Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bukan Hanya RS, Puskesmas Juga Bisa Kolaps bila Lonjakan Covid-19 Tak Segera Dikendalikan

Kompas.com - 25/06/2021, 07:28 WIB
Vitorio Mantalean,
Irfan Maullana

Tim Redaksi


DEPOK, KOMPAS.com - Hulu penanganan pandemi Covid-19 di Indonesia, termasuk Jabodetabek, amburadul. Lonjakan demi lonjakan terus terjadi dan semakin gawat. Kurva kasus Covid-19 melonjak vertikal dalam dua pekan terakhir.

Rusaknya hulu penanganan pandemi membuat arus pasien Covid-19 datang begitu deras. Di hilir, fasilitas-fasilitas kesehatan akan ambruk dalam waktu deket karena "banjir bandang" pasien Covid-19.

Rumah-rumah sakit di Jakarta dan kota penyangga telah dinyatakan penuh. Bahkan, overkapasitas. Di Depok, ICU khusus pasien Covid-19 yang jumlahnya 109 unit telah terisi 101,82 persen. Lebih dari 100 persen.

Itu artinya, sebagian pasien Covid-19 bergejala berat yang seharusnya dirawat di ICU, terpaksa dirawat di ruangan lain.

Baca juga: Ketika RS Rujukan Covid-19 di Jabodetabek Kolaps dan Banyak Pasien Telantar

Jumlah pasien Covid-19 di Depok sudah mencapai rekor baru sejak tiga hari lalu dan tampak masih akan terus mencapai rekor-rekor berikutnya.

"Sekarang, di IGD ada 24 pasien stagnan, tidak bisa naik ke ruangan rawat inap atau ICU dan HCU karena penuh. Ada beberapa yang harus menunggu sambil duduk karena ranjang IGD pun penuh," jelas Riki, salah seorang tenaga kesehatan di RS Universitas Indonesia, Selasa (22/6/2021).

Per sif kerja 7 jam, Riki memperkirakan ada lima pasien Covid-19 yang datang ke rumah sakit tempatnya bekerja.

Kondisi kesehatan para pasien juga sudah jelek, dengan gejala klinis sedang hingga berat. Bahkan, lebih banyak pasien Covid-19 di bawah usia 60 tahun saat ini. Beberapa dari mereka bahkan telah ditolak hingga 10 rumah sakit.

Baca juga: Cerita Dokter di RS UI: Terima Pasien Covid-19 yang Ditolak 10 RS hingga Banyak Rekan Terinfeksi Corona

"Kami kekurangan tenaga. Ini pasien yang datang kebanyakan sudah ditolak RS-RS lain," ujarnya.

"Perawat yang masuk per shift tiga orang, tapi harus pegang sampai 30 pasien. Itu sama sekali tidak ideal," tambah Riki.

Puskesmas terancam kolaps

Selama ini, rumah sakit mendominasi perbincangan soal ancaman kolapsnya sistem kesehatan. Padahal, sistem kesehatan bukan hanya rumah sakit.

Puskesmas justru adalah ujung tombak kesehatan masyarakat, terlebih di masa pandemi Covid-19. Namun, kini Puskesmas juga dalam ancaman.

Pemerintah Kota Depok sudah mengakui bahwa Puskesmas menghadapi beban kerja berlebih di masa-masa sekarang. Sangat berat.

Baca juga: Kasus Covid-19 Melonjak Drastis, Dinkes Depok: Puskesmas Keteteran

"Puskesmas kan memang tenaganya tidak banyak dan juga banyak yang kena, terpapar, kan mereka manusia juga, bisa terpapar (Covid-19)," kata Kepala Dinas Kesehatan Kota Depok, Novarita, kepada Kompas.com, Kamis (24/6/2021).

"Ketika dia terpapar kan ada pengurangan tenaga yang melaksanakan tugas, sedangkan tugasnya semakin meningkat. Jadi memang agak keteteran," jelasnya.

Ia mengungkapkan, tenaga-tenaga yang terbatas di setiap Puskesmas pun harus dibagi lagi untuk menangani poli infeksius, poli noninfeksius, dan mereka yang bertugas melakukan program-program lain, seperti menangani ibu hamil atau mengurus kasus DBD dan hepatitis.

Sementara itu, untuk menangani Covid-19 saja, petugas Puskesmas kini harus semakin banyak melakukan swab antigen dan PCR serta melakukan pelacakan kontak erat (tracing) terhadap warga karena kasus terus melonjak.

Baca juga: Puskesmas Keteteran karena Lonjakan Covid-19, Pemkot Depok Akan Rekrut Relawan

Ditambah lagi, mereka juga mesti mengurusi tetek-bengek vaksinasi yang sedang digencarkan. Mereka juga mesti mencari rumah sakit rujukan bagi pasien bergejala berat padahal rumah sakit penuh di mana-mana.

Belum lagi, mereka harus memantau nasib warga yang isolasi mandiri.

Di Depok, masing-masing tenaga Puskesmas bertanggung jawab memantau puluhan hingga ratusan warga positif Covid-19 di satu kelurahan atau beberapa RW sekaligus. Sebab, baru ada 38 Puskesmas untuk 63 kelurahan se-Kota Depok.

Di tengah lonjakan kasus Covid-19 yang dahsyat ini, jumlah pasien yang harus dipantau tidak main-main. Per kelurahan, rata-rata ada sekitar 50 pasien yang harus dipantau.

Jumlah warga yang harus dipantau dalam isolasi mandiri juga semakin banyak, sedangkan tenaga puskesmas justru tak bertambah, atau malah mungkin berkurang karena ada yang positif Covid-19.

"Banyak sih, keluhan dari masyarakat, 'bu, kok enggak respons, responsnya lambat?'. Ya mereka kan tidak melihat. Mereka melihat dari sisi mereka saja," kata Novarita.

"Yang dipantau banyak. Kadang-kadang ada yang tidak puas juga, 'cuma ditelepon doang, Bu, tidak didatangi?'. Ya, berapa banyak kalau yang mau didatangi? Nelepon saja perlu waktu juga, satu per satu ditanyai bagaimana, dicatat," lanjutnya.

Novarita menambahkan, dalam waktu dekat pihaknya akan merekrut relawan untuk menyokong kerja puskesmas yang semakin berat ini. Anggaran untuk itu sudah dibahas.

Tak pernah serius kendalikan pandemi

Pemerintah masih menghindari karantina wilayah atau PSBB ketat, kendati kebijakan itu efektif mengendalikan penularan untuk sementara, mencegah kolapsnya sistem kesehatan, dan memang diamanatkan oleh Undang-Undang.

Sebagai ganti, pemerintah pilih berimprovisasi dengan kebijakan PPKM Mirko dan menggencarkan vaksinasi, walaupun kekebalan yang diharapkn dari vaksinasi baru akan timbul berbulan-bulan setelahnya.

Pemerintah mengaku kesulitan dana bila harus menerapkan karantina wilayah, kebijakan yang jadi wewenang mereka.

Padahal, mengutip Kontan, Indonesia sudah menggelontorkan Rp 1.000 triliun lebih untuk menangani dampak pandemi, sementara pandemi itu sendiri tak kunjung terkontrol.

Baca juga: Klaim Pemerintah Bisa Kendalikan Pandemi, Pengamat: Cenderung Menghibur Diri

Ahli epidemiologi Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Windhu Purnomo, pun menegaskan, yang dibutuhkan Indonesia saat ini PSBB, bukan PPKM mikro yang disebutnya jelas tidak efektif.

"Jadi yang dilakukan itu, pertama adalah memutus mata rantai di hulu jangan sampai varian-varian baru meluas. Yang sekarang pemerintah tidak mau ambil sikap tegas untuk PSBB, maunya PPKM mikro terus. Padahal, PPKM mikro sudah jelas tidak efektif, ngapain dipertahankan," kata Windhu kepada Kompas.com, Senin (21/6/2021).

Usulan PSBB ketat bukan hanya usulan warganet atau satu-dua ahli, melainkan disarankan oleh lima perhimpunan profesi dokter: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (Papdi), Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif Indonesia (Perdatin), serta Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskuler Indonesia (Perki).

"Jadi menurut saya, sudahlah lupakan herd immunity karena saya sendiri sudah pesimis, apalagi mengingat (kesediaan) vaksin kita berasal dari luar negeri dan varian-varian lebih meluas," ujar Windhu.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Staf Khusus Bupati Kediri Ikut Daftar Bakal Calon Wali Kota Bogor Lewat PDI-P

Staf Khusus Bupati Kediri Ikut Daftar Bakal Calon Wali Kota Bogor Lewat PDI-P

Megapolitan
4 dari 7 Korban Kebakaran Toko Bingkai di Mampang adalah Satu Keluarga

4 dari 7 Korban Kebakaran Toko Bingkai di Mampang adalah Satu Keluarga

Megapolitan
Tangkap Komplotan Pencuri yang Beraksi di Pesanggrahan, Polisi Sita 9 Motor

Tangkap Komplotan Pencuri yang Beraksi di Pesanggrahan, Polisi Sita 9 Motor

Megapolitan
Alami Luka Bakar Hampir 100 Persen, 7 Jenazah Korban Kebakaran 'Saudara Frame' Bisa Diidentifikasi Lewat Gigi

Alami Luka Bakar Hampir 100 Persen, 7 Jenazah Korban Kebakaran "Saudara Frame" Bisa Diidentifikasi Lewat Gigi

Megapolitan
Melawan Saat Ditangkap, Salah Satu Komplotan Pencuri Motor di Pesanggrahan Ditembak Polisi

Melawan Saat Ditangkap, Salah Satu Komplotan Pencuri Motor di Pesanggrahan Ditembak Polisi

Megapolitan
Uang Korban Dipakai 'Trading', Pelaku Dugaan Penipuan Beasiswa S3 ke Filipina Mengaku Siap Dipenjara

Uang Korban Dipakai "Trading", Pelaku Dugaan Penipuan Beasiswa S3 ke Filipina Mengaku Siap Dipenjara

Megapolitan
Siswa SMP yang Gantung Diri di Palmerah Dikenal Aktif Bersosialisasi di Lingkungan Rumah

Siswa SMP yang Gantung Diri di Palmerah Dikenal Aktif Bersosialisasi di Lingkungan Rumah

Megapolitan
Identitas 7 Jenazah Korban Kebakaran Toko Bingkai 'Saudara Frame' Berhasil Diidentifikasi

Identitas 7 Jenazah Korban Kebakaran Toko Bingkai "Saudara Frame" Berhasil Diidentifikasi

Megapolitan
Restorasi Rumah Dinas Gubernur DKI Sebesar Rp 22 Miliar Tak Hanya untuk Perbaikan, tapi Juga Penambahan Fasilitas

Restorasi Rumah Dinas Gubernur DKI Sebesar Rp 22 Miliar Tak Hanya untuk Perbaikan, tapi Juga Penambahan Fasilitas

Megapolitan
Komplotan Pencuri Motor di Pesanggrahan Ditangkap Polisi

Komplotan Pencuri Motor di Pesanggrahan Ditangkap Polisi

Megapolitan
Komisi A DPRD DKI Desak Pemprov DKI Kejar Kewajiban Pengembang di Jakarta soal Fasos Fasum

Komisi A DPRD DKI Desak Pemprov DKI Kejar Kewajiban Pengembang di Jakarta soal Fasos Fasum

Megapolitan
Sekretaris Pribadi Iriana Jokowi Ambil Formulir Calon Wali Kota Bogor Lewat PDIP, tapi Belum Mengembalikan

Sekretaris Pribadi Iriana Jokowi Ambil Formulir Calon Wali Kota Bogor Lewat PDIP, tapi Belum Mengembalikan

Megapolitan
Tak Bisa Lagi Kerja Berat Jadi Alasan Lupi Tetap Setia Menarik Sampan meski Sepi Penumpang

Tak Bisa Lagi Kerja Berat Jadi Alasan Lupi Tetap Setia Menarik Sampan meski Sepi Penumpang

Megapolitan
Teman Siswa yang Gantung Diri di Palmerah Sebut Korban Tak Suka Cerita Masalah Apa Pun

Teman Siswa yang Gantung Diri di Palmerah Sebut Korban Tak Suka Cerita Masalah Apa Pun

Megapolitan
Demo di Depan Kedubes AS, Koalisi Musisi untuk Palestina Serukan Tiga Tuntutan Sebelum Membubarkan Diri

Demo di Depan Kedubes AS, Koalisi Musisi untuk Palestina Serukan Tiga Tuntutan Sebelum Membubarkan Diri

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com