Pantuan Kompas.com di lokasi, jika ingin menyeberang, pejalan kaki harus mengakses JPO tak jauh dari depan Kantor LIPI.
Jarak dari Halte Satriamandala ke bawah JPO LIPI mencapai sekitar 100 meter.
Dari percobaan yang Kompas.com lakukan, berjalan kaki menyeberang dari Halte Musuem Satriamandala ke Centennial Tower memakan waktu hampir 15 menit.
Kompas.com sempat mencoba membandingkannya dengan menggunakan mobil via Simpang Susun Semanggi. Waktu tempuhnya hanya sekitar lima menit jika tidak dalam kondisi macet.
Rata-rata JPO di Jalan Gatot Subroto terpantau memiliki 55 anak tangga. Panjangnya mencapai sekitar 50 meter.
Tak terbayang jika kalangan rentan seperti lansia, disabilitas, perempuan hamil ataupun orang yang membawa anak harus melintasi JPO tersebut.
Baik Jalan TB Simatupang maupun Jalan Gatot Subroto adalah dua ruas jalan yang sama-sama dibelah oleh ruas jalan tol perkotaan.
Keberadaan tol perkotaan membuat kedua kawasan tersebut tak memungkinkan untuk dibuatkan akses penyeberangan yang lebih ramah pejalan kaki, seperti pelican crossing ataupun zebra cross.
Dikutip dari artikel berjudul "Jalan Layang Tol vs Transportasi Massal" yang dimuat di laman Institut for Transportation and Development Policy (ITDP) pada 15 November 2012, keberadaan ruas tol perkotaan dinilai hanya merusak esensi kota.
Artikel tersebut dibuat ITDP sebagai protes terhadap rencana pembangunan enam ruas tol dalam kota.
Menurut ITDP, merevitalisasi kota dengan jalan tol bukanlah solusi dan sebaliknya dampak-dampak yang dihasilkan umumnya merusak, baik dari segi teknis dan sosial.
Berdasarkan studi ITDP, pembangunan jalan tol di dalam area kota di negara-negara maju dianggap sebagai ide usang.
Pasalnya, jalan tol didesain untuk kendaraan yang lebih besar dan tidak dapat memindahkan orang seefektif jalan-jalan non-tol untuk melayani jarak-jarak pendek.
Baca Juga: Saat Kepala Patung Pancoran di Samping Mobil Anda
ITDP mencontohkan beberapa kota dunia yang justru menghancurkan ruas tol dalam kotanya demi lingkungan perkotaan yang lebih baik.
Di Seoul, sebut ITDP, Pemerintah Kota memutuskan untuk meruntuhkan jalan tol dan merehabilitasi jalan di wilayah Cheonggyecheon.
Kawasan yang semula merupakan area kumuh di bawah jalan tol bisa diubah menjadi sebuah taman kota dengan ruang publik yang besar dan trotoar yang ramah bagi pejalan kaki.
Sementara itu, di Milwaukee, AS, keputusan untuk menghancurkan jalan tol dibuat karena biaya yang dibutuhkan untuk meruntuhkan jalan tol lebih sedikit dibandingkan untuk mempertahankan tol dengan biaya operasionalnya yang tinggi.
"Jalan tol yang dibangun di dalam kota akan merusak esensi kota sebagai pusat budaya dan perdagangan. Pembangunan tol akan mengurangi kapasitas kota untuk menghubungkan orang-orang dan memberikan dukungan yang lebih sedikit kepada interaksi manusia dan aktivitasnya," sebut ITDP.
Selain adanya ruas tol perkotaan, infrastruktur lain yang sebenarnya tidak baik untuk kenyamanan pejalan kaki di Jakarta adalah JPO. Setidaknya demikian penilaian ITDP.
Bagi pejalan kaki dari kalangan umum, naik turun JPO mungkin bukan suatu masalah.
Tapi, coba tempatkan diri kita dalam posisi sebagai lansia, kaum disabilitas, wanita hamil, ataupun orang yang membawa anak.
Cerita dari Rianti di bawah ini mungkin bisa jadi gambaran.
Pada awal 2019, Rianti sedang hamil besar. Usia kehamilannya sudah mencapai sekitar tujuh bulan, suatu kondisi yang membuat Rianti tak memungkinkan lagi untuk berkendara sendiri.
Selama hamil, Rianti rutin diantar oleh sang suami dengan mobil ke tempat kerjanya yang berlokasi di Jalan TB Simatupang.
Namun, pada suatu ketika sang suami harus dinas ke luar kota.
Jika sang suami tak bisa mengantar Rianti, maka pilihan satu-satunya bagi dia untuk pergi ke kerja adalah memesan taksi daring langsung dari rumahnya di Depok.
Tapi, ongkos yang dikeluarkan relatif lebih besar dibanding jika ia naik kereta rel listrik (KRL) commuter line.
Namun, Rianti kerap menghindar jika harus naik moda yang kedua ini.
Pasalnya, stasiun terdekat dari kantornya justru tak ramah ibu hamil. Stasiun yang dimaksud adalah Stasiun Tanjung Barat.
Semenjak hamil, Rianti merasa tak sanggup lagi untuk naik turun JPO di Stasiun Tanjung Barat.
Jika harus naik KRL ke kantor, Rianti terpaksa harus turun di Stasiun Pasar Minggu yang lokasinya relatif lebih jauh dari tempat kerja Rianti.
Waktu tempuh yang bisa dihabiskan di jalan bahkan bisa lebih lama ketimbang membawa mobil sendiri.
JPO untuk akses keluar masuk stasiun di Tanjung Barat dibangun sekitar akhir 2014.
Sejak ada JPO itu, akses lama di pintu utama stasiun ditutup permanen. Tak ada lagi penyeberangan sebidang berbentuk zebra cross.
Kondisi ini mengharuskan seluruh calon penumpang tanpa terkecuali harus naik turun di JPO tersebut.
Jika menengok ke belakang, JPO Stasiun Tanjung Barat dibangun atas usulan otoritas terkait yang menganggap para pejalan kaki yang menyeberang di depan stasiun sebagai penyebab kemacetan, sebuah "mindset" yang aneh karena pengguna KRL yang lalu lalang menyeberang dianggap penyebab macet ketimbang pengguna kendaraan pribadi.
Baca juga: Bikin Macet, Pintu Utama Stasiun Tanjung Barat Ditutup
Kompas.com pernah mencoba membandingkan waktu yang dihabiskan saat menyeberang langsung di jalan raya dengan menyeberang lewat JPO di Stasiun Tanjung Barat ini.
Akses yang dipilih adalah pintu masuk sebelah barat yang berada di sisi Jalan Raya Lenteng Agung arah Pasar Minggu.
JPO Tanjung Barat sisi arah Pasar Minggu diperkirakan memiliki tinggi 5 meter dan lebar 10 meter. Hasilnya sebagai berikut:
- Tanpa JPO: Hanya butuh 13 langkah dalam waktu 6 detik
- Lewat JPO: 1 menit 18 detik dan harus menaiki 32 anak tangga saat naik dan 36 anak tangga saat turun
Di Jakarta dan Jabodetabek secara umum, penyeberangan model JPO adalah fasilitas yang umum ditemui.
Hampir semua halte transjakarta bahkan aksesnya menggunakan JPO.
Di banyak ruas jalan, median jalan bahkan sampai diberi pagar demi memaksa pejalan kaki menyeberang lewat JPO.
Padahal, di kota-kota di negara maju, JPO adalah fasilitas yang hampir sulit untuk ditemukan, apalagi untuk penyeberangan di ruas jalan dalam kota.
Communications and Partnership Manager ITDP Indonesia Fani Rachmita mengatakan, di negara maju pada umumnya, JPO hanya dibangun ketika ada hambatan alam, seperti sungai dan laut, ataupun saat bersinggungan dengan jalan tol dan rel kereta api.
Biasanya, JPO juga dibangun hanya untuk penghubung antargedung.
"JPO (di atas jalan raya) yang masih ditemukan umumnya juga karena faktor telanjur dibangun, kalau kasus seperti ini biasanya di bawahnya disertai dengan zebra cross sebagai opsi penyeberangan," kata Fani kepada Kompas.com, Minggu (26/1/2020).
View this post on Instagram
Adriansyah Yasin pernah mengatakan perbedaan pola pikir terhadap pejalan kaki antara di Indonesia dengan di Belanda.
Menurut Yasin, pola pikir pembuat kebijakan di Indonesia menganggap "walkability" atau kemudahan berjalan kaki adalah dengan menyediakan JPO.
"Di Indonesia, desain proyek TOD (transit oriented development) tidak akan diterima jika tidak ada desain 'JPO ikonik'. Walkability = JPO. Di Belanda, desain TOD saya akan langsung dilempar dosen apabila saya berani memasukkan 'JPO ikonik; ke dalam desainnya," tulis alumnus Universitas Breda tersebut dalam unggahan di akun twitternya pada 20 Mei 2020.
Disadari atau tidak, JPO membuat rute yang ditempuh pejalan kaki lebih jauh dari yang seharusnya. Terlebih lagi fasilitas ini juga tak ramah untuk kalangan rentan.
Bagi Rudy, pengalaman mencoba menggunakan kursi roda meninggalkan kesan kuat. “Enggak kuat ketika sampai di JPO & harus mendaki pakai kursi roda. Belum harus atur posisi agar seimbang. Saya sedih krn teman2 disabilitas harus mengalami ini setiap hari,” ungkapnya #kotauntuksemua pic.twitter.com/JMby1255BU
— ITDP Indonesia (@itdpindonesia) December 4, 2018
Pada Desember 2018, ITDP sempat melakukan eksperimen sosial di tiga halte transjakarta, yakni di Dukuh Atas, Karet, dan Bendungan Hilir.
Dari eksperimen sosial tersebut, tak ada satu pun pengguna kursi roda yang mampu menaiki ramp penghubung trotoar dan halte secara mandiri alias tanpa bantuan orang lain.