Pantauan Kompas.com saat uji coba di JLNT, banyak pesepeda road bike yang gowes dengan kecepatan tidak sampai 20 km/jam. Sebagian gowes santai sambil ngobrol dengan pesepeda lain.
Tidak sedikit pula pesepeda road bike yang berhenti di atas jalan layang untuk sekadar foto-foto.
Sebaliknya, banyak pesepeda selain road bike yang melaju di atas 20 km/jam.
Petugas sama sekali tidak memantau kecepatan pesepeda selama di atas jembatan layang. Petugas hanya berjaga-jaga di setiap akses masuk.
Sikap petugas tersebut yang dinilai diskriminasi. Pemprov DKI dinilai pro-kalangan menengah ke atas lantaran kebanyakan harga road bike relatif mahal.
Pertanyaan lain di kalangan pesepeda, bagaimana spesifikasi road bike versi pemerintah? Pasalnya, banyak pesepeda yang melakukan modifikasi sepedanya.
Lalu, apa dasar hukum aparat mengusir pesepeda selain road bike dari jalur JLNT? Pemprov DKI hingga kini belum membuat aturan khusus terkait kebijakan tersebut.
Ketua Komunitas Bike 2 Work, Poetoet Soerdjanto sebelumnya mengkritisi diskriminasi Pemprov DKI terhadap pesepeda.
Menurut Potoet, semestinya pemerintah tidak menggunakan jenis sepeda tertentu sebagai dasar pembuatan kebijakan.
"Saran kami kalau misalnya mengeluarkan kebijakan baru tersebut, jangan dikotomi dengan sepeda tetapi dengan batasan kecepatan minimum," kata Poetoet saat dihubungi Kompas.com, Rabu (2/6/2021).
Baca juga: Karpet Merah Buat Road Bike, Ketua B2W Minta Pemprov DKI Tak Diskriminasi terhadap Pesepeda
Poetoet menekankan, ada jenis sepeda lain yang memiliki tingkat kecepatan yang sama dengan sepeda jenis road bike.
"Karena apa? Yang mampu melesat dengan kecepatan tinggi itu tidak hanya teman-teman road bike, ada teman-teman-teman dengan jenis sepeda lain yang kecepatannya juga kurang lebih bisa sama dengan pengguna sepeda road bike," tutur Poetoet.
"Jadi saya kira akan fair kalau rambu itu dipasang adalah sepeda dengan kecepatan minimum misalnya 30 km/jam atau 32 km/jam. Jadi kalau hanya road bike masalah kecepatan dia hanya 15-20 km/jam kan ya enggak ada guna juga. Jadi mohon tidak dikotomi sepeda tapi lebih kepada batasan minimum kecepatan," lanjutnya.
Petoet menilai, hal itu bisa menimbulkan masalah sosial baru seperti diskriminasi di antara para pengguna sepeda.
"Ini jadinya membedakan status sepeda, ada dikotomi jalur sepeda, menurut saya ini menjadi tidak baik di kalangan pengguna sepeda," ujarnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.