Setelah resmi diujicobakan, Transjakarta juga tak luput dari kritik berbagai pihak.
Harian Kompas edisi 15 Desember 2003 memberitakan, saat masa uji coba Jalan Sudirman macet.
Sejumlah bus Transjakarta rupanya berhenti di jalur khusus di depan halte Dukuh Atas.
Pengamat perkotaan Yayat Supriatna mengatakan, situasi itu mengindikasikan kegagalan program Transjakarta.
Selain itu, kehadiran Transjakarta disebut akan meminggirkan sopir-sopir bus lain dan itu akan berdampak sosial luas.
Anggota DPRD DKI Jakarta kala itu, Tjuk Sudono, juga mengkritik proyek Transjakarta.
Dia mengatakan, angkutan umum yang diharapkan dapat mengatasi kemacetan di Ibu Kota itu menelan biaya begitu besar, yakni sebesar Rp 86,25 miliar.
Harian Kompas terbitan 30 Desember 2003 memberitakan kecaman dari lembaga swadaya masyarakat (LSM) Jakarta Development Watch (Jadewa).
Baca juga: Usulan Revisi Tarif Parkir di Jakarta: Mobil Maksimal Rp 60.000 Per Jam, Motor Rp 18.000
LSM itu mengkritisi dana pembangunan berbagai prasarana penunjang Transjakarta yang diduga mudah diselewengkan.
Dana prasarana penunjang Transjakarta itu antara lain, halte Rp 5 miliar, pembangunan pembatas jalan (separator) Rp 2,7 miliar, marka dan tanda jalan Rp 4 miliar, dan pembangunan rambu Rp 300 juta.
Kritik juga datang dari para pengguna kendaraan pribadi dan sopir bus kota atau mikrolet.
Pada hari peluncuran Transjakarta itu, misalnya, lalu lintas di hampir seluruh ruas jalan di Jakarta macet.
Kemacetan membuat pengemudi mobil pribadi dan bus kota serta mikrolet kesal. Suara klakson yang bersahut-sahutan terdengar hampir di sepanjang jalan.
Saling mengumpat di antara sesama sopir pun berkali-kali terdengar.
Namun, Sutiyoso berprinsip the show must go on. Tak ada yang boleh membatalkan operasi Transjakarta.