Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jeritan Pegawai Sektor Esensial dan Kritikal yang Tak Bisa WFH dan Celah Aturan PPKM Darurat

Kompas.com - 15/07/2021, 06:56 WIB
Vitorio Mantalean,
Jessi Carina

Tim Redaksi

DEPOK, KOMPAS.com - "Sampai sekarang gue enggak pernah kenal istilah WFH," ucap Gunawan membuka percakapan dengan Kompas.com pada Rabu (14/7/2021).

Gunawan sudah setahun lebih bekerja sebagai sales di sebuah perusahaan multinasional minuman bersoda terkemuka di Jakarta.

Dua kali pemerintah menggaungkan instruksi bekerja dari rumah, yakni pada awal pandemi dan saat ini, Gunawan tak pernah mengetahui rasanya bekerja secara virtual.

Lantaran bergerak di sektor industri makanan-minuman, perusahaan pun mengategorikan diri sebagai perusahaan sektor prioritas.

Baca juga: Ketika Jumlah Relawan Pemulasaraan Tak Sebanding dengan Angka Kematian, Jenazah Pasien Covid-19 Antre ke Liang Lahat

Gunawan jadi harus tetap bekerja seperti biasa, menghampiri outlet-outlet dan memastikan penjualan jalan terus. Setiap hari, ia tetap harus bekerja di lapangan, bertemu dengan banyak orang.

"Gue penginnya ya WFH (work from home, bekerja dari rumah), apalagi kasusnya parah kayak begini. Gue malah belum nemu ada teman gue yang pengin WFO (work from office, kerja dari kantor)," ungkap Gunawan.

"Cuma kan nggak bisa," tututnya.

Situasi pandemi saat ini di Jakarta dan sekitarnya semua sudah tahu. Rumah sakit kolaps, antrean oksigen di mana-mana, pasien isolasi mandiri meninggal dalam sunyi. Jumlah kasus terus-menerus memperbarui rekor.

"Mau bagaimana, gue garda terdepan perusahaan," kata Gunawan seakan mewakili isi hati seluruh sales di perusahaan mana pun.

Baca juga: Pengajuan STRP Pekerja di Jakarta Capai 1,2 Juta, Sebanyak 408.685 Ditolak

Dalam masa PPKM Darurat, pemerintah seakan-akan berlaku tegas dengan menerapkan sistem WFH. Namun, di lapangan, kenyataan kadang tak sejalan dengan peraturan di atas kertas.

Apalagi, peraturan di atas kertasnya juga bermasalah. Pemerintah dinilai terlalu longgar dan tak spesifik mengatur jenis pekerjaan dan perkantoran yang dikecualikan dari kebijakan WFH.

Sektor kritikal, yang diperbolehkan beroperasi dengan 100 persen pegawai di kantor, sangat banyak.

Ada sektor energi, kesehatan, keamanan, logistik dan transportasi, industri makanan dan minuman serta penunjangnya, petrokimia, semen, objek vital nasional, penanganan bencana, proyek strategis nasional, konstruksi, utilitas dasar (listrik dan air), serta industri pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat.

"Nah, yang menjadi masalah, sektor esensialnya itu juga banyak banget," kata epidemiolog Griffth University Australia, Dicky Budiman, saat dihubungi Kompas.com, Kamis (1/7/2021).

Perusahaan minuman bersoda tempat Gunawan bekerja jadi contoh bagaimana perusahaan memanfaatkan celah peraturan itu.

Apakah produk minuman bersoda dapat dikategorikan sebagai sektor kritikal untuk memenuhi kebutuhan pokok warga?

Baca juga: Potret Nyata Covid-19 Tak Terkendali di Jakarta: RS Kolaps, Antrean Pasien Terus Bertambah

Tak difasilitasi kantor

Celah peraturan soal Instruksi WFH bukan cuma soal kategori sektor esensial dan kritikal yang terlalu luas, melainkan juga soal jenis pekerjaan yang tak diatur agar dilakukan secara jarak jauh padahal memungkinkan.

Situasi setali tiga uang dialami oleh Bunga, pegawai di suatu agensi telemarketing. Agensi tersebut kini menjalani kerja sama dengan pemerintah. Bunga bekerja sebagai operator call-center salah satu program pemerintah itu.

"Gue seharusnya bisa WFH, tapi WFH diprioritaskan untuk yang sakit dan punya hasil swab positif Covid-19. Jadi selama lo kelihatan enggak ada batuk, apalagi sudah vaksin, ya dianggap sehat dan mampu WFO," kata Bunga sambil tertawa.

Bunga warga Tangerang Selatan, sementara kantornya beralamat di Ibukota. Ia bercerita, sejumlah koleganya juga tinggal di luar Jakarta.

Keadaan serbasulit sebab jalan-jalan protokol telah disekat oleh aparat, sehingga ia dan kawan-kawan mesti mencari jalan-jalan tikus. Untuk menggunakan angkutan umum pun ada rasa was-was.

"Jam operasional kerja kami tetap 9 jam. Pulang malam jam 20.00 tuh ga keburu," kata dia.

Bunga merasa, sebetulnya kantor bisa saja bekerja dari rumah karena bertugas sebagai operator call-center. Zaman serbadigital tentu memungkinkan pekerjaan ini diakses dari mana saja, termasuk dari rumah.

Namun, kantor disebutnya tak berkenan memodali beberapa perlengkapan yang diperlukan untuk membantu pekerjaan itu, dimulai dari sesederhana laptop.

"Lebih seramnya lagi, misal ada si A flu, begitu tes antigen dan PCR hasilnya positif. Kita yang habis kontak fisik tetap saja harus masuk karena antigen kita negatif, padahal kan bisa jadi OTG. Dan beberapa kali terjadi, hari ini masuk, kerja biasa, lalu drop dan pas antigen ulang ternyata positif," tutur Bunga.

"Satu lantai itu ada beberapa ruangan. Ruangan gue sendiri yang positif udah hampir 10 orang, gila, dan disemprot disinfektan cuma 2 kali," lanjutnya.

Pegawai sektor prioritas juga merasa ngeri

Lain lagi dengan Alex, pegawai perusahaan multinasional raksasa kelapa sawit yang kini juga merambah industri agribisnis. Perusahaan tersebut kebetulan juga menjual sejumlah produk sembako kelas premium.

Baca juga: RS di Jabodetabek Penuh, Anggota DPR hingga Bupati Bekasi Meninggal Setelah Tak Dapat Ruang ICU

Alex tetap harus ke kantor. Padahal, ia tak terlibat dalam urusan produksi. Ia mesti mengurus dokumen-dokumen legal perkantoran yang harus dikebut demi mengejar perizinan Undang-Undang Cipta Kerja.

"Perusahaan pakai acuan pergub yang sektor kritikal karena ada produk sembako," lanjutnya.

"Perusahaan harus menyelesaikan segala macam permasalahan terkait perizinan selama 3 tahun. Mau tidak mau kudu masuk terus karena data legalitas tidak boleh dibawa pulang," aku Alex.

Dengan situasi seperti sekarang, tak jarang ia mencurigai dirinya telah terpapar Covid-19 dan melakukan tes antigen. Namun, untuk urusan-urusan seperti itu, ia harus merogoh kocek pribadi.

Kantornya hanya akan mengongkosi biaya tes apabila ia tertular Covid-19 di kantor dari kolega sekantor.

"Ngeri banget, lah," kata dia.

"Apalagi zaman-zaman varian Delta begini. Orang sekitar pada bertumbangan. Hari-hari di medsos dikit-dikit orang cari informasi tabung oksigen atau donor plasma konvalesen. Tapi risiko kerjaan mau tidak mau ya masuk," kata Alex.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Ketua DPRD Sebut Masih Ada Kawasan Kumuh Dekat Istana, Pemprov DKI: Lihat Saja di Google...

Ketua DPRD Sebut Masih Ada Kawasan Kumuh Dekat Istana, Pemprov DKI: Lihat Saja di Google...

Megapolitan
Mobil Rubicon Mario Dandy Dilelang Mulai dari Rp 809 Juta, Kajari Jaksel: Kondisinya Masih Cukup Baik

Mobil Rubicon Mario Dandy Dilelang Mulai dari Rp 809 Juta, Kajari Jaksel: Kondisinya Masih Cukup Baik

Megapolitan
Sindikat Pencuri di Tambora Berniat Buka Usaha Rental Motor

Sindikat Pencuri di Tambora Berniat Buka Usaha Rental Motor

Megapolitan
PDI-P DKI Mulai Jaring Nama Bacagub DKI, Kader Internal Jadi Prioritas

PDI-P DKI Mulai Jaring Nama Bacagub DKI, Kader Internal Jadi Prioritas

Megapolitan
PDI-P Umumkan Nama Bacagub DKI yang Diusung pada Mei 2024

PDI-P Umumkan Nama Bacagub DKI yang Diusung pada Mei 2024

Megapolitan
Keluarga Tak Tahu RR Tewas di Tangan 'Pelanggannya' dan Dibuang ke Sungai di Bekasi

Keluarga Tak Tahu RR Tewas di Tangan "Pelanggannya" dan Dibuang ke Sungai di Bekasi

Megapolitan
KPU Jaktim Buka Pendaftarab PPK dan PPS untuk Pilkada 2024, Ini Syarat dan Jadwal Seleksinya

KPU Jaktim Buka Pendaftarab PPK dan PPS untuk Pilkada 2024, Ini Syarat dan Jadwal Seleksinya

Megapolitan
NIK-nya Terancam Dinonaktifkan, 200-an Warga di Kelurahan Pasar Manggis Melapor

NIK-nya Terancam Dinonaktifkan, 200-an Warga di Kelurahan Pasar Manggis Melapor

Megapolitan
Pembunuh Wanita 'Open BO' di Pulau Pari Dikenal Sopan oleh Warga

Pembunuh Wanita "Open BO" di Pulau Pari Dikenal Sopan oleh Warga

Megapolitan
Pengamat: Tak Ada Perkembangan yang Fenomenal Selama PKS Berkuasa Belasan Tahun di Depok

Pengamat: Tak Ada Perkembangan yang Fenomenal Selama PKS Berkuasa Belasan Tahun di Depok

Megapolitan
“Liquid” Ganja yang Dipakai Chandrika Chika Cs Disebut Modus Baru Konsumsi Narkoba

“Liquid” Ganja yang Dipakai Chandrika Chika Cs Disebut Modus Baru Konsumsi Narkoba

Megapolitan
Chandrika Chika Cs Jalani Asesmen Selama 3,5 Jam di BNN Jaksel

Chandrika Chika Cs Jalani Asesmen Selama 3,5 Jam di BNN Jaksel

Megapolitan
DPRD dan Pemprov DKI Rapat Soal Anggaran di Puncak, Prasetyo: Kalau di Jakarta Sering Ilang-ilangan

DPRD dan Pemprov DKI Rapat Soal Anggaran di Puncak, Prasetyo: Kalau di Jakarta Sering Ilang-ilangan

Megapolitan
PDI-P Mulai Jaring Nama Buat Cagub DKI, Kriterianya Telah Ditetapkan

PDI-P Mulai Jaring Nama Buat Cagub DKI, Kriterianya Telah Ditetapkan

Megapolitan
DPRD dan Pemprov DKI Rapat di Puncak, Bahas Soal Kelurahan Dapat Anggaran 5 Persen dari APBD

DPRD dan Pemprov DKI Rapat di Puncak, Bahas Soal Kelurahan Dapat Anggaran 5 Persen dari APBD

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com