JAKARTA, KOMPAS.com - Kira-kira sejak Februari 2021, ada jalur sepeda permanen di ruas Jalan Sudirman, Jakarta. Berbeda dari jalur sepeda biasa yang hanya ditandai lajur berwarna hijau, jalur sepeda terproteksi tersebut menggunakan planter box yang jadi pembatas untuk para pesepeda dengan pengendara kendaraan bermotor.
Keberadaan jalur sepeda terproteksi menuai pro dan kontra. Sebagian kalangan menganggap jalur sepeda terproteksi hanya mempersempit ruas jalan. Jalur ini bahkan sering diserobot oleh para pengguna sepeda motor.
Pihak yang anti bukan hanya dari kalangan pengguna kendaraan bermotor, tapi juga dari sebagian pengguna sepeda hobi, terutama pesepeda sport. Mereka menilai keberadaan jalur sepeda terproteksi tak bisa mengakomodasi keinginan mereka untuk bisa melaju di jalan raya.
Baca juga: Komunitas Pesepeda: Jalur Sepeda Permanen Sudirman-Thamrin Kurang Nyaman untuk Road Bike
Pihak yang anti-jalur sepeda terproteksi tidak hanya berasal dari kalangan warga biasa, tapi juga beberapa anggota legislatif, baik di DPR RI ataupun DPRD DKI Jakarta.
Jika kita hanya menggunakan sudut pandang pesepeda hobi yang hanya bersepeda pada akhir pekan selama beberapa jam, argumen bahwa jalur sepeda permanen tidak efektif mungkin ada benarnya. Apalagi jalur ini juga kerap dipenuhi para pesepeda yang membuat kita tak terlalu leluasa untuk bermanuver.
Jika kita melihatnya dari perspektif pesepeda hobi, kita tentunya tidak masalah apabila jalur tersebut dibongkar saat hari kerja. Toh, saat itu kita memang sedang kembali ke kendaraan bermesin sebagai andalan untuk mobilitas.
Namun, sadarkah kita bahwa pesepeda bukan hanya orang-orang yang bersepeda untuk hobi dan mengisi waktu luang.
Ada orang-orang yang bersepeda untuk mobilitas harian dan mencari penghidupan. Mereka lah yang mungkin luput dari pandangan kita, termasuk di mata para wakil rakyat.
Coba itu rangorang yg protes sm jalur sepeda terproteksi ngomong langsung di depan pak Budi.
— Andri Saputra (@thisisandri) May 11, 2021
Belio ini mix commute sepeda & KRL. Rumahnya di Bekasi.#saveprotectedbikelanes #selamatkanjalursepeda pic.twitter.com/jpvZ9NKd9G
Cerita dari Zaini dan Komeng
Suasana Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta, masih tampak lengang pada Sabtu pagi itu. Wajar memang. Jalan Sudirman pada Sabtu pagi memang relatif lebih sepi dari hari-hari lain.
Senin sampai Jumat jalanan dipadati kendaraan dari para pekerja kantoran yang beraktivitas di sana, sedangkan hari Minggu biasanya ramai untuk kegiatan car free day.
Di tengah lengangnya Sudirman, seorang pria paruh baya terlihat melintas dengan sepeda di sepanjang jalur sepeda terproteksi dari ruas depan Ratu Plaza sampai FX. Ia bukan pesepeda hobi yang melintas di Sudirman dengan sepeda kekinian.
Di keranjang depan sepedanya ada beberapa mi instan gelas yang ditumpuk dengan jajanan kacang-kacangan dalam plastik kecil.
Di bagian setang, tergantung berderet kopi sachet beserta gelas plastiknya. Adapun di bagian belakang ada dua buah termos besar berisi air panas.
Pria paruh baya tersebut bernama Zaini (50), seorang pedagang kopi keliling, atau sering diplesetkan dengan istilah "Starling", akronim dari "Starbucks Keliling". Ia tinggal di Kwitang, Senen, yang jaraknya sekitar 8 kilometer dari tempatnya berjualan.
Zaini mengaku sangat terbantu dengan adanya jalur sepeda. Perjalanannya jadi relatif lebih lancar karena tidak harus selalu bersinggungan dengan kepadatan lalu lintas kendaraan bermotor.
Menggunakan kendaraan tanpa mesin dengan barang bawaan banyak tentunya lebih berat jika terlalu sering berhenti saat macet.
"Jalannya enggak macet gitu untuk sepeda, lancar," kata dia saat ditemui Kompas.com di sekitar depan Ratu Plaza, Sabtu (29/5/2021).
Setiap hari, Zaini mengaku sudah berangkat dari rumahnya pukul 06.00. Ia baru pulang setelah hari gelap dan biasanya baru sampai rumah pukul 20.00. Dari pagi sampai petang, ia mondar mandir di sepanjang Jalan Sudirman untuk mencari pemberi.
Jika di titik A calon pembeli sepi maka ia akan pindah ke titik B, kemudian titik C, dan seterusnya. Setelah beberapa jam ia bisa saja pindah ke lokasi awal, tergantung situasi.
Karena harus sering berpindah dari titik satu ke titik lain, Zaini mengaku sangat terbantu dengan adanya jalur sepeda, apalagi dengan adanya pembatas. Adanya pembatas membuatnya merasa aman saat harus kembali ke titik awal di jalur yang sama, alias melawan arah.
"Dikasih jalan ini sama pemerintah, alhamdulillah, jadi enggak (perlu) ke tengah," ujar pria berlogat Madura itu.
Dari kacamata orang awam, perbuatan Zaini yang melawan arah di jalur sepeda terproteksi mungkin dianggap pelanggaran. Tapi ia tak punya banyak pilihan di tengah tata ruang Jalan Sudirman yang penyeberangan pejalan kakinya harus naik turun jembatan penyeberangan orang (JPO), apalagi dengan barang bawaan banyak.
Baca juga: Memosisikan Diri sebagai Manusia Tanpa Mesin di Kota Car-Oriented
Zaini tak sendiri. Komeng (35) juga mengaku sering melakukan hal serupa. Ia adalah penjual roti keliling. Selain mempermudah mobilitasnya sebagai pedagang, Komeng mengaku jalur sepeda terproteksi membuatnya bisa lebih cepat kabur kalau ada razia dari Satuan Polisi Pamong Praja.
Kompas.com sempat kurang paham dengan pengakuan Komeng ini. Sebab ia bukanlah pedagang yang mendirikan kios permanen di atas trotoar. Namun, Komeng mengaku kerap
dirazia oleh petugas Satpol PP walaupun gerobak dagangannya bentuknya "mobile".
Jika gerobak dan sepedanya sudah ditahan, ia harus menembus uang jika ingin mengambilnya kembali. Besaran uang yang harus ditembus biasanya mencapai sekitar Rp 300.000.
"Jadi kalau sudah lihat mobil Satpol di seberang (ruas jalan arah sebaliknya), kita bisa cepat kabur," ujar Komeng.
Terkait pengakuan Komeng ini, Kompas.com masih berupaya mengonfirmasi pihak terkait.
Yang begini jgn lah di ganggu, cari nafkah ga buat lapak permanen yang arogan ditengah jalan bergerombol didiemin? pic.twitter.com/UqS2WbZScr
— Adrianus Satrio (@Adrianussatrio) May 30, 2021
Terlepas dari pengakuan Komeng soal jalur untuk kabur apabila ada razia ini, secara keseluruhan ia menyatakan terbantu dengan adanya jalur sepeda terproteksi. Karena itu, Komeng menyesalkan kenapa masih ada pengguna sepeda yang tidak memanfaatkannya.
"Kalau sudah ada jalur sepeda ya harus pakai jalur sepeda, jangan ke tengah," ujar ayah dua anak yang tinggal di Rawabelong, Palmerah, Jakarta Barat itu.
Zaini dan Komeng bisa dibilang "anak lama" dalam dunia persepedaan Ibu Kota. Mereka sudah bersepeda jauh sebelum tren ini berkembang secara global selama pandemi, tak terkecuali di Jakarta.
Zaini dan Komeng juga bukan pesepeda yang gowes untuk sekedar hobi akhir pekan selama beberapa jam. Mereka mengayuh sepedanya setiap hari untuk menghidupi keluarganya dari pagi sampai malam.
Orang-orang seperti Zaini dan Komeng tentunya jadi bagian dari mereka yang merasa diuntungkan dengan keberadaan jalur sepeda.
Zaini dan Komeng mungkin luput dari pandangan mayoritas pengguna kendaraan bermotor yang terlanjur kesal dan memberi cap negatif pada pesepeda hanya gara-gara ulah pesepeda hobi.
Orang-orang seperti Zaini dan Komeng mungkin juga tidak masuk dalam pantauan sejumlah anggota parlemen yang mendesak jalur sepeda dibongkar karena menganggapnya tidak efektif.
Tidak efektif jika kita hanya melihatnya dari kacamata pesepeda hobi dan tentunya membahayakan jika dilihat dari perspektif pengguna mobil yang mengemudinya sembrono.
Baca juga: Minibus Tabrak Jalur Sepeda Permanen, Kadishub DKI Sebut Sopir Mengantuk
Pada sekitar penghujung April 2021, dua kecelakaan tunggal yang melibatkan mobil dengan pola yang mirip terjadi di Magelang dan Jakarta. Kemiripannya adalah mobil sama-sama menabrak pembatas jalur lambat yang biasa dipakai pesepeda.
Komunitas Bike2Work Indonesia menilai dua kejadian tersebut menunjukan bahwa jalur sepeda memang dibutuhkan untuk keselamatan pesepeda. Sebab, jika tidak ada pembatas, mobil yang menabrak bisa saja langsung menghantam pesepeda yang kebetulan sedang melintas.
Jika terjadi benturan, kemungkinan pengendara mobil untuk selamat tanpa mengalami cedera tentunya jauh lebih besar ketimbang pesepeda.
"Setelah di Jakarta, menyusul di Magelang. massa x kecepatan = momentum = daya rusak. Pembatas jadi terbukti penting untuk melindungi pengguna sepeda di jalur yang memang dipisahkan dari arus lalu lintas kendaraan bermotor," tulis Bike2Work Indonesia lewat akun twitter mereka, @B2WIndonesia pada 24 April 2021.
(Massa x kecepatan) - kecerdasan = daya rusak https://t.co/LX7yA2pd0M
— Reza Prabowo (@rezaprabowo) April 24, 2021
Kekhawatiran Pasca-Viralnya Pengendara Motor Vs Rombongan Pesepeda Road Bike
Beberapa hari terakhir, jagad dunia maya dihebohkan dengan viralnya sebuah foto yang menampilkan seorang pengendara motor mengacungkan jari tengah ke rombongan pesepeda road bike.
Dari foto yang beredar, rombongan pesepeda road bike terlihat memenuhi badan jalan. Mereka tidak melintas di lajur kiri.
Ada yang menyesalkan sikap pengendara sepeda motor tersebut. Namun, banyak pula yang membelanya. Pengendara motor dianggap mewakili kekesalan pengguna jalan akan sikap rombongan pesepeda sport yang dianggap arogan sejak meningkatnya tren sepeda di Jakarta.
Namun, terlepas dari masalah tersebut, ada satu hal yang jadi kekhawatiran kalangan pesepeda yang biasa bersepeda untuk mobilitas, yakni kekhawatiran akan stigma negatif terhadap seluruh pesepeda tanpa pengecualian.
Hal lain yang tak kalah penting untuk dikhawatirkan adalah takut apabila kekisruhan tersebut membuat otoritas terkait memutuskan membongkar jalur sepeda terproteksi.
"Saat ini mulai timbul persoalan baru di jalan raya. Ada ketidaksukaan pengguna kendaraan bermotor kepada pengguna sepeda apapun tujuan bersepedanya," kata Ketua Komunitas Bike2Work Indonesia Poetoet Soedarjanto kepada Kompas.com, Minggu (30/5/2021).
Baca juga: Viral Foto Pemotor Acungkan Jari Tengah ke Rombongan Pesepeda, Ini Kata Komunitas Sepeda
Bike2Work Indonesia adalah salah satu pihak yang selama ini sangat konsen dalam advokasi pesepeda. Mereka turut memperjuangkan adanya jalur sepeda terproteksi. Bike2Work Indonesia juga aktif mengkampanyekan etika dan tata tertib dalam bersepeda.
Tak ayal, ego dan arogansi pesepeda sport tentu saja menodai segala upaya yang selama ini diperjuangkan Bike2Work dan para pegiat transportasi ramah lingkungan lainnya.
Teman-teman di @B2WIndonesia bertahun-tahun mencoba mempopulerkan ini. Mudah? Tentu tidak, tantangannya banyak. Dari regulasi dan infrastruktur yang belum mendukung, hingga dukungan masyarakat. Yuk kita dukung gerakan ini!
— Greenpeace Indonesia (@GreenpeaceID) May 30, 2021
"Yang juga harus dikemukakan dan ditegaskan adalah mereka yang termasuk perilakunya tidak tertolong lagi itu, ya, sebagian dari pengguna sepeda balap, sepeda sport. mereka sudah keterlaluan. mereka egois.<1/6>," tulis Bike2Work dalam rangkaian kicauan yang mereka unggah pada Sabtu (29/5/2021).
Co-Founder Transport for Jakarta Adriansyah Yasin Sulaeman juga punya kekhawatiran serupa. Seperti Bike2Work Indonesia, Adriansyah juga aktif memperjuangkan kepentingan pesepeda dan kalangan non-pengguna kendaraan bermotor lain di Ibu Kota.
Jauh sebelum viralnya foto pengendara motor vs rombongan road bike, Yasin sudah berulang kali menyuarakan kekesalannya pada sebagian pengendara sepeda road bike.
"Semangat @B2WIndonesia, PR kita semua untuk menumbuhkan budaya bersepeda sebagai alat mobilitas harus dibuat lebih sulit dengan keberadaan tim peloton rekrasional. Makannya dari awal saya selalu state kepada siapa yang sebetulnya kita perjuangkan:" tulis Yasin dalam rangkaian kicauan yang juga ia unggah pada Sabtu kemarin.
Lewat beberapa kicauan terbarunya, Yasin juga menautkan beberapa kicauan lamanya, salah satunya kicauannya pada 28 Januari 2021. Saat itu, ia mengunggah empat foto yang menampilkan para pesepeda kalangan pekerja informal yang ia anggap sebagai pelopor mobilitas urban yang ramah lingkungan.
"Pesepeda paling tangguh dan keren di Jakarta bukanlah mereka yang sampe perlu jasa voorijder sendiri. Ini lah mereka pesepeda Jakarta yang paling tangguh sebenarnya:" tulis Yasin lewat kicauan lain pada 6 November 2020.
Infrastruktur pesepeda yg terus kita perjuangkan bukan untuk mengakomodasi RB rekrasional
Mereka dibangun u/ mengutamakan keselamatan pesepeda pemula dan pesepeda rentan yang selama ini takut akan bersepeda
Tapi selalu dirisak sama kelakuan yg sebelahhttps://t.co/s29jlBv7wL
— Adriansyah Yasin Sulaeman (@adriansyahyasin) May 29, 2021
Kegiatan bersepeda memang aktivitas yang baik seperti halnya berjalan kaki. Semakin banyak orang yang berjalan kaki dan bersepeda, serta mengkombinasikannya dengan transportasi umum untuk mobilitas harian, tentunya dapat mengurangi ketergantungan pada kendaraan bermotor pribadi. Sisi positifnya tentu mengurangi kemacetan dan polusi.
Baca juga: Dilema Naik Transportasi Umum di Ibu Kota: Bantu Kurangi Macet Tapi Dibikin Ribet
Pesepeda, seperti halnya pejalan kaki, juga merupakan kalangan yang harus diutamakan di atas pengguna kendaraan bermotor. Hal itu bahkan sudah ditegaskan dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
"Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan wajib mengutamakan keselamatan Pejalan Kaki dan pesepeda," tulis ayat 2 pada pasal 106.
Namun, mendapat keutamaan bukan berarti bisa sewenang-wenang. Sebab, di jalan raya ada peraturan yang harus dipatuhi oleh semua pihak.
Sepeda sebagai kendaraan non-bermotor tentunya harus berjalan di sisi kiri yang merupakan lajur paling lambat. Tak peduli seberapa mahal harga sepeda tersebut.
Hal itu tercantum dalam Pasal 108 yang membahas tentang Jalur atau Lajur Lalu Lintas.
Berikut isi lengkap dari pasal tersebut:
(1) Dalam berlalu lintas Pengguna Jalan harus
menggunakan jalur Jalan sebelah kiri.
(2) Penggunaan jalur Jalan sebelah kanan hanya dapat dilakukan jika:
a. Pengemudi bermaksud akan melewati Kendaraan di depannya; atau
b. diperintahkan oleh petugas Kepolisian Negara
Republik Indonesia untuk digunakan sementara
sebagai jalur kiri.
(3) Sepeda Motor, Kendaraan Bermotor yang kecepatannya lebih rendah, mobil barang, dan Kendaraan Tidak Bermotor berada pada lajur kiri Jalan.
(4) Penggunaan lajur sebelah kanan hanya diperuntukkan bagi Kendaraan dengan kecepatan lebih tinggi, akan membelok kanan, mengubah arah, atau mendahului Kendaraan lain.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.yang mereka abaikan: undang-undang tentang lalu lintas dan angkutan jalan itu sebetulnya mengatur pengguna jalan untuk urusan transportasi, bukan untuk berolahraga. bukan pula (apalagi) melayani ego orang per orang.<6/6>
— Bike2Work Indonesia (@B2WIndonesia) May 29, 2021