JAKARTA, KOMPAS.com - Peristiwa Tanjung Priok adalah kerusuhan yang melibatkan TNI dan warga sipil di Tanjung Priok, Jakarta Utara, pada 12 September 1984.
Kerusuhan tersebut merupakan salah satu kerusuhan besar dan pelanggaran HAM berat yang terjadi pada masa Orde Baru.
Hingga kini, jumlah korban tewas akibat kerusuhan di Tanjung Priok belum dapat dipastikan. Pemerintah melansir jumlah korban tewas adalah 33 orang.
Sementara itu, lembaga-lembaga kemanusiaan menyebut lebih dari ratusan orang terbunuh dalam peristiwa Tanjung Priok.
Baca juga: Kilas Balik Sejarah Jakarta: Asal-usul Nama Kampung Bali di Tanah Abang
"Kurang lebih 400 muslim syahid, ratusan lagi luka-luka, dan beberapa ulama ditangkap setelah kejadian itu," tulis Abdul Qadir Djaelani dalam Peran Ulama dan Santri dalam Perjuangan Islam di Indonesia.
Beberapa minggu sebelum peristiwa Tanjung Priok, para ulama di Tanjung Priok kerap mengkritik keras pemerintah Orde Baru yang dinilai tidak berpihak kepada umat Islam.
Kriik-kritik tersebut disampaikan melalui suara pengeras masjid. Dua kritik yang kerap disampaikan oleh para ulama adalah pemaksaan Pancasila dijadikan satu-satunya asas yang harus dicantumkan termasuk bagi organisasi islam dan diskriminasi pemerintah terhadap para siswa atau mahasiswa berjilbab.
Pada 7 September 1984, seorang Babinsa yakni Sersan Satu Hermanu memerintahkan jamaah mushala Assa'adah di Gang IV Koja, Tanjung Priok untuk menurunkan poster-poster yang menyerukan para muslimah untuk berjilbab.
Kendati demikian, permintaan Hermanu itu ditolak oleh warga.
Beberapa hari kemudian, Hermanu kembali datang ke mushala Assa'adah untuk menyampaikan permintaan yang sama. Namun, untuk kedua kalinya, pengurus mushala menolak mencopot poster-poster tersebut.
Hermanu pun emosi dan mengeluarkan pistolnya. Kala itu, dia mengancam orang-orang untuk menuruti permintaannya.
Baca juga: Kilas Balik Riwayat Kampung Susun Akuarium: Digusur Ahok, Dibangun Kembali oleh Anies