DEPOK, KOMPAS.com - Nada bicara Nyoman Sami begitu lemah ketika ditemui di kediamannya di kawasan Meruyung, Limo, Depok, Jawa Barat, Kamis (9/9/2021). Ia masih berduka. Sangat berduka.
Putra sulungnya, I Wayan Tirta Utama, meninggal dunia dalam kebakaran Lapas Kelas 1 Tangerang, Banten, pada Rabu dini hari lalu.
"Minggu kemarin dapat berita dari petugas (lapas) orang Bali, (Wayan) dapat remisi Lebaran, remisi 17-an, jadi dia bilang tahun depan kalau enggak Maret atau April 2022 (Wayan bisa bebas)," ungkap Nyoman kepada Kompas.com.
Tidak jelas apakah kabar itu hanya pemanis di lidah belaka atau memang sungguhan.
Baca juga: Jasad Korban Kebakaran Lapas Tangerang Akan Diserahkan ke Keluarga Setelah Teridentifikasi
Pasalnya, Wayan divonis 14 tahun penjara setelah didakwa melakukan pembunuhan terhadap Sri Wulandari di Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, pada 2017.
Nyoman menyebutkan, ia diberi tahu bahwa Wayan berkelakuan baik selama mendekam di balik jeruji besi. Hal itu dianggapnya menjadi sebab bahwa putra sulungnya bisa bebas jauh lebih cepat.
"Saya gemetar, megang HP saja tidak kuat," ucap Nyoman menceritakan reaksinya ketika mendengar berita kebakaran lapas kemarin.
"Almarhum anak paling tua, bahkan semalam tidak bisa tidur saya, mikirin, kok tragis benar. Tapi, namanya takdir orang," tambahnya.
Wayan meninggalkan seorang istri dan dua orang anak. Satu anak berusia remaja, sedangkan seorang anak lain masih belia.
"Yang kecil belum sekolah. Tahun ini baru mau masuk TK," kata Nyoman.
Wayan memang melakukan kejahatan yang menyebabkannya dipenjara. Namun, bagi anak-anaknya, Wayan tetap ayah mereka. Bagi istrinya, Wayan tetap suaminya. Untuk Nyoman, Wayan tetap anak laki-lakinya yang ia asuh sejak dalam gendongan.
Belakangan, Nyoman tak sanggup untuk sering bersua dengan putranya di Lapas Tangerang.
Ia punya masalah kesehatan dan beberapa bulan lalu sempat terpapar Covid-19. Istri Nyoman meninggal akibat virus itu.
Sebelum terpapar Covid-19, beruntung mereka sempat berjumpa dengan Wayan.
Cinta dan rindu kepada Wayan tidak terpisah hanya gara-gara jeruji besi. Nyoman bercerita, Wayan sering sekali mengajak keluarganya untuk melepas kangen meski hanya melalui suara.
Selasa lalu atau sehari sebelum kebakaran, malam hari, Wayan seperti biasa mengajak keluarganya untuk bertukar kabar lewat udara.
Tidak ada yang tahu, malam itu adalah kali terakhir telepon mereka berdering dan disusul suara Wayan di ujung telepon.
"Jam 22.00, malam Rabu. Masih video call sama anak dan istrinya, sama saya juga. (Seperti) biasa video call setiap dia menanyakan kabar anaknya, ya teleponan," kenang Nyoman.
Pembicaraan pada Selasa malam itu berlangsung biasa-biasa saja. Nyoman bilang, suara Wayan juga terdengar sehat. Wayan mengaku dalam keadaan segar-bugar.
"Sudah makan?" ungkap Nyoman menirukan pertanyaan Wayan di ujung telepon malam itu.
"Sudah," jawab anak Wayan.
"Kok belum tidur, sudah jam 10 malam," balas Nyoman.
"Iya, Yah," sahut anak Wayan, "Ini mau berdoa, mau tidur." "Berdoa, ya, Yah."
Begitu saja, yang Nyoman ingat dan sudi ia sampaikan kepada wartawan, tentang percakapan terakhir keluarganya. Keluarga seorang narapidana yang saat ini dilanda duka.
Nyoman mengkritik pola pengawasan di dalam lapas yang dianggap tak sebanding dengan jumlah penghuni.
Hal itu turut andil dalam jumlah korban jiwa yang timbul akibat peristiwa kebakaran tersebut.
"Ini kan yang salah negara. Masak hanya 12 orang dari sekian banyak blok," kata dia.
Dua belas orang yang disinggung oleh Nyoman adalah jumlah sipir. Diketahui, jumlah sipir di Lapas Tangerang memang hanya 12-13 orang per regunya.
Padahal, kapasitas normal Lapas Tangerang 600 orang. Pada saat kebakaran pada Rabu dini hari itu, kapasitas itu sudah kelebihan 1.472 orang, alias 245 persen atau sekitar tiga kali lipat lebih banyak, menjadi 2.072 orang.
Blok C yang terbakar dihuni oleh 122 orang. Itu sudah kelebihan penghuni. Waktu kebakaran melanda, semua sel dalam keadaan terkunci.
Baca juga: Dua Napi Korban Kebakaran Lapas Tangerang Jalani Operasi, Kondisinya Masih Tak Stabil
Seandainya sel terkunci pada dini hari itu, dengan jumlah sipir yang hanya secuil, plus jumlah penghuni yang begitu besar, siapa pun mampu membayangkan betapa sulitnya melakukan evakuasi di tengah kejaran api.
Nyoman menganggap, pemerintah sudah selayaknya dan secepatnya menyalurkan santunan kepada keluarga para korban.
"Katanya Menteri Kumham itu katanya ada uang santunan. Saya dengar ada," ujar Nyoman.
"Saya minta persetujuan keluarga besar. Orang Bali tidak punya makam. Kalau nanti sudah ada dana, baru kremasi," kata dia.
Nyoman juga berharap agar ia maupun keluarga tidak dipersulit untuk mengambil jenazah Wayan. Sejauh ini, Nyoman mengaku harus melakukan tes DNA di RS Polri Kramat Jati, tempat jenazah Wayan berada saat ini.
Ia mengetahui keberadaan jenazah putranya berdasarkan inisiatifnya sendiri menghubungi pihak lapas dan pihak rumah sakit, bukan sebaliknya.
Karena kondisi kesehatan yang tidak memungkinkan, Nyoman meminta adik Wayan untuk melakukan tes DNA. Namun, hasilnya tidak cocok.
"Kalau Bapak kuat, Bapak akan ke sana," ujar Nyoman.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.