JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berencana merevisi Peraturan Daerah (Perda) Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penanggulangan Corona Virus Disease 2019 yang juga dikenal dengan Perda Covid-19.
Dalam draf revisi itu, terdapat pasal tambahan mengenai sanksi pidana, yaitu Pasal 32A dan Pasal 32B.
Selain itu, ada kewenangan yang diberikan kepada Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) yang ada di dalam Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP).
Baca juga: Ini Penjelasan Polisi Soal Satpol PP Bisa Menjadi Penyidik untuk Kasus Pelanggaran Perda Covid-19
Dinilai tidak tepat
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) menilai isi draf revisi Perda Covid-19 tidak tepat.
Pengacara LBH Charlie Albajili mengatakan, isi draf revisi seakan-akan menyalahkan masyarakat secara sepihak sebagai alasan angka penularan Covid-19 di Jakarta naik.
"Urgensinya sudah tidak tepat," Charlie dalam konferensi pers virtual, Minggu (25/7/2021).
Alih-alih memidanakan masyarakat, pemerintah seharusnya lebih transparan terkait data Covid-19.
Baca juga: LBH Jakarta Nilai Draf Revisi Perda Covid-19 DKI Jakarta Bias Kelas
"Keterbukaan informasi dan data. Ini yang sangat penting, karena berbagai kesimpangsiuran soal Covid-19 tidak bisa dilawan dengan pemidanaan," kata Charlie.
"Ini bisa dilawan dengan logika dengan penjelasan baik dan data yang sangat terbuka," imbuhnya.
Sementara itu, anggota Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Ahmad Fauzi menilai, isi draf revisi itu hanya menunjukkan kegagalan pemerintah dalam dalam penegakan protokol kesehatan (prokes).
"Jangan sampai pemerintah karena gagal menegakan prokes, gagal menyadarkan publik, kemudian dijawab dengan memenjarakan rakyat," kata Fauzi.
"Bahkan di tengah kondisi masyarakat yang sedang kewalahan seperti ini," ucap dia.
Bias kelas dan sengsarakan rakyat kecil
Charlie menilai, isi draf revisi Perda Covid-19 bias kelas, sudah seharusnya draf itu dicabut karena tidak akan efektif dan menimbulkan problem baru.