Rusun lebih ramah bagi perkembangan si bocah karena dia tak perlu tumbuh dan bermain di Kalijodo yang "gelap".
Namun, bagi ibu rumah tangga yang telah terbiasa berdaya secara finansial seperti Ayu dan Eni, rusun laiknya sangkar emas.
"Waktu dipindah ke sini sebenarnya ada niat mau dagang lagi, buka warung, tapi tiga bulan saya lihat di sini, kok, sepi banget," tutur Eni.
"Di sini jualan enggak jalan. Yang mau beli siapa?" timpal Ayu.
Pengelola rusun disebut sempat memperbolehkan warga rusun, yang mayoritas pilih berjualan makanan, berdagang dekat gerbang depan. Kala itu, pembeli cukup banyak karena sejumlah warga luar rusun juga ikut membeli.
Baca juga: Revitalisasi Monas ala Anies, Saat Pohon Rindang Berganti Jadi Lantai Beton nan Gersang
Namun, belakangan, pengelola justru menyiapkan kios baru di area belakang rusun. Akibatnya mudah ditebak: sepi pembeli. Satu per satu pedagang gulung tikar.
Walau demikian, tersisa beberapa warung di Rusun Pulogebang yang masih bertahan.
"Di sini mah kuat-kuatan nunggu warung saja, yang beli paling bisa dihitung. Kalau udah enggak sabar kan, ya sudah, tutup saja, orang enggak ada yang beli. Menunggu (pembeli) kan jenuh," ungkap Eni.
"Masih ada sebagian daganganku di sini, tas masih ada, bantal jeruk. Baju yang seksi-seksi masih ada, tadinya kan untuk dijual ke anak-anak kerja (PSK di Kalijodo), saya buat lap di dapur, Mas. Baru tak bongkar kemarin, he-he-he," kata Ayu, mengaku bahwa sebagian stok dagangannya terpaksa ia jual murah.
Daya beli Ayu memang terjun bebas setelah penggusuran. Waktu dan biaya yang diperlukan baginya belanja modal pakaian terlalu besar jika dihitung dengan pemasukan yang sudah berkurang dan jarak yang jauh ke Pasar Tanah Abang.
Baca juga: Kontroversi Anies-Sandiaga, Tutup Jalan Jatibaru demi PKL Tanah Abang
Keadaan ini juga dialami bekas tetangganya, sesama warga relokasi Kalijodo, yang pilih berdagang lagi di eks kediaman mereka yang kini sudah menjelma RPTRA.
"Dulu di sana (belanja modal) kredit satu bulan, di sini (harus jatuh) tempo 10 bulan. Beli bedcover saja Rp 750.000 di sana sebulan lunas, di sini harus 10 bulan. Modalnya kalau enggak dobel-dobel ya enggak jalan," ucap Ayu, yang suaminya kini bekerja sebagai PJLP, petugas keamanan di Rusun Pulogebang.
"Di sini nyari Rp 50.000 saja susah," lanjutnya.
Selain pemasukan menciut, biaya hidup di rusun, menurut mereka, membengkak.
Konsumsi air yang disubsidi pemerintah disebut hanya sampai 10 kubik per bulan. Ongkos sewa rusun mencapai Rp 200.000-Rp 300.000 sebulan, yang jika ditunggak berbulan-bulan, bakal berujung denda berbunga. Baik Ayu dan Eni mengaku tak pernah menunggak.
"Di sana (rumah lama), Rp 100.000 bisa untuk 3-4 hari, di sini Rp 60.000 sehari. Hitungannya di sana beras punya, bumbu punya. Di sini belum sama beras," kata Eni dan Ayu bersahutan.
"(Enak tinggal di mana) ya ketahuan dari kita belanja sayur."
Lalu, apakah tidak ada kabar baik sama sekali di rusun?
Sebagai penghuni rusun, mereka diberi akses bus transjakarta gratis. Ada klinik di Rusun Pulogebang, walau kadang-kadang tidak buka saat dibutuhkan. Ada pula TK dan PAUD swasta. Pihak swasta kerap menggelar pelatihan dan bazar di sini.
"Enaknya ya enggak ngerasain banjir, enggak ketar-ketir kalau subuh waktu Katulampa udah tinggi. Baiknya ya itu saja. Kalau perekonomian, ya enggak," sebut Eni.
Pemprov DKI Jakarta juga punya program yang dianggap lumayan meringankan beban belanja sembako bagi para penghuni rusun, yakni program pangan murah.
Program itu terjadwal dengan baik saban bulan. Mutu produknya, mulai dari beras, susu, telur, hingga ikan dan daging sapi, juga cukup bagus.
Untuk mendapatkan item-item itu, warga rusun tetap harus merogoh kocek, tetapi harganya lebih murah.
Baca juga: Ulang Tahun Ke-494 Jakarta dan Kontroversi Para Gubernurnya
Sayang, program itu kini libur karena dikhawatirkan warga jadi berkerumun saat pandemi Covid-19.
Eni dan Ayu menyayangkan, pangan murah malah diganti dengan bansos sembako, lalu diganti lagi dengan bansos tunai yang tak jelas kapan cairnya.
Meskipun demikian, ketika Kompas.com bertanya mana yang lebih menguntungkan, belanja pangan murah di rusun atau belanja pangan sendiri di tempat tinggal dulu sebelum kena gusur, Ayu dan Eni menjawab kompak.
"Ya mending di sono," jawab mereka berdua.
Sejak pindah ke Rusun Pulogebang, waktu terasa memuai karena minim kesibukan.
Untuk mengisinya, mereka lakukan hal lain, semisal ikut senam bersama ibu-ibu lain di lapangan setiap Jumat. Sayang, pandemi melanda dan kegiatan itu buyar.
Tatkala datang kesempatan lewat pelatihan macam-macam, dari menjahit, tenun, sulam, hingga tata rias, Eni atau Ayu kerap mencoba peruntungan.
Akan tetapi, dari sederet pelatihan yang pernah digelar di Rusun Pulogebang, hanya membatik yang bertahan sampai sekarang dan benar-benar bermanfaat.