JAKARTA, KOMPAS.com - Bajaj, bagi sebagian masyarakat Jakarta mungkin bukan sekadar transportasi umum, melainkan salah satu ciri khas dan identitas Ibu Kota.
Meski memiliki penggemarnya sendiri dan keberadaannya tetap dipertahankan, bajaj telah melalui berbagai krisis identitas sebagai transportasi umum di Jakarta.
Salah satu sejarah krisis identitas itu dimulai ketika ruang gerak bajaj dibatasi melalui kebijakan rayonisasi di era kepemimpinan Gubernur Wiyogo Admodarminto pada 1990.
Seperti dikutip dari Harian KOMPAS yang terbit pada 31 Januari 1990, ruang gerak bajaj mulai dibatasi mulai 27 Februari di tahun yang sama. Sebelum aturan ini tercuat, kendaraan bajaj kerap kali melintas di berbagai sudut ibukota termasuk di jalan-jalan protokol hingga jalan permukiman.
Baca juga: Dinilai Aman, Pengamat Transportasi Usulkan Bajaj Pengganti Ojol
Saat itu baru saja muncul kebijakan penghapusan becak sebagai angkutan massal. Sebagai gantinya, bajaj diharapkan dapat mengganti peran becak.
"Untuk memenuhi kebutuhan angkutan pengganti becak, Pemda DKI antara lain mengadakan rayonisasi 14.632 bajaj di samping 1.750 bemo dan penambahan 600 mikrolet. Jumlah itu belum bisa menggantikan sekitar 30 ribu becak yang selama ini berkeliaran di wilayah Jakarta," kata Kepala LLAJR DKI Jakarta saat itu, OI Godjali.
Saat itu, bajaj menggantikan becak yang dianggap memiliki kelemahan dalam faktor keselamatan penumpang. Operasi bajaj kemudian dialihkan dari jalan-jalan ekonomi dan protokol, ke jalan-jalan lingkungan di permukiman.
Protes sopir bajaj
Meski ladang nafkah terlihat lebih terbuka bagi sopir bajaj dibandingkan becak dan ojek, nyatanya pernyataan berkeberatan diluapkan sejumlah sopir bajaj melalui aksi massa.
Alasannya, rayonasi bajaj justru mempersempit ruang gerak bajaj karena bajaj hanya diperbolehkan melewati rute-rute teetentu sesuai dengan rute logo, seperti penentuan rute pada mikrolet dan bus.
Baca juga: Bajaj, Angkutan Alternatif Pengganti Ojek Daring
Dikutip dari Harian KOMPAS yang terbit pada 27 Februari 1990, pagi itu pukul 07.30 WIB, sopir bajaj berkumpul memenuhi kawasan Monas. Jumlah mereka terus membengkak, sedikitnya 3.000 sopir bajaj terkonsentrasi di sebelah tenggara Tugu Monas dekat Stasiun Gambir.
Menariknya, tidak semua sopir bajaj tahu adanya aksi tersebut untuk datang secara sukarela ke kawasan Monas. Sisanya hanya diarahkan oleh sesama sopir lainnyalainnya untuk mengikuti aksi.
Dilaporkan, tidak sedikit sopir yang terpaksa menurunkan penumpang di pojok-pojok perempatan jalan karena dipaksa oleh massa aksi.
Dari Monas, massa aksi bergerak ke Balai Kota menuntut kepastian soal tuntutan penghapusan rayonisasi bajaj. Setelah berhasil menemui Pemda DKI Jakarta saat itu, sejumlah perwakilan mengumumkan bahwa aturan tersebut akan ditunda.
Baca juga: Komunitas Sopir Minta Pemprov DKI Lebih Memperhatikan Bajaj
Namun, keterangan perwakilan itu tidak memuaskan ratusan pengemudi bajaj. Pada akhirnya, massa membubarkan diri setelah Kasubdis Bina Usaha Angkutan LLAJR DKI Herman Tonglo SH. Herman Tonglo menjelaskan, rayonisasi bajaj tetap akan dilaksanakan, namun secara bertahap.