JAKARTA, KOMPAS.com - Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria menyebutkan, kini sudah tidak ada lagi RT zona merah di Ibu Kota. Di samping itu, tingkat keterisian tempat tidur isolasi bagi pasien Covid-19 di rumah-rumah sakit diklaim sudah di bawah 20 persen.
Hal itu mempertegas fakta bahwa situasi penularan Covid-19 sudah mereda, jauh lebih baik dibandingkan keadaan mengenaskan saat gelombang kedua menerjang pada Juli lalu.
Situasi tersebut tidak hanya dialami DKI Jakarta, kota-kota penyangga Ibukota sebagai kesatuan wilayah aglomerasi juga mengalami hal serupa.
Baca juga: Satgas: Kita Harus Mulai Antisipasi Lonjakan Kasus Covid-19 Dampak Libur Akhir Tahun
Kota Depok, misalnya, per Rabu (8/9/2021) sudah masuk ke dalam kategori zona kuning alias wilayah risiko rendah penularan Covid-19, hasil perhitungan versi Satgas Covid-19 RI/BNPB.
Hal itu merupakan pencapaian Depok untuk kali pertama dalam 1,5 tahun, setelah terakhir kali masuk kategori zona kuning pada akhir Maret 2020.
Meskipun demikian, warga diminta tidak euforia berlebihan. Laporan kasus baru Covid-19 masih terus ada setiap hari, termasuk korban-korban wafat akibat virus corona ini, meskipun jumlahnya relatif rendah. Potensi lonjakan kasus Covid-19 masih mungkin terjadi lagi.
Peringatan datang dari epiedemiolog Universitas Indonesia, Tri Yunis Miko Wahyono, yang mengingatkan bahwa kasus Covid-19 di Jabodetabek bisa meningkat lagi.
Ia menyinggung dua sebab, yaitu pembatasan yang longgar serta pelacakan kontak erat yang sangat lemah.
Baca juga: Kasus Covid-19 di Jabodetabek Bisa Naik Lagi, Epidemiolog: Tapi Tak Separah Bulan Juli
Soal, pembatasan yang longgar, menurut Miko, hal ini dengan sendirinya akan berakibat pada peningkatan kasus Covid-19 karena interaksi antarwarga ikut meningkat.
"Pastilah akan melonjak lagi," kata Miko ketika dihubungi Kompas.com pada Selasa lalu.
Miko menerangkan bahwa laju penularan wabah (R0) di manapun punya rumus baku, termasuk kecepatan penularan Covid-19.
Hal itu dipengaruhi oleh kombinasi antara probabilitas penularan harian (p=probability) dikalikan dengan jumlah kontak antarwarga (c=contact) dan dikalikan lagi dengan durasi (d=duration).
"Probabilitas penularan memang sekarang sedang menurun, tapi c-nya (kontak antarwarga meningkat, seiring pelonggaran PPKM). Probabilitas penularan turun tapi kalau tingkat kontak antarwarga ditinggikan, ya otomatis akan meningkat lagi kasusnya," ujar dia.
Miko menilai bahwa pemerintah seharusnya tidak melonggarkan PPKM apabila tidak sanggup melakukan tes dan pelacakan kontak erat sesuai standar.
Di Jabodetabek, terlebih di Jakarta, jumlah tes PCR yang dilakukan memang relatif memadai. Akan tetapi, rasio tes dan pelacakan kontak erat amat buruk.
Pemprov DKI Jakarta mengeklaim bahwa rasio tes-lacak mereka di kisaran 1 banding 6-7. Artinya, dari 1 kasus terkonfirmasi positif Covid-19, ada 6-7 kontak erat yang ditindaklanjuti dengan tes PCR.
Bagaimana dengan Bodetabek? Di Depok saja, misalnya, ketika level PPKM diturunkan dari 4 ke 3, data Kementerian Kesehatan menunjukkan bahwa rasio tes lacak hanya membaik dari kisaran 1 banding 1,8 menjadi 1 banding 2,2.
Jangankan Depok, rasio tes-lacak di Jakarta saja terbilang jauh dari cukup.
Hasil survei serologi Fakultas Kesehatan Masyarakat UI beberapa bulan silam menunjukkan, sekitar 90 persen kasus Covid-19 di Ibu Kota tidak terlacak/terdeteksi.
"Pelacakan kontak, untuk 1 kasus, minimal bisa dilacak 10-15," ujar Miko.
" Kalau itu sudah terstandar, baru turun level sesuai temuan kasus yang ditemukan di setiap kabupaten dan kota. Kalau tidak gitu, turun levelnya berdasarkan tes dan lacak yang tidak standar, maka bahaya besar," sebut dia.
Meskipun demikian, Miko memperkirakan bahwa potensi lonjakan kembali kasus Covid-19 dalam beberapa waktu ke depan tidak akan separah Juli lalu, ketika Jabodetabek dan Indonesia mengalami gelombang kedua pandemi yang amat mengenaskan.
"Kalaupun terjadi peningkatan, kita tidak akan mendapatkan lonjakan pada bulan Juli yang paling tinggi. Tidak seperti itu, Juli tidak akan terulang lagi," ujar Miko.
Cakupan vaksinasi Covid-19 dinilai bisa jadi pembeda.
Baca juga: Satgas: Lonjakan Kasus Covid-19 Bulan Ini 2 Kali Lipat Dibandingkan Januari
Sejauh ini, DKI Jakarta sebagai wilayah paling unggul dalam hal laju vaksinasi Covid-19 memang telah melampaui target, tetapi baru untuk dosis pertama.
Sementara itu, wilayah Bodetabek masih berjuang untuk terus mengebut penyuntikan dosis pertama yang progresnya baru di kisaran 40-60 persen.
Idealnya, vaksinasi Covid-19 harus dapat mencakup seluruh orang yang beraktivitas dan bertempat tinggal di Jabodetabek, terlepas dari KTP-nya.
Hal inilah yang membuat vaksinasi belum bisa menjadi pembeda yang signifikan. Belum satu pun wilayah Jabodetabek yang sudah memenuhi target vaksinasi Covid-19 dosis lengkap.
Dengan laju vaksinasi Covid-19 yang sudah dikerjakannya saat ini, Miko memperkirakan bahwa lonjakan kasus Covid-19 masih amat mungkin terjadi.
Tren hospitalisasi dan kematian yang ditimbulkan mungkin dapat ditekan, tetapi belum maksimum.
"Walaupun karena cakupan vaksinasi sudah baik, mungkin yang meninggal akan menurun (dibandingkan Juli 2021) dan yang bergejala juga semakin ringan, tapi tetap akan menyakitkan," kata Miko.
"Buktinya petugas kesehatan pada rubuh meski mereka sudah disuntik, makanya mereka mendapatkan prioritas untuk dosis ketiga," tambahnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.