"Padahal, kalau cara yang ditempuh persuasif dan tidak arogan, maka tidak akan menimbulkan masalah seperti sekarang ini," ujar Koordinator Gerakan Pembela Rakyat (Gapera) AM Arbi saat menggelar aksi demonstrasi di Balaikota, Jakarta, Kamis (2/5/2013).
Arbi juga mempertanyakan langkah penggusuran tersebut, yang dinilainya tidak sesuai dengan janji Jokowi. Dalam berbagai kesempatan, Jokowi selalu menginginkan agar relokasi warga tidak dilakukan dengan cara kekerasan.
Penolakan yang terjadi di Waduk Pluit terjadi hingga hari peresmian pada 17 Agustus 2013, Puluhan warga membentangkan spanduk berisi tuntutan, yakni "Penggusuran rumah tanpa izin adalah penjajahan, maka lawan!!!".
Baca juga: Rumah Ahok Sudah Dijaga Ketat Polisi sejak Penertiban Waduk Pluit
Mereka berjalan melintasi tepi jalan taman barat Waduk Pluit. Aksi itu menarik perhatian pengunjung waduk yang tengah menunggu acara peresmian taman.
Roni Ibrahim, Ketua RT 19, mengatakan, aksi itu dilakukan karena ada isu penggusuran lahan yang dihuni warga pada akhir bulan Agustus 2013 ini.
Warga menganggap, jika benar-benar terjadi, hal itu merupakan pelanggaran dialog warga dengan Gubernur beberapa waktu lalu.
"Jokowi janji dua tahun baru digusur, nunggu rusun jadi. Nggak tahunya ada penggusuran, jelas kami menolak penggusuran itu," ujarnya.
Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) menjadi salah satu Gubernur DKI Jakarta dengan ciri khas penggusuran yang kental. Hal tersebut tidak dapat dimungkiri lantaran ketika menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta, Ahok banyak menggusur permukiman
Beberapa di antaranya merupakan permukiman ilegal. Pada masa Ahok, Kampung Pulo digusur untuk normalisasi Kali Ciliwung, lokalisasi Kalijodo digusur untuk membangun ruang publik terpadu ramah anak (RPTRA).
Selain itu masih ada penggusuran di Pasar Ikan, Kampung Luar Batang, hingga Kampung Akuarium. Kebanyakan warga yang menjadi korban menolak penggusuran itu beralasan pemerintah tak memberikan ganti rugi. Namun, penggusuran tetap dijalankan.
Dalam buku "Gara-Gara Ahok: Dari Kegaduhan ke Kegaduhan", (Ismantoro Dwi Yuwono; 2017) menerangkan banyak yang menilai, langkah tegas Ahok melakukan penggusuran demi menertibkan kawasan Ibu Kota pantas mendapat pujian.
Baca juga: Kampung Pulo, Kalijodo, dan Target Ahok Selanjutnya...
Pada periode pemerintahanya, Ahok berjanji akan membongkar seluruh bangunan liar yang berdiri di lahan negara. Termasuk pemukiman di atas kali, saluran air, dan bangunan yang berdiri di atas ruang terbuka hijau (RTH).
Dimulai dari Kampung Pulo, Ahok mengerahkan Satpol PP DKI Jakarta untuk membongkar sejumlah pemukiman liar di bantaran Kali Ciliwung. Tindakan tersebut dilakukan tanpa peduli dengan adanya penolakan dan kecaman, dan sebanyak 920 kepala keluarga di relokasi ke Rusun Jatinegara Barat.
Kebijakan tersebut mendapatkan dukungan dan apresiasi dari Lurah Kampung Melayu yang melihat sudah ada lima Gubernur mendatangi lokasi tersebut tetapi tidak ada yang berani membongkar Kampung Pulo.
“Mereka jadi bodo amat, Bangun rumah lagi. Baru pak Ahok yang akhirnya berani mengambil keputusan itu,” ujar Bambang Pangestu.
Setelah penggusuran kontroversi di Kampung Pulo, Ahok melanjutkanya dengan penertiban kawasan Kalijodo yang menjadi kawasan prostitusi sejak 1970 dan upaya pemerintah untuk melakukan penggusuran pada 2003 tidak terlaksana.
Penggusuran Kalijodo juga mendapat pertentangan dari beberapa warga salah satunya adalah Abdul Aziz (Daeng Aziz) yang memimpin warga untuk menghentikan penggusuran tersebut. Hingga 3 hari sebelum penertiban Aziz ditangkap atas dugaan pencurian listrik atas cafe miliknya.
Baca juga: Pengakuan Daeng Aziz Saat Todongkan Pistol ke Krishna Murti di Kalijodo
Lokasi yang juga marak premanisme ini menurut kesaksian ketua RW 10 Kecamatan Tambora Syaifullah, “Warga Kalijodo yang berada di sisi utara tak kenal takut. Jangankan orang sipil, sekelas Kapolsek saja ditodong pistol,” ujar dia.
Karena wilayah Kalijodo berada di dua wilayah, penggusuran ini tak lepas dari campur tangan Wali Kota Jakarta Barat dan Jakarta Utara. Kala itu Ahok menantang kepada dua Wali Kota ini untuk bertindak tegas atau pemecatan untuk mereka.
Sepuluh alat berat jenis eskavator bersama dengan 5000 pasukan gabungan TNI, Polri, dan Satpol PP DKI Jakarta untuk melakukan penertiban kawasan Kalijodo yang akan di alihfungsikan sebagai ruang publik terpadu ramah anak (RPTRA) yang diselesaikan pada akhir 2016 sehingga dapat digunakan sebagai pusat perayaan tahun baru 2017.
Sosok di balik Ahok
Ahok hampir tak pernah bertindak ragu-ragu dalam menjalankan kebijakannya selama ini. Namun sekali waktu saat memutuskan berkaitan dengan Kalijodo ada kekhawatiran akan tersangkut masalah hukum.
Namun, setelah ada kejadian kecelakaan Fortuner yang memakan korban jiwa, Ahok memantapkan diri untuk melakukan penggusuran ini.
Ternyata, di balik keputusan Ahok ada ide yang datang dari Tito Karnavian, sewaktu masih menjabat sebagai Kapolda Metro Jaya. Dia mendukung Ahok untuk menggusur permukiman liar di atas RTH Kalijodo tersebut.
"Pak Tito bilang, kenapa enggak mau bersihin seluruhnya. Dia bilang seringkali gubernur selesai bersihin itu enggak lakuin apa-apa. Maunya Pak Tito, dia sudah tangkap yang jahat segala macam, DKI gusur habis dan bangun. Ya itu ide Pak Tito. Makanya saya bilang pas, kita berdua,” ujar Ahok kepada media.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.