JAKARTA, KOMPAS.com - Hidup segan, mati tak mau. Begitulah kondisi sebuah bangunan yang terletak di RW 007, Kelurahan Rawajati, Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan.
Bangunan itu sebenarnya memiliki tinggi 2,5 meter. Namun, lumpur kering setebal hampir setengah meter menutupi seluruh ubin sehingga bangunan seolah perlahan ditelan bumi.
Dari luar, tembok tampak tidak dilapisi apa pun. Batu bata telanjang yang semestinya berwarna oranye berubah kecokelatan. Sebagian malah berwarna hijau karena tertutup lumut.
Di tengah tembok, terdapat jendela kayu yang tertutup rapat. Di atasnya terpasang teralis berbahan sama.
Kondisinya tak kalah memprihatinkan. Warna cokelatnya sudah kusam.
“Rumah itu sudah ditinggal sama orangnya. Sudah capek dia kebanjiran terus,” tutur Maksum (61) saat Kompas.com menyambangi kawasan itu, Senin (14/6/2021).
Rumah yang terbengkalai itu terletak di depan rumah Maksum.
Maksum tinggal di Rawajati sejak tahun 1985, sedangkan banjir di Rawajati sudah berlangsung jauh sebelum ia merantau ke sana.
Letak tempat tinggal Maksum hanya berjarak beberapa meter dari bibir sungai, tanpa penghalang. Tak heran ia menjadi salah satu korban banjir selama berpuluh tahun.
Banjir menjadi bagian dari rutinitas kehidupan.
Meski sudah terbiasa, rutinitas itu cukup menjengkelkan. Bagaimana tidak, air bah yang datang setiap tahunnya merusak tempat ia dan keluarga berteduh.
Baca juga: Air Kali Ciliwung Meluap, Permukiman Warga di Kebon Pala Banjir
Sepengalamannya, banjir paling parah yang ia pernah rasakan adalah tahun 2007. Tinggi air di daerah permukimannya kala itu mencapai sembilan meter.
Malang, ia tak sempat memindahkan perabotan di lantai satu rumahnya.
“Habis barang-barang semua keangkut air,” kenang Maksum.
Berkaca pada pengalaman itu, Maksum jadi enggan memiliki perabotan.