Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bung Karno dan Kisah di Balik Wajah Ramah Pemuda pada Monumen Selamat Datang

Kompas.com - 09/08/2021, 16:10 WIB
Mita Amalia Hapsari,
Jessi Carina

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Di tengah sebuah kolam air mancur, sepasang patung lelaki dan perempuan melambaikan tangan dan memegang bunga dengan wajah ceria.

Raut wajah patung bak menyapa ramah setiap orang yang melintas di sekitar Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta Pusat.

Mahakarya itu bernama Monumen Selamat Datang, digagas oleh Presiden pertama Republik Indonesia Soekarno untuk menyambut peserta Asian Games ke-IV di Jakarta pada 1962.

Soekarno menginginkan agar patung itu menggambarkan keterbukaan bangsa Indonesia, dengan menyambut para olahragawan yang datang dari berbagai negara.

Baca juga: Monumen Selamat Datang, Simbol Keterbukaan Bangsa Indonesia

Konservator dari Pusat Konservasi Cagar Budaya DKI Jakarta Sukardi, dalam berita Kompas.com pada 3 Juli 2018, mengungkapkan bahwa sosok muda-mudi diwujudkan dengan ekspresi gembira dalam menyambut delegasi Asian Games yang datang.

Bunga dalam genggaman menyimbolkan persahabatan para peserta Asian Games saat itu.

Bentuk patung muda-mudi, Bung Karno jadi model

Tugu Selamat Datang di Bundaran Hotel Indonesia (HI), Jakarta Pusat. Foto diambil pada 18 Juli 2019.RYANA ARYADITA UMASUGI Tugu Selamat Datang di Bundaran Hotel Indonesia (HI), Jakarta Pusat. Foto diambil pada 18 Juli 2019.
Sejarawan Universitas Indonesia Bondan Kanumoyoso menilai, Soekarno merupakan sosok yang mengerti betapa menentukannya peran pemuda bagi Indonesia.

Menurut dia, sosok muda-muda di Patung Selamat Datang bukan hanya merepresentasikan peserta Asian Games, melainkan juga kekuatan pemuda Indonesia.

"Bagi Soekarno, pemuda berperan sangat menentukan untuk Indonesia. Anak muda itu representasi dari masyarakat Indonesia, dimulai dari Kebangkitan Nasional, peristiwa Sumpah Pemuda, termasuk yang mendorong proklamasi juga kan anak muda," ujar dia.

Selain itu, dalam proses pembuatannya, Soekarno juga sekaligus menjadi model yang memeragakan patung tersebut.

"Ketika pematung Edhie Sunarso sedang mencari inspirasi, kemudian diberi contoh oleh Soekarno. Gerakan seperti yang diabadikan, tangan yang membentang ke atas," lanjut dia.

Baca juga: Henk Ngantung, Desainer Tugu Selamat Datang di Bundaran HI yang Jadi Gubernur

Edhie yang merupakan mantan tentara perjuangan kemerdekaan RI, saat itu juga berusia 28 tahun. Dia juga seniman yang menghasilkan Monumen Pembebasan Irian Barat dan Monumen Dirgantara.

Selain Edhie, Sukardi mengatakan, sosok lain di balik berdiri tegaknya Monumen Selamat Datang adalah Henk Ngantung, seniman sekaligus Wakil Gubernur DKI Jakarta kala itu. Henk sempat membuatkan pra-desain patung tersebut.

Patung yang kini berdiri kokoh di Bundaran HI itu memiliki berat 5 ton, dengan tinggi kepala sampai kaki 5 meter.

Sementara itu, tinggi seluruhnya sampai ujung tangan 7 meter, dan tinggi penyangga atau voetstuk dudukan yaitu 10 meter. Bahan yang digunakan berasal dari perunggu dengan sistem cor.

Baca juga: Patung Bundaran HI dan Pancoran, Masterpiece yang Ditinggalkan Edhie Soenarso

Cita-cita Jakarta Baru

Di balik simbol keramahan Indonesia kepada masyarakat dunia tersebut, pembangunan Monumen Selamat Datang dipandang lain oleh Bondan.

Bondan memandang, pembangunan Monumen Selamat Datang sekaligus memiliki misi lain, yakni upaya Soekarno untuk menciptakan Jakarta yang baru.

"Saya menafsirkan, Monumen Selamat Datang adalah salah satu proyek upaya Soekarno untuk membentuk ulang Kota Jakarta," ungkap Bondan.

Baginya, dengan membangun berbagai monumen di sejumlah titik, Soekarno saat itu berupaya membuat poros baru Kota Jakarta yang berbeda dari masa kolonial Belanda.

"Saat pemerintahan Belanda, poros Jakarta itu di Kota Tua hingga Harmoni, lalu ke Lapangan Banteng, kemudian ke selatan melalui Jalan Raya Besar Selatan (sekarang Jalan Raya Bogor) yang menyambungkan ke Bogor," ungkap Bondan.

Baca juga: JPO Bundaran HI Dibongkar, Monumen Selamat Datang Kini Terlihat Lebih Jelas

Melalui pembangunan monumen, lanjut dia, Soekarno menggeser poros Jakarta sedikit lebih ke barat.

Titik yang dimaksudnya adalah Monumen Nasional (Monas), Patung Pemuda Membangun di Senayan, Monumen Pembebasan Irian Barat di Lapangan Banteng, dan terakhir Patung Dirgantara di Pancoran.

"Soekarno menempatkan patung di titik yang tidak sembarangan. Titik yang merupakan bagian inti untuk membangun Jakarta yang baru," kata dia.

Dari titik-titik tersebut, muncul jalan utama baru yang dipercaya menjadi poros kehidupan baru Kota Jakarta. Poros itu seperti Jalan Sudirman-Thamrin, Jalan MT Haryono, dan lain-lain.

Meski Soekarno telah membuat berbagai titik poros baru Jakarta melalui monumen-monumen, Bondan menyoroti salah satu monumen yang menjadi saksi kegigihan Soekarno.

"Tapi waktu tidak berpihak kepada Soekarno. Patung terakhir, Dirgantara, belum selesai di momen menjelang lengsernya Soekarno. Hingga akhirnya pembuatannya dilakukan dengan dana pribadinya, dengan menjual mobilnya," ungkap dia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

PDI-P Mulai Jaring Nama Cagub DKI, Ada Ahok, Basuki Hadimuljono hingga Andika Perkasa

PDI-P Mulai Jaring Nama Cagub DKI, Ada Ahok, Basuki Hadimuljono hingga Andika Perkasa

Megapolitan
KTP 8,3 Juta Warga Jakarta Bakal Diganti Bertahap Saat Status DKJ Berlaku

KTP 8,3 Juta Warga Jakarta Bakal Diganti Bertahap Saat Status DKJ Berlaku

Megapolitan
Jasad Perempuan Dalam Koper di Bekasi Alami Luka di Kepala, Hidung dan Bibir

Jasad Perempuan Dalam Koper di Bekasi Alami Luka di Kepala, Hidung dan Bibir

Megapolitan
Dukcapil DKI: Penonaktifan NIK Warga Jakarta Bisa Tekan Angka Golput di Pilkada

Dukcapil DKI: Penonaktifan NIK Warga Jakarta Bisa Tekan Angka Golput di Pilkada

Megapolitan
Polisi: Mayat Dalam Koper di Cikarang Bekasi Seorang Perempuan Paruh Baya Asal Bandung

Polisi: Mayat Dalam Koper di Cikarang Bekasi Seorang Perempuan Paruh Baya Asal Bandung

Megapolitan
Pembunuh Wanita di Pulau Pari Curi Ponsel Korban dan Langsung Kabur ke Sumbar

Pembunuh Wanita di Pulau Pari Curi Ponsel Korban dan Langsung Kabur ke Sumbar

Megapolitan
Keluarga Ajukan Rehabilitasi, Chandrika Chika Cs Jalani Asesmen di BNN Jaksel

Keluarga Ajukan Rehabilitasi, Chandrika Chika Cs Jalani Asesmen di BNN Jaksel

Megapolitan
Warga Duga Ada Praktik Jual Beli Rusunawa Muara Baru Seharga Rp 50 Juta oleh Oknum Pengelola

Warga Duga Ada Praktik Jual Beli Rusunawa Muara Baru Seharga Rp 50 Juta oleh Oknum Pengelola

Megapolitan
Pemprov DKI: Restorasi Rumah Dinas Gubernur Masih Tahap Perencanaan

Pemprov DKI: Restorasi Rumah Dinas Gubernur Masih Tahap Perencanaan

Megapolitan
Harga Bawang Merah Melonjak, Pedagang Keluhkan Pembelinya Berkurang

Harga Bawang Merah Melonjak, Pedagang Keluhkan Pembelinya Berkurang

Megapolitan
NIK Ratusan Ribu Warga Jakarta yang Tinggal di Daerah Lain Terancam Dinonaktifkan

NIK Ratusan Ribu Warga Jakarta yang Tinggal di Daerah Lain Terancam Dinonaktifkan

Megapolitan
Wakil Ketua DPRD Niat Bertarung di Pilkada Kota Bogor: Syahwat Itu Memang Sudah Ada...

Wakil Ketua DPRD Niat Bertarung di Pilkada Kota Bogor: Syahwat Itu Memang Sudah Ada...

Megapolitan
Saksi Sebut Hujan Tak Begitu Deras Saat Petir Sambar 2 Anggota TNI di Cilangkap

Saksi Sebut Hujan Tak Begitu Deras Saat Petir Sambar 2 Anggota TNI di Cilangkap

Megapolitan
PAN Sebut Warga Depok Jenuh dengan PKS, Imam Budi: Bagaimana Landasan Ilmiahnya?

PAN Sebut Warga Depok Jenuh dengan PKS, Imam Budi: Bagaimana Landasan Ilmiahnya?

Megapolitan
Ketika Kajari Jaksel Lelang Rubicon Mario Dandy, Saksi Bisu Kasus Penganiayaan D di Jaksel

Ketika Kajari Jaksel Lelang Rubicon Mario Dandy, Saksi Bisu Kasus Penganiayaan D di Jaksel

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com