Selasa lalu atau sehari sebelum kebakaran, malam hari, Wayan seperti biasa mengajak keluarganya untuk bertukar kabar lewat udara.
Tidak ada yang tahu, malam itu adalah kali terakhir telepon mereka berdering dan disusul suara Wayan di ujung telepon.
"Jam 22.00, malam Rabu. Masih video call sama anak dan istrinya, sama saya juga. (Seperti) biasa video call setiap dia menanyakan kabar anaknya, ya teleponan," kenang Nyoman.
Pembicaraan pada Selasa malam itu berlangsung biasa-biasa saja. Nyoman bilang, suara Wayan juga terdengar sehat. Wayan mengaku dalam keadaan segar-bugar.
"Sudah makan?" ungkap Nyoman menirukan pertanyaan Wayan di ujung telepon malam itu.
"Sudah," jawab anak Wayan.
"Kok belum tidur, sudah jam 10 malam," balas Nyoman.
"Iya, Yah," sahut anak Wayan, "Ini mau berdoa, mau tidur." "Berdoa, ya, Yah."
Begitu saja, yang Nyoman ingat dan sudi ia sampaikan kepada wartawan, tentang percakapan terakhir keluarganya. Keluarga seorang narapidana yang saat ini dilanda duka.
Nyoman mengkritik pola pengawasan di dalam lapas yang dianggap tak sebanding dengan jumlah penghuni.
Hal itu turut andil dalam jumlah korban jiwa yang timbul akibat peristiwa kebakaran tersebut.
"Ini kan yang salah negara. Masak hanya 12 orang dari sekian banyak blok," kata dia.
Dua belas orang yang disinggung oleh Nyoman adalah jumlah sipir. Diketahui, jumlah sipir di Lapas Tangerang memang hanya 12-13 orang per regunya.
Padahal, kapasitas normal Lapas Tangerang 600 orang. Pada saat kebakaran pada Rabu dini hari itu, kapasitas itu sudah kelebihan 1.472 orang, alias 245 persen atau sekitar tiga kali lipat lebih banyak, menjadi 2.072 orang.
Blok C yang terbakar dihuni oleh 122 orang. Itu sudah kelebihan penghuni. Waktu kebakaran melanda, semua sel dalam keadaan terkunci.
Baca juga: Dua Napi Korban Kebakaran Lapas Tangerang Jalani Operasi, Kondisinya Masih Tak Stabil