JAKARTA, KOMPAS.com - Kerusuhan yang terjadi pada pertengahan Mei 1998 silam menjadi salah satu sejarah kelam bangsa Indonesia.
Penjarahan masif yang terjadi, disertai beragam kekerasan termasuk pemerkosaan dan pelecehan, merupakan imbas dari peristiwa penembahan terhadap mahasiswa Universitas Trisakti kala itu.
Empat siswa dinyatakan tewas tertembak peluru tajam aparat yang tengah mengamankan demonstrasi menuntut turunnya Presiden Soeharto dari jabatan yang sudah dilakoninya selama 32 tahun.
Kekerasan yang terjadi di berbagai penjuru Ibu Kota selama kurang lebih tiga hari ini terutama sekali menyasar etnis Tionghoa.
Toko-toko mereka dijarah hingga tak bersisa.
Salah satu daerah yang mengalami kerusuhan hebat adalah kawasan Glodok, Jakarta Barat, yang merupakan salah satu kawasan Pecinan terbesar di Batavia.
Pada hari-hari berdarah itu, ribuan warga menyerbu Glodok untuk menjarah berbagai barang, mulai dari komputer hingga kulkas.
Peristiwa itu sudah berlalu selama 23 tahun, tetapi sisa-sisa ingatan kelamnya masih tampak.
Bila berjalan di sekitar Pintu Besar Selatan, akan sangat terasa bagaimana kerusuhan ini bukan hanya merenggut harta benda tapi juga menimbulkan trauma yang tidak bisa hilang.
“Saya masih Sekolah Dasar. Seingat saya, toko saya tidak dijarah, karena mungkin hanya jual pipa air,” ujar A ling (31), anak salah satu pemilik toko di Pintu Besar Selatan, kepada Historia.
Namun, tokonya tetap rusak karena penimpukan batu oleh massa tak dikenal.
Nasib lebih nahas menimpa tetangga A Ling. Toko tersebut dijarah dan kemudian tidak beroperasi lagi hingga sekarang.
"Sudah lama ditinggalkan pemiliknya," lanjutnya.
Saat Historia menelusuri kawasan Pintu Besar Selatan, terlihat banyak sekali bangunan terbengkalai. Ada yang tergembok rapat, ada pula yang dibiarkan kosong.
Mereka seakan ingin mengubur ingatan akan peristiwa kelam itu dalam-dalam.
Salah satu bukti bahwa trauma tersebut tidak pernah sembuh dari warga etnis Tionghoa adalah mereka beramai-ramai memasang teralis besi di setiap jendela rumah dan tokonya untuk perlindungan diri.
Ketika memasuki malam, situasi kelam kian terasa di sepanjang lorong itu. Tembok yang retak, suasana sunyi, dan bangunan tak berpenghuni.
Itu semua tentu saja akan tetap menjadi saksi bisu peristiwa kekerasan berdarah terorganisir pada Mei 1998 sekaligus menjadi pengingat bahwa peristiwa yang memakan korban hampir ribuan orang tersebut tentu saja tidak boleh terulang kembali di negeri ini (Historia/Fernando Randy)
Artikel di atas telah tayang di Historia.id dengan judul "Saksi Bisu Kerusuhan Mei 1998 di Glodok".
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.