Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Secarik Asa Ibu-ibu Korban Gusuran pada Batik Tulis

Kompas.com - 23/06/2021, 07:54 WIB
Vitorio Mantalean,
Nursita Sari

Tim Redaksi


JAKARTA, KOMPAS.com - "Kita jadi keinget ya kalau lihat penggusuran, kasihan, itu rumah bagus-bagus. Mereka nganggep enteng kali ya, enggak bakalan digusur," ungkap Ayu (39) kepada Eni (39) sambil duduk lesehan di salah satu sudut Rumah Susun Pulogebang, Selasa (8/6/2021).

Persis di seberang rusun ini, eksekusi lahan sedang terjadi. Sebagaimana galibnya penggusuran, bentrok tak terelakkan.

Aparat berseragam merangsek ke area penggusuran untuk memastikan lahan sudah kosong sebelum dibabat alat berat. Sebagian aparat dan mobil-mobilmya diparkir di halaman Rusun Pulogebang.

"Ini masih mending, Mas. Dulu saya digusurnya kayak teroris," ungkap Ayu saat berbincang dengan Kompas.com.

Baca juga: Gubernur DKI Jakarta dan Kontroversinya: Riwayat Penggusuran pada Era Gubernur Wiyogo, Jokowi, dan Ahok

Ayu dan Eni sama-sama menghuni Rusun Pulogebang dengan status korban penggusuran era Gubernur Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.

Ayu, sebelumnya tinggal di kawasan Kalijodo, Jakarta Barat, digusur pada 2015.

Sementara itu, Eni, yang sejak lahir menghuni bantaran Sungai Ciliwung di Kampung Melayu, Jakarta Timur, digusur setahun berselang.

Keduanya terpaksa pindah ke rusun dengan perasaan masygul. Ada kenangan dan kemapanan yang mendadak direnggut dari hidup mereka, bersamaan dengan lindasan alat berat yang meruntuhkan rumah mereka.

"Aku malah ngekos dulu, Mas, enggak langsung pindah ke sini (setelah rumah digusur). Waktu itu belum bisa menerima. Aku ngekos sebulan, lihat-lihat bongkaran (rumah yang sudah digusur), baru pindah," ujar Ayu.

Kejayaan masa silam

Ibu-ibu pengrajin batik tulis Rusun Pulogebang sedang mewarnai kain batik yang telah mereka lukis dengan canting, Jumat (18/6/2021).KOMPAS.com / VITORIO MANTALEAN Ibu-ibu pengrajin batik tulis Rusun Pulogebang sedang mewarnai kain batik yang telah mereka lukis dengan canting, Jumat (18/6/2021).
Penggusuran itu elegi bagi Ayu. Ia baru membeli tanah orang lantas membangunnya jadi rumah tiga lantai ketika itu. Kesedihannya hanya sedikit teralihkan karena ia baru saja menjadi ibu kala itu.

Rumah tersebut menurut rencana dipakai sebagai tempat tinggal di lantai dasar dan lantai atasnya disewakan sebagai rumah kos.

Pembangunan rumah sudah nyaris rampung, tersisa dinding yang belum dicat dan kamar mandi yang belum dipasangi pintu, ketika perintah pengosongan sampai ke telinganya.

Aparat rutin berkeliling, mengingatkan tukang-tukang di rumah baru Ayu untuk segera menghentikan pembangunan karena 'tidak mungkin bisa bertahan'.

"Kata orang-orang itu dari dulu mau digusur tapi tidak pernah bisa, mungkin (aparatnya) masih bisa diajak 'kerja sama'. Ahok itu dikira begitu lagi, tapi Ahok enggak bisa. Enggak ada yang ngalahin Ahok," ungkapnya.

"Dikasih waktu satu minggu keluar, habis itu keluar SP lagi. Enggak ada sebulan (langsung digusur)," tambah Ayu.

Baca juga: Riwayat Becak di Jakarta: Dilarang Ali Sadikin-Wiyogo, Dirazia Ahok, Diizinkan Anies

Jelang penggusuran, arus listrik ke rumah Ayu diputus.

Ia segera ikut dalam rombongan warga yang mengurus pindah ke Rusun Pulogebang, mencoba melupakan masa silam di Kalijodo, kawasan yang dulu tersohor sebagai pusat prostitusi Ibu Kota.

Ayu bukan pekerja seks di sana. Namun, tak bisa dipungkiri, bisnis dunia malam yang dulu mencengkeram Kalijodo telah menghidupi banyak warga di sana. Suaminya DJ di salah satu kafe milik saudara.

Ayu pun bukan hanya berpangku tangan di rumah. Ia berjualan pakaian, bantal, dan barang-barang sejenis. Seminggu sekali ia mondar-mandir Pasar Tanah Abang untuk belanja dagangan.

Dari sana, kran pemasukan keluarga mengucur sampai mereka mampu membangun rumah tiga lantai dengan keringat sendiri.

"Di sana, alhamdulillah warganya lumayan (berkecukupan), walaupun rumah di situ istilahnya enggak ada yang bagus, tapi nyari duit jalan," ujar Ayu.

"Bu RT juga baru bangun (rumah). Ada yang habis bangun (rumah) setengah miliar. Habis. Memang sudah ya sudah, mau enggak mau."

Baca juga: Lokalisasi Kramat Tunggak: Dibuat Ali Sadikin, Diruntuhkan Sutiyoso

Di bantaran Ciliwung, Eni juga hidup berkecukupan, meski dapur dan kamar mandinya yang berdiri di atas aliran sungai, kerap lenyap disapu Ciliwung yang meluap. Risiko tinggal di bantaran sungai, katanya.

Eni menikah dengan suaminya pada 2007. Pernikahan dihelat dekat rumah. Pernikahan yang sangat berkesan, kenangnya.

Bagaimana tidak berkesan? Besan yang datang jauh-jauh dari Pekalongan disambut oleh banjir yang membenamkan rumah dua lantai di Kampung Melayu dan menenggelamkan Jakarta.

Banjir memang sering menimbulkan kerugian materi. Namun, bagi warga bantaran seperti Eni, banjir tak ubahnya sahabat yang kadang memang pasti membuat kita jengkel.

Eni dan suami berjodoh tatkala keduanya sama-sama kru film. Setelah menikah, tinggal suami yang melanjutkan karier, Eni tinggal di rumah. Di rumah, selagi mengurus anak-anaknya, ia coba tetap berdaya secara finansial. Dan ia berhasil.

Baca juga: Kontroversi Pajak Judi Ali Sadikin dan Manfaatnya bagi Pembangunan Kota

Di bantaran Ciliwung, Eni membuka warung kelontong. Keuntungan yang ditabung dari hasil dagang itu kemudian disulap sebagai modal untuk memperluas lini bisnis: buka rental PlayStation (PS)!

"Kalau sudah 'tahu' dagang, tutup sehari itu sayang rasanya. Pas zaman jaya-jayanya PS, itu sehari tinggal menghitung saja. Ha-ha-ha," ungkapnya sambil tergelak.

"Buka rental PS satu bulan sudah balik modal saya. Beneran itu. Padahal saya beli PS 2, terus tambah dua lagi," imbuhnya.

"Kalau di sini (rusun) mah enggak tahu deh."

Rusun bak sangkar emas

Anak-anak bermain dengan riang di RPTRA Rusun Pulogebang, Jakarta Timur, Jumat (18/6/2021).KOMPAS.com / VITORIO MANTALEAN Anak-anak bermain dengan riang di RPTRA Rusun Pulogebang, Jakarta Timur, Jumat (18/6/2021).
Rusun yang mereka tempati saat ini, mereka akui, memang nyaman untuk tinggal. Terlebih bagi Ayu yang anaknya baru berumur lima tahun.

Rusun lebih ramah bagi perkembangan si bocah karena dia tak perlu tumbuh dan bermain di Kalijodo yang "gelap".

Namun, bagi ibu rumah tangga yang telah terbiasa berdaya secara finansial seperti Ayu dan Eni, rusun laiknya sangkar emas.

"Waktu dipindah ke sini sebenarnya ada niat mau dagang lagi, buka warung, tapi tiga bulan saya lihat di sini, kok, sepi banget," tutur Eni.

"Di sini jualan enggak jalan. Yang mau beli siapa?" timpal Ayu.

Pengelola rusun disebut sempat memperbolehkan warga rusun, yang mayoritas pilih berjualan makanan, berdagang dekat gerbang depan. Kala itu, pembeli cukup banyak karena sejumlah warga luar rusun juga ikut membeli.

Baca juga: Revitalisasi Monas ala Anies, Saat Pohon Rindang Berganti Jadi Lantai Beton nan Gersang

Namun, belakangan, pengelola justru menyiapkan kios baru di area belakang rusun. Akibatnya mudah ditebak: sepi pembeli. Satu per satu pedagang gulung tikar.

Walau demikian, tersisa beberapa warung di Rusun Pulogebang yang masih bertahan.

"Di sini mah kuat-kuatan nunggu warung saja, yang beli paling bisa dihitung. Kalau udah enggak sabar kan, ya sudah, tutup saja, orang enggak ada yang beli. Menunggu (pembeli) kan jenuh," ungkap Eni.

"Masih ada sebagian daganganku di sini, tas masih ada, bantal jeruk. Baju yang seksi-seksi masih ada, tadinya kan untuk dijual ke anak-anak kerja (PSK di Kalijodo), saya buat lap di dapur, Mas. Baru tak bongkar kemarin, he-he-he," kata Ayu, mengaku bahwa sebagian stok dagangannya terpaksa ia jual murah.

Daya beli Ayu memang terjun bebas setelah penggusuran. Waktu dan biaya yang diperlukan baginya belanja modal pakaian terlalu besar jika dihitung dengan pemasukan yang sudah berkurang dan jarak yang jauh ke Pasar Tanah Abang.

Baca juga: Kontroversi Anies-Sandiaga, Tutup Jalan Jatibaru demi PKL Tanah Abang

Keadaan ini juga dialami bekas tetangganya, sesama warga relokasi Kalijodo, yang pilih berdagang lagi di eks kediaman mereka yang kini sudah menjelma RPTRA.

"Dulu di sana (belanja modal) kredit satu bulan, di sini (harus jatuh) tempo 10 bulan. Beli bedcover saja Rp 750.000 di sana sebulan lunas, di sini harus 10 bulan. Modalnya kalau enggak dobel-dobel ya enggak jalan," ucap Ayu, yang suaminya kini bekerja sebagai PJLP, petugas keamanan di Rusun Pulogebang.

"Di sini nyari Rp 50.000 saja susah," lanjutnya.

Selain pemasukan menciut, biaya hidup di rusun, menurut mereka, membengkak.

Konsumsi air yang disubsidi pemerintah disebut hanya sampai 10 kubik per bulan. Ongkos sewa rusun mencapai Rp 200.000-Rp 300.000 sebulan, yang jika ditunggak berbulan-bulan, bakal berujung denda berbunga. Baik Ayu dan Eni mengaku tak pernah menunggak.

"Di sana (rumah lama), Rp 100.000 bisa untuk 3-4 hari, di sini Rp 60.000 sehari. Hitungannya di sana beras punya, bumbu punya. Di sini belum sama beras," kata Eni dan Ayu bersahutan.

"(Enak tinggal di mana) ya ketahuan dari kita belanja sayur."

Lalu, apakah tidak ada kabar baik sama sekali di rusun?

Rusun Pulogebang, Jakarta TimurKOMPAS.com / VITORIO MANTALEAN Rusun Pulogebang, Jakarta Timur
Sebagai penghuni rusun, mereka diberi akses bus transjakarta gratis. Ada klinik di Rusun Pulogebang, walau kadang-kadang tidak buka saat dibutuhkan. Ada pula TK dan PAUD swasta. Pihak swasta kerap menggelar pelatihan dan bazar di sini.

"Enaknya ya enggak ngerasain banjir, enggak ketar-ketir kalau subuh waktu Katulampa udah tinggi. Baiknya ya itu saja. Kalau perekonomian, ya enggak," sebut Eni.

Pemprov DKI Jakarta juga punya program yang dianggap lumayan meringankan beban belanja sembako bagi para penghuni rusun, yakni program pangan murah.

Program itu terjadwal dengan baik saban bulan. Mutu produknya, mulai dari beras, susu, telur, hingga ikan dan daging sapi, juga cukup bagus.

Untuk mendapatkan item-item itu, warga rusun tetap harus merogoh kocek, tetapi harganya lebih murah.

Baca juga: Ulang Tahun Ke-494 Jakarta dan Kontroversi Para Gubernurnya

Sayang, program itu kini libur karena dikhawatirkan warga jadi berkerumun saat pandemi Covid-19.

Eni dan Ayu menyayangkan, pangan murah malah diganti dengan bansos sembako, lalu diganti lagi dengan bansos tunai yang tak jelas kapan cairnya.

Meskipun demikian, ketika Kompas.com bertanya mana yang lebih menguntungkan, belanja pangan murah di rusun atau belanja pangan sendiri di tempat tinggal dulu sebelum kena gusur, Ayu dan Eni menjawab kompak.

"Ya mending di sono," jawab mereka berdua.

Mengais sisa-sisa asa dari batik tulis

Kain-kain batik tulis yang telah diwarnai dijemur tanpa boleh menghadap sinar matahari langsung. Kain-kain batik ini dilukis oleh ibu-ibu warga Rusun Pulogebang, Jakarta Timur.KOMPAS.com / VITORIO MANTALEAN Kain-kain batik tulis yang telah diwarnai dijemur tanpa boleh menghadap sinar matahari langsung. Kain-kain batik ini dilukis oleh ibu-ibu warga Rusun Pulogebang, Jakarta Timur.

Apa pun kejayaan itu, masa depan harus ditata kembali. Eni dan Ayu sudah berdamai dengan kenyataan, meski kenangan indah tetap terasa nikmat bila diingat-ingat kembali.

Sejak pindah ke Rusun Pulogebang, waktu terasa memuai karena minim kesibukan.

Untuk mengisinya, mereka lakukan hal lain, semisal ikut senam bersama ibu-ibu lain di lapangan setiap Jumat. Sayang, pandemi melanda dan kegiatan itu buyar.

Tatkala datang kesempatan lewat pelatihan macam-macam, dari menjahit, tenun, sulam, hingga tata rias, Eni atau Ayu kerap mencoba peruntungan.

Akan tetapi, dari sederet pelatihan yang pernah digelar di Rusun Pulogebang, hanya membatik yang bertahan sampai sekarang dan benar-benar bermanfaat.

Pelatihan-pelatihan lain hanya cukup mengusir jenuh tanpa pernah berguna secara konkret. Ilmu hasil pelatihan menguap karena tak pernah dipakai; latihan jahit dan sulam tanpa pernah ada pesanan.

Baca juga: Alasan 22 Juni Ditetapkan sebagai Hari Jadi Jakarta

Lain dengan membatik. Sejak 2018, pesanan datang terus. Belasan ibu-ibu yang berminat, termasuk Ayu dan Eni, sampai sekarang jadi tenaga binaan untuk membuat kreasi batik yang dipesan oleh Jkt Creative.

Batik yang diproduksi bukan sembarang batik, melainkan batik tulis yang membuatnya menuntut kesabaran dan ketelitian tinggi.

Pesanan yang hendak dijadikan batik kerapkali berwujud kain selebar dua meter persegi, tetapi tak jarang pula berupa masker, tempat sendok, atau aksesoris lain.

"Tapi mendingan kerjain kain dua meter, Mas, lebih semangat. Capeknya sekalian, hasilnya ketahuan, duitnya juga ketahuan, Mas," ujar Ayu sambil terbahak.

"Kalau kayak masker gini, palingan (gajinya) bisa buat beli mi ayam seorang. Kalau yang dua meter bisa buat beli mi ayam 10 orang lebih," timpal Eni, juga tertawa.

Ketua Komunitas Batik Rusun Pulogebang Adelina (47) menyampaikan bahwa sekali melukis kain berukuran besar dengan motif satu warna, masing-masing ibu dibayar Rp 300.000.

Bila motifnya dua warna, ongkos kerja bisa mencapai Rp 600.000 per orang per kain, semakin mahal karena proses pengerjaan kian rumit dan makan waktu.

Sekali pengerjaan, waktu yang dibutuhkan bisa sekitar sepekan.

Mereka harus melukis motif dengan canting dan mencari perpaduan warna yang tepat dengan sederet eksperimen.

Baca juga: Mengapa 22 Juni Ditetapkan Sebagai HUT Jakarta?

Kabar baiknya, seluruh modal, mulai dari kain, canting, sampai warna dan desain, sudah disediakan Jkt Creative.

Ayu, Eni, Adel, dan kolega lain tinggal melukis batik-batik itu sesuai pesanan dan mereka dibayar atas kerja tersebut.

"Kalau waktu Tahun Baru ada 35 kain, satu orang bisa tujuh kain. Lumayanlah buat ibu-ibu tambahin susu anaknya," ujar Adel, Kamis (17/6/2021).

Mulanya, banyak ibu yang bergabung dalam komunitas batik ini. Namun, kini tersisa tinggal sekitar 10 orang yang masih aktif mengerjakan pesanan yang datang.

Adel menceritakan, perkumpulan ibu-ibu pembatik ini sudah terbentuk cukup lama, dari pelatihan ke pelatihan, hingga datangnya ajakan kerja sama dari suatu koperasi dari Bekasi.

"Dia ngajarin di sini, tapi enggak jalan. Paling cuma berapa bulan jalan, kita dimanfaatkan sama mereka. Cuma dijanji-janjikan ada order, tenang, gitu saja. Dia kemudian ada order, lalu mengatasnamakan ibu-ibu rusun, tapi yang mengerjakan sebetulnya bukan kita ibu-ibu rusun, jadi kita hanya dimanfaatkan namanya doang," tuturnya.

Selanjutnya, pernah ada kerja sama dengan Dekranasda. Ibu-ibu pembatik Rusun Pulogebang bertugas melukis batik, lalu pewarnaannya dikerjakan oleh ibu-ibu pembatik Rusun Marunda.

"Tapi itu cuma berapa bulan saja. Orang Pulogebang agak kecewa juga. Kita agak banyak waktu itu. Waktu sudah dicanting, habis itu enggak nongol-nongol lagi. Enggak ada kabar," kata Adel.

Situasi ini membuat sebagian pembatik di Rusun Pulogebang trauma.

Baca juga: Kado Ulang Tahun Ke-494 Jakarta, Lonjakan Covid-19 hingga RS Terancam Kolaps

Baru kemudian datang Iwet Ramadhan, pengusaha sekaligus eks penyiar radio, dengan Jkt Creative-nya, menawarkan kerja sama dengan mereka.

Sejumlah merek kenamaan, seperti Shopee dan Pigeon, rutin memesan batik melalui Jkt Creative yang kemudian dilukis oleh ibu-ibu Rusun Pulogebang hingga sekarang.

"Tapi sejak pandemi agak berkurang (pesanannya)," kata Adel.

Eni dan Ayu mengatakan, jika boleh memilih, mereka akan memilih mencari nafkah dengan usaha yang mereka lakoni di rumah lama.

Walaupun bayaran sebagai pembatik di Rusun Pulogebang dirasa lumayan, tetapi mereka tidak dapat mengendalikan kapan pesanan akan datang, yang berarti kapan mereka bisa mengantongi uang.

Pun, kalau ditotal-total, pendapatan sebagai pembatik di rusun juga masih belum ada apa-apanya ketimbang penghasilan mereka dulu.

Baca juga: Covid-19 Kian Menggila, Apa Alasan Pemerintah Belum Ambil Opsi Lockdown Jakarta?

Tetapi, lagi-lagi, segala kejayaan tadi adalah masa silam. Hari ini, Ayu dan Eni adalah pelukis batik yang sudah mewakafkan waktunya untuk menelurkan ratusan lembar karya yang indah.

Ayu bercerita, kain batik tulis yang mereka lukis sudah diboyong sampai ke Jepang. Pernah juga mereka lembur membuat kain batik untuk instalasi raksasa di Mal Central Park pada tahun lalu.

"Waktu tahu sudah dibawa ke Jepang, saya bilang dalam hati, jauh amat, ya. Saya saja belum ke Jepang," ucap Ayu.

Ada rasa bangga yang tergurat di wajahnya ketika menceritakan hal itu.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Buntut Pungli Sekelompok Orang, Dinas Bina Marga DKI Tutup Celah Trotoar Dekat Gedung DPR

Buntut Pungli Sekelompok Orang, Dinas Bina Marga DKI Tutup Celah Trotoar Dekat Gedung DPR

Megapolitan
Warga Bogor Tertipu Penjual Mobil Bekas di Bekasi, padahal Sudah Bayar Lunas

Warga Bogor Tertipu Penjual Mobil Bekas di Bekasi, padahal Sudah Bayar Lunas

Megapolitan
Gandeng Swasta, Pemprov DKI Renovasi 10 Rumah Tak Layak Huni di Kamal Muara

Gandeng Swasta, Pemprov DKI Renovasi 10 Rumah Tak Layak Huni di Kamal Muara

Megapolitan
Singgung 'Legal Standing' MAKI, Polda Metro Jaya Sebut SKT sebagai LSM Sudah Tak Berlaku

Singgung "Legal Standing" MAKI, Polda Metro Jaya Sebut SKT sebagai LSM Sudah Tak Berlaku

Megapolitan
Penyidikan Aiman Witjaksono Dihentikan, Polisi: Gugur karena Tak Berkekuatan Hukum

Penyidikan Aiman Witjaksono Dihentikan, Polisi: Gugur karena Tak Berkekuatan Hukum

Megapolitan
Belum Tahan Firli Bahuri, Kapolda Metro Terapkan Prinsip Kehati-hatian

Belum Tahan Firli Bahuri, Kapolda Metro Terapkan Prinsip Kehati-hatian

Megapolitan
Dishub DKI Jaga Trotoar di Jakpus yang Dimanfaatkan Sekelompok Orang Tarik Bayaran Pengendara Motor

Dishub DKI Jaga Trotoar di Jakpus yang Dimanfaatkan Sekelompok Orang Tarik Bayaran Pengendara Motor

Megapolitan
Oknum Anggota TNI Pengeroyok Warga Sipil di Depan Polres Jakpus Bukan Personel Kodam Jaya

Oknum Anggota TNI Pengeroyok Warga Sipil di Depan Polres Jakpus Bukan Personel Kodam Jaya

Megapolitan
Polisi: Sopir Truk Ugal-ugalan di GT Halim Bicara Melantur

Polisi: Sopir Truk Ugal-ugalan di GT Halim Bicara Melantur

Megapolitan
Kronologi 4 Warga Sipil Dianiaya Oknum TNI di Depan Mapolres Jakpus, Bermula Pemalakan Ibu Tentara

Kronologi 4 Warga Sipil Dianiaya Oknum TNI di Depan Mapolres Jakpus, Bermula Pemalakan Ibu Tentara

Megapolitan
Polisi Amankan 4 Remaja yang Bawa Senjata Tajam Sambil Bonceng 4 di Bogor

Polisi Amankan 4 Remaja yang Bawa Senjata Tajam Sambil Bonceng 4 di Bogor

Megapolitan
Wacana Sekolah Gratis, Emak-emak di Pasar Minggu Khawatir KJP Dihapus

Wacana Sekolah Gratis, Emak-emak di Pasar Minggu Khawatir KJP Dihapus

Megapolitan
Pemprov DKI Bakal Libatkan BRIN dalam Pengembangan 'Food Estate' di Kepulauan Seribu

Pemprov DKI Bakal Libatkan BRIN dalam Pengembangan "Food Estate" di Kepulauan Seribu

Megapolitan
Mengenang 9 Tahun Kematian Akseyna, Mahasiswa UI Berkumpul dengan Pakaian Serba Hitam

Mengenang 9 Tahun Kematian Akseyna, Mahasiswa UI Berkumpul dengan Pakaian Serba Hitam

Megapolitan
Pengeroyokan Warga oleh Oknum TNI di Depan Polres Jakpus Mencekam, Warga Ketakutan

Pengeroyokan Warga oleh Oknum TNI di Depan Polres Jakpus Mencekam, Warga Ketakutan

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com