena sudah tahu kalau Lebaran pasti gue masuk kerja. Tapi ya sudah, tidak apa-apa," ucap Natalia, Jumat (14/5/2021).
"Lebih ke tanggung jawab saja. Karena pas lagi Natal juga kan teman-teman reporter yang lain juga sudah masuk," katanya.
Tak ada banyak pilihan buat Natalia, karena bila para reporter yang kristen ikut meminta libur kemarin, tak ada berita apa pun hari itu sebab seisi redaksi tak masuk kerja. Padahal, jurnalisme tak kenal libur. Meski berstatus pegawai perusahaan, bukan petugas pelayanan publik, namun kerja-kerja jurnalistik selalu bersifat publik, menyangkut informasi yang dikonsumsi orang banyak.
Agenda pertama dalam setiap edisi Idul Fitri bagi banyak wartawan adalah meliput kegiatan shalat Idul Fitri pagi-pagi.
Apalagi, di tengah pandemi Covid-19, liputan shalat Idul Fitri jadi hal penting guna mengabarkan sejauh mana antusiasme warga merayakan Hari Kemenangan tetap selaras dengan penerapan protokol kesehatan.
Natalia berinisiatif melawat ke Masjid Luar Batang, Penjaringan, Jakarta Utara, kemarin pagi.
Ia berangkat dengan selembar kerudung membalut kepala, meski benda itu pada gilirannya malah menegaskan bahwa dirinya sedang melela di antara perbedaan identitas.
"Rambut gue ke mana-mana," kata Natalia yang mengaku sedikit kikuk karena keberadaannya cukup membuat heran para jemaah di masjid.
"Yang mau shalat ngelihatin gue, mungkin dipikirnya, ini orang ngapain, pakai kerudung kok enggak shalat, nggak ngapa-ngapain," ujar dia.
Liputan shalat Idul Fitri pagi itu toh tak menjadi masalah. Mewawancara sebagian jemaah selepas shalat, dengan terlebih dulu memperkenalkan kepentingannya sebagai wartawan, tuntas ia lakukan.
Baca juga: Indahnya Toleransi, Pemuda Kristen di Ambon Ikut Amankan Shalat Id
Namun, setelahnya, sebagai orang kristen, ia berkepentingan untuk juga menjalani ibadahnya sendiri hari itu. Ada agenda kebaktian pukul 09.00 yang mesti ia kejar.
Natalia berinisiatif menyambangi rumah kakaknya, tak jauh dari Masjid Luar Batang. Kakaknya, Mia, seorang mualaf sejak 4-5 tahun silam.
"Jadi kemarin gue malah ke masjid dulu baru (ibadah) gereja," katanya bergurau.
"Setelah selesai gue bikin berita, gue ke rumah kakak gue, lepas kerudung, lalu ibadah."
Natalia memilih menjalani ibadah pagi itu di rumah Mia, kakaknya, yang notabene mualaf.
Sejak pandemi Covid-19 melanda, melalui bantuan teknologi, ibadah orang kristen jadi lebih fleksibel karena tak lagi harus terikat ruang. Tapi, memangnya kenapa juga jika Natalia memutuskan untuk ibadah online di kediaman kakaknya yang berbeda keyakinan?
Berkunjung ke rumah kakak yang berbeda keyakinan sama saja nilainya dengan berkunjung ke rumah kakak yang seagama. Mampir ke rumah kakak tetaplah mampir ke rumah kakak.
Perbedaan agama tak banyak memberi perbedaan dalam hubungan keluarganya. Kalaupun ada yang berbeda, itu adalah Lebaran yang kini justru mereka rayakan lebih semarak.
"Jadi biasanya di awal-awal kakak saya baru mualaf, kita yang datang saat Lebaran. Sekarang, dia biasa malam takbiran ke rumah. Nyokap gue pasti mikirin, kita masak apa ya kalau dia sudah datang? Kakak gue juga pasti ngasih ketupat atau sayuran yang dia bikin," ungkap Natalia.
"Tradisinya ya ngumpul saja, silaturahim, antara keluarga kakak dan keluarga saya. Memang kita saling menghargai saja sih," tambah dia.
Lebaran justru menjelma momen perekat bagi Natalia dan keluarga, kesempatan untuk mengunjungi satu sama lain, berkumpul dan bergembira bersama.
"Kalau enggak pas Lebaran, kapan lagi" tuturnya.
Kadar keistimewaan Lebaran itu semakin tinggi nilainya karena bersamaan dengan Idul Fitri kemarin, yang dirayakan oleh Mia dan kerabat selaku muslim, Natalia dan keluarga juga tengah merayakan hari besar agamanya.
Suatu momen bersejarah bagi banyak orang, di mana masing-masing umat Islam maupun Kristen, berbagi sukacita lantaran merayakan hari besar masing-masing berbarengan.
Namun, pada momen langka itu, Natalia masih perlu memikul tanggung jawab pekerjaan sebagai jurnalis.
"Sebetulnya kemarin kakak gue sudah datang waktu malam takbiran. Tapi karena malam takbiran gue kerja, jadi gue tidak ke rumah dan nggak ketemu kakak. Makanya pas Lebaran, gue ke rumahnya sebentar, ibadah online di rumahnya, makan ketupat," kata perempuan yang sebelumnya bekerja sebagai wartawan rubrik hiburan itu.
"Kakak gue juga selow (santai) saja pas gue bilang, 'gue ibadah dulu ya di online'," lanjutnya.
Natalia tak merasa gusar melewatkan momen langka itu. Tanpa perlu menyebut-nyebut soal toleransi, ia sudah menjalaninya dengan lapang dada.
Tenggang rasa itu sudah hidup ketika Natalia sukarela memutuskan masuk kerja, walaupun di atas kertas berhak untuk libur merayakan Lebaran sekaligus Kenaikan Yesus Kristus.
Itu semua demi tanggung jawab pekerjaannya sebagai "pelayan publik" dan menghormati rekan sejawat yang merayakan Idul Fitri.
"Lebaran tahun ini beda banget. Benar-benar orang semakin paham bagaimana toleransi itu dijunjung tinggi. Itu menurutku," ujar dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.